Perencanaan Ketahanan Nasional Dalam Era Reformasi

Posted by Admin on Monday, 15 March 1999 | Makalah, Opini

Sayidiman Suryohadiprojo

PENDAHULUAN

Sudah menjadi pandangan umum di seluruh dunia bahwa kehidupan umat manusia diliputi oleh ketidakpastian yang amat tinggi. Dalam keadaan demikian timbul pertanyaan apakah perencanaan masih ada gunanya. Sebab merencanakan sesuatu adalah satu usaha untuk mengatur sesuatu di masa depan yang sesuai dengan keinginan kita. Oleh sebab itu tidak dapat dilepaskan dari membuat pandangan ke masa depan. Berdasarkan pandangan itu ditentukan langkah-langkah yang perlu diambil untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Kalau ketidakpastian demikian kuatnya, masih mungkinkah dibuat pandangan ke masa depan yang cukup realistik dan obyektif. Kalau tidak demikian, maka tentu akan sukar menentukan langkah-langkah yang dapat direncanakan guna mencapai tujuan.

Memang ketidakpastian merupakan faktor yang amat kuat dalam kehidupan manusia dewasa ini. Perubahan dalam segala bidang kehidupan dapat terjadi dengan amat cepat dan sukar diperkirakan sebelumnya. Namun demikian perencanaan tetap merupakan satu keperluan yang tidak dapat ditinggalkan. Sebab kehidupan yang dilakukan tanpa perencanaan menjadikan manusia sepenuhnya bola permainan dari perubahan yang terus terjadi. Manusia yang tentunya mempunyai satu tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan sama sekali tidak mempunyai harapan untuk mencapai tujuan itu, kalau ia hanya menjadi bola permainan perubahan. Sebaliknya dengan perencanaan manusia menetapkan garis pedoman yang perlu diikuti untuk mencapai tujuan. Hal ini juga berlaku dalam perwujudan Ketahanan Nasional dalam era Reformasi sekarang ini.

Dalam kehidupan yang penuh perubahan sekarang ini garis pedoman tersebut dengan sendirinya tidak dapat ditetapkan secara kaku, melainkan harus memiliki fleksibilitas yang cukup tinggi agar selalu dapat dibuat penyesuaian terhadap berbagai perubahan yang sebelumnya tidak diperkirakan. Dengan begitu selalu ada harapan atau bahkan keyakinan bahwa tujuan akan tercapai. Tidak mungkin lagi kita hanya berfikir lineair saja, melainkan harus pula sanggup berfikir non-lineair.

Reformasi yang terjadi di Indonesia termasuk salah satu perubahan yang besar pengaruhnya terhadap Ketahanan Nasional.. Oleh karena itu perencanaan yang semula dilakukan atas dasar paradigma yang berlaku dalam masa pra-Reformasi harus disesuaikan dengan perubahan itu. Manusia Indonesia mempunyai tujuan yang jelas, yaitu terwujudnya satu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Reformasi adalah perubahan yang diperlukan manusia Indonesia karena ada penyelewengan dalam pencapaian tujuan tersebut. Memang dalam masa Orde Baru terjadi banyak sekali penyelewengan dalam usaha mencapai tujuan itu. Hal itu mau tidak mau memperlemah Ketahanan Nasional. Akan tetapi pelaksanaan Reformasi untuk mengakhiri berbagai penyelewengan itu harus pula menjaga agar tidak merugikan Ketahanan Nasional.

Akan tetapi kita juga harus menyadari bahwa pada permulaan Orde Baru ada semangat yang kuat untuk mengakhiri penyelewengan yang terjadi dalam Orde Lama. Pada waktu itu pun ada semangat kuat untuk mengakhiri penyelewengan terhadap UUD 1945 dan Panca sila. Akan tetapi ternyata perkembangan Orde Baru pun membawa penyelewengan yang tidak kalah beratnya dibandingkan sebelumnya. Ini perlu menjadi perhatian untuk perencanaan masa depan Indonesia agar tidak terulang kembali. Kalau itu terulang maka Reformasi memperoleh konotasi perubahan yang negatif dan merugikan.

Selain itu kita tidak dapat menutup mata bahwa bangsa Indonesia hidup bersama-sama bangsa-bangsa lain. Kehidupan internasional itu penuh dinamika dan perubahan yang mau tidak mau berpengaruh terhadap bangsa kita. Perencanaan memerlukan fleksibiltas yang cukup untuk menghadapi dinamika internasional itu.

Dengan demikian jelas sekali bahwa perencanaan merupakan satu bagian kehidupan bangsa yang tak dapat ditinggalkan. Namun pembuatannya harus selalu memperhatikan berbagai dinamika internasional, nasional dan lokal yang penuh ketidakpastian.

FAKTOR MANUSIA YANG BESAR PENGARUHNYA

Manusia merupakan faktor utama dalam perencanaan, baik sebagai obyek maupun subyek perencanaan. Dapat dikatakan bahwa perencanaan dibuat untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi manusia, lebih bahagia dan sejahtera. Karena pentingnya faktor manusia kita perlu memperhatikan perkembangan manusia.

Eksistensi manusia dalam alam semesta telah mengalami evolusi yang amat besar, terutama dalam tiga abad terakhir. Manusia telah berhasil mengembangkan pengetahuan yang makin banyak tentang dirinya maupun tentang alam semesta. Kemampuan berpikir manusia menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terutama sangat cepat perkembangannya dalam abad ke 20 yang sebentar lagi kita tinggalkan. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia makin memahami dirinya dan lingkungannya serta alam semesta. Dengan kemampuan itu manusia dapat membuat kehidupannya lebih bermakna dan sejahtera. Dapat kita lihat bahwa umat manusia telah mengalami kemajuan besar sekali dalam kesejahteraan, khususnya kesejahteraan lahiriah atau material.

Sebaliknya manusia yang kurang dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi kurang dapat mewujudkan kehidupan sebaik mereka yang menguasainya. Kita melihat bahwa terjadi kesenjangan yang makin melebar antara mereka yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan yang kurang mampu dalam hal itu. Karena penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi berakibat kepada kesejahteraan, maka terjadi pula jurang yang makin lebar antara bagian umat manusia yang kaya dan yang miskin. Baik antara bangsa kaya dan bangsa miskin maupun antara golongan kaya dalam satu bangsa dengan golongan miskin dalam bangsa yang sama.

Akibat lain dari majunya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah makin kecilnya dunia. Itu terutama disebabkan oleh teknologi angkutan dan komunikasi yang makin besar kemampuannya. Hal ini yang menimbulkan pandangan adanya Desa Dunia atau Global Village. Hubungan yang makin dekat dan intensif antara semua bagian umat manusia, termasuk hubungan antara bangsa-bangsa, menimbulkan globalisasi. Dalam globalisasi bagian yang satu umat manusia harus bersedia dan pandai bekerja sama dengan bagian umat manusia lainnya. Barang siapa mengabaikan itu mendapat hukuman alamiah yang setimpal dan harus membayar mahal. Akan tetapi pada saat yang sama setiap bagian umat manusia harus juga bersedia dan pandai bersaing dengan bagian umat manusia yang lain. Sebab tanpa ada daya saing yang memadai kerjasama tidak menghasilkan kemitraan seimbang melainkan dominasi satu pihak terhadap yang lain.

Namun ternyata ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya membawa dampak yang positif dan berharga bagi manusia. Terbukti bahwa teknologi yang makin maju juga dapat mengakibatkan kehancuran dan kemusnahan yang makin tepat dan dahsyat sehingga amat membahayakan manusia. Hal itu jelas sekali dalam perkembangan teknologi militer, baik dalam bentuk senjata pemusnah massal (Mass Destruction Weapons) maupun senjata perkenaan tepat (Precision Guided Munition).

Selain itu, kalau manusia dikuasai teknologi dan bukan sebaliknya, terjadi dampak yang amat merugikan kehidupan manusia. Manusia yang demikian menjadi berlebihan penilaiannya terhadap benda serta uang, dan cenderung menimbulkan sifat yang keras dalam sikap hidupnya. Sifat keras itu meluas dalam berbagai kegiatan hidup manusia. Bahkan dalam seni musik yang berkembang di dunia Barat kita rasakan kuatnya kekerasan. Kekerasan itu makin mempengaruhi kehidupan manusia di seluruh dunia dengan mengambil berbagai bentuk. Hanya karena manusia masih dapat berfikir rasional, terutama di kalangan pemimpin bangsa, maka tidak terjadi Perang Dunia Ketiga dengan menggunakan senjata pemusnah massal. Akan tetapi sekalipun demikian, berbagai tindakan penggunaan kekerasan yang terjadi di seluruh dunia telah menimbulkan akibat yang amat parah pada umat manusia.

Pendidikan umum yang makin meluas, baik berupa pendidikan formal maupun informal, telah menggerakkan kemampuan berpikir kalangan umat manusia yang makin banyak. Kemudian timbul kesadaran yang lebih menguat tentang eksistensi dirinya di luar kehidupannya sebagai bagian lingkungan yang lebih besar. Terjadi proses individualisasi yang makin kuat dan mendorong setiap individu untuk memperoleh pengakuan dari pihak lain. Manusia makin merasa berhak untuk mengurus dirinya dan menjadi subyek kehidupan. Hal inilah yang menimbulkan demokrasi atau kedaulatan rakyat sebagai hal yang tidak dapat ditolak lagi. Bersamaan dengan itu adalah segala konsekuensi tentang aspek kehidupan yang menjadikan kehidupan individu manusia makin bermakna, seperti hak azasi manusia, keadilan sosial, kebebasan menyatakan pendapat dan lainnya.

Pengaruh individualisasi tidak terbatas pada individu manusia saja, tetapi kemudian juga menjadikan setiap lingkungan manusia terdorong untuk memperoleh pengakuan dari lingkungan yang lebih luas. Golongan etnik merasa diri berhak untuk memperoleh tempat dan kesempatan yang tidak beda dari etnik lainnya, bahkan ingin lebih baik. Hal ini menimbulkan dorongan pada setiap daerah yang penduduknya terdiri dari etnik tertentu untuk mencapai kemajuan yang tidak kalah dari daerah lain. Dan golongan etnik yang tersebar di wilayah beberapa negara berjuang agar terbentuk satu negara baru yang terdiri dari etnik tersebut.

Kehidupan yang makin menonjolkan peran benda dan uang menghasilkan peningkatan kesejahteraan. Akan tetapi juga menimbulkan rasa hampa yang mendorong manusia untuk makin menghargai spiritualitas dan moralitas. Dengan demikian agama yang sejak abad ke 18 dipinggirkan perannya oleh sikap dan pandangan sekuler, terutama di dunia Barat, kembali meningkat perannya. Perubahan ini turut mendorong terjadinya kebangkitan Islam setelah bertahun-tahun dipojokkan oleh dunia Barat.

Apa yang sebelumnya dianggap sebagai primordialisme yang negatif sekarang menjadi kenyataan yang terjadi di hampir seluruh umat manusia.

Kalau abad ke 19 melahirkan nasionalisme dan berdirinya bangsa (nation) dan negara bangsa (nation states) dan menetapkan bahwa dalam lingkungan umat manusia setiap negara bangsa mempunyai kedaulatan (sovereignty) yang penuh dan tak dapat diganggu gugat oleh pihak lain, perkembangan baru berupa globalisasi mempengaruhi posisi negara bangsa. Negara bangsa tetap ada dan anggapan sementara orang bahwa dalam globalisasi tidak ada lagi tempat bagi negara merupakan pandangan yang meleset. Hanya peran dan posisi negara bangsa menjadi berubah. Di satu pihak ia harus mengakui dan memberikan otonomi yang lebih banyak kepada unsur-unsurnya sebagai akibat proses individualisasi. Di pihak lain ternyata bahwa dalam umat manusia juga terjadi proses integrasi antara negara bangsa.

Ternyata bahwa bangsa-bangsa yang tadinya diliputi nasionalisme yang kuat seperti di Eropa sekarang merasa keperluannya untuk melakukan integrasi antara bangsa-bangsa itu. Untuk mencapai kehidupan yang lebih baik bangsa-bangsa yang memiliki kedaulatan penuh bersedia bergabung dengan bangsa lain agar secara bersama-sama dapat mewujudkan kehidupan yang lebih damai dan sejahtera. Nasionalisme abad ke 19 disempurnakan dengan Regionalisme abad ke 20. Dalam regionalisme itu negara bangsa tetap ada namun mengharmonisasikan kepentingan nasionalnya dengan kepentingan nasional bangsa lain yang menjadi mitra dalam gabungan regionnya. Dengan sendirinya kedaulatan negara bangsa yang tadinya penuh dan tidak dapat diganggu gugat sekarang tidak lagi sekuat itu. Usaha umat manusia menciptakan kehidupan lebih baik melalui regionalisme mudah-mudahan dapat menghasilkan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang lebih efektif dan adil mengatur kehidupan umat manusia secara keseluruhan.

Dengan segala perkembangan manusia itu mulai berkuranglah dominasi dunia Barat atas umat manusia yang telah terwujud sejak abad ke 18 ketika dunia Barat berhasil menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi lebih kuat dari umat manusia lainnya. Sekarang makin banyak bagian umat manusia yang mempunyai kemampuan yang mendekati dan bahkan menyamai dunia Barat. Dengan sendirinya perkembangan ini menimbulkan persoalan baru. Sebab merupakan sifat manusia untuk tidak mudah menyerahkan satu posisi dominan atas pihak lain. Apalagi kalau posisi dominan itu membawa keuntungan yang besar sebagaimana dinikmati manusia Barat sejak abad ke 18.

Menghadapi segala perkembangan yang terjadi karena evolusi manusia ini peran perencanaan penting sekali. Baik itu bersifat perencanaan pada tingkat paling atas maupun perencanaan yang dilakukan seorang manusia untuk mengurus kehidupannya pribadi. Memang seperti telah dikatakan sebelumnya, ketidakpastian yang ditimbulkan oleh berbagai faktor alamiah maupun manusiawi membuat perencanaan bukan hal yang mudah dan eksakt. Akan tetapi tanpa perencanaan sukar sekali dijaga konsistensi dari satu perjuangan atau usaha. Maka yang perlu dan dapat diusahakan adalah perencanaan yang fleksibel sehingga dapat menyesuaikan diri dengan relatif mudah terhadap berbagai perubahan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Jelas sekali bahwa hal ini memerlukan manusia perencana yang bermutu, tidak saja dalam kemampuan berpikirnya tetapi juga adanya peran emosi, intuisi dan persepsi yang secara manunggal menghasilkan satu wawasan dan pandangan.

MERENCANAKAN MASA DEPAN INDONESIA

Dengan alasan yang sudah dikemukakan sebelumnya kita perlu merencanakan masa depan Indonesia, khususnya untuk menjaga Ketahanan Nasionalnya. Sebenarnya perencanaan bukan barang baru karena sejak pemerintahan Presiden Sukarno ada usaha melakukannya. Bahkan di masa Orde Baru perencanaan itu dilakukan lebih giat dan luas dan meliputi hampir semua aspek kehidupan.

Namun tanpa mengurangi penghargaan dan hormat kita kepada mereka yang telah menjalankan perencanaan di masa lampau haruslah kita katakan bahwa perencanaan yang telah mereka lakukan tidak menciptakan hasil yang bermakna bagi rakyat Indonesia. Hal itu dibuktikan oleh kegagalan pemerintahan Presiden Sukarno pada tahun 1965 dan demikian pula pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998.

Mungkin saja para perencana mengajukan argumen bahwa tindakan para pelaksana tidak sesuai dengan hal yang ditetapkan dalam perencanaan sehingga bukan perencanaan yang salah tetapi pelaksanaannya yang tidak mencapai hasil. Akan tetapi argumentasi seperti itu tidak atau sukar diterima, oleh sebab perencanaan dan pelaksanaan adalah dalam satu proses manajemen yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan dalam pemerintahan Soeharto ada usaha agar sesaksama mungkin mengikuti garis perencanaan yang ditetapkan melalui GBHN dan REPELITA.

Kemungkinan besar kegagalan perencanaan masa lampau disebabkan oleh kurangnya keseimbangan antara kehendak subyektif dari para pengambil keputusan, termasuk para perencana, dengan kondisi obyektif yang mereka hadapi. Satu contoh yang dapat diberikan adalah sikap Presiden Sukarno untuk mensubordinasikan segala aspek kehidupan kepada kehendak politik dengan mengabaikan kondisi masyarakat Indonesia waktu itu serta perkembangan dunia. Sedangkan di masa Orde Baru terjadi pembangunan ekonomi yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi garis yang ditempuh adalah pemberian titik berat kepada pertumbuhan ekonomi yang kurang sekali mempedulikan perkembangan rakyat banyak sehingga timbul kesenjangan yang makin lebar dan dalam antara pihak yang kaya dan yang miskin.

Perencanaan untuk masa depan Indonesia tidak boleh mengulangi kesalahan yang telah dilakukan di masa lampau. Untuk itu semua pihak yang bersangkutan dengan perencanaan, termasuk para pengambil keputusan, harus membiasakan diri untuk mengusahakan keseimbangan antara kehendak subyektif dengan kondisi obyektif yang dihadapi. Memang harus ada kehendak subyektif yang jelas dan kuat atau apa yang sering dikatakan secara populer sebagai political will. Tanpa itu kehidupan hanya merupakan bola permainan dari perkembangan umat manusia. Buat bangsa kita landasan kehendak subyektif adalah terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera berdasarkan Panca Sila. Jadi kehendak subyektif yang dibawa dalam proses perencanaan semuanya harus ada hubungannya dengan terwujudnya tujuan tadi. Sebaliknya, tidak boleh ada kehendak subyektif yang berbeda apalagi bertentangan dengan tujuan itu.

Akan tetapi juga harus ada pandangan dan pengetahuan yang mendalam tentang kondisi obyektif yang dihadapi. Dalam era globalisasi sekarang ini kondisi obyektif yang harus diketahui meluas dari kondisi internasional ke kondisi nasional dan kondisi lokal daerah. Kondisi obyektif itu harus dilihat dari segala aspek kehidupan manusia, termasuk kondisi atau sikap psikologi manusia yang menjadi obyek perencanaan. Sebagai contoh dari kekurangan dalam memperhatikan kondisi manusia adalah ketika dalam perencanaan di masa Orde Baru kurang ada perhatian kepada keinginan dari rakyat yang tinggal di daerah. Maka jelas sekali bahwa diperlukan usaha yang kuat untuk dapat menguasai informasi yang setepat mungkin dan dipunyai pada saat yang diperlukan. Ini merupakan masalah tersendiri dalam Era Informasi sekarang ini. Banyaknya informasi yang dapat diperoleh melalui berbagai sarana, khususnya sarana elektronika, mengharuskan adanya kemampuan untuk menyeleksi informasi mana yang benar relevan untuk keperluan kita.

Sering timbul pertanyaan apakah dalam negara dengan sistem demokrasi dapat dilakukan perencanaan yang bermanfaat. Dalam sistem demokrasi besar kemungkinan bahwa pemerintah yang memimpin negara silih berganti dalam waktu singkat. Padahal setiap pimpinan pemerintah mempunyai kehendak subyektifnya sendiri yang belum tentu sama dengan yang digantikan. Hal itu telah kita alami ketika mempraktekkan sistem demokrasi parlemen antara tahun 1950 hingga 1959. Pada waktu itu pemerintahan silih berganti sehingga sukar mengadakan perencanaan yang berguna.

Kesangsian itulah yang telah menjerumuskan pemerintahan Orde Baru. Karena hendak menjamin berlangsungnya kepemimpinan nasional untuk waktu lama agar dapat dijaga adanya kebijaksanaan atau politik yang sama, maka pemerintahan Orde Baru secara berlebihan menegakkan stabilitas nasional. Meskipun pimpinan negara selalu bicara tentang perlunya stabilitas dinamis, namun dalam kenyataan adalah stabilitas yang kaku yang ditegakkan dan dijaga secara ketat. Akibatnya adalah bahwa demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dengan begitu tercipta keadaan yang bertentangan dengan Panca Sila yang menghendaki adanya demokrasi dan karena itu juga bertentangan dengan tujuan nasional yang hendak diwujudkan.

Agar supaya dalam negara dengan sistem demokrasi dapat diadakan perencanaan yang cukup bermanfaat diperlukan kepartaian politik yang mempunyai dasar politik yang sama, seperti mengakui dan menerima tujuan nasional yang sama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Panca Sila. Boleh saja setiap partai politik mempunyai sifat atau asas berbeda asalkan semuanya mengarah ke tujuan nasional yang sama. Dengan begitu setiap perubahan pemerintah tidak harus membawa kehendak subyektif baru yang bertentangan dengan yang dipegang oleh pemerintah sebelumnya. Atas dasar itu perencanaan selalu masih dapat dilakukan secara bermakna. Mungkin sekali pada setiap perubahan pemerintah perlu ada beberapa perubahan atau penyesuaian dalam perencanaan. Akan tetapi perubahan pemerintah tidak harus merombak hasil perencanaan. Hal ini menjadi tantangan yang kita hadapi setelah Pemilu bulan Juni 1999 ini. Dapatkah terwujud kesadaran seperti itu pada pimpinan partai-partai politik yang sekarang berkembang di Indonesia. Meskipun dari sekian banyak partai politik nanti besar kemungkinan hanya maksimal 10 yang mempunyai peluang memegang pemerintahan, namun juga di antara 10 pimpinan parpol itu belum tentu terwujud kesadaran itu selama egoisme yang berkembang sejak tahun 1998 tidak dapat dibatasi.

Kalau pimpinan partai politik dapat memperhatikan keperluan tersebut, maka perencanaan yang dibuat dengan wawasan yang luas dan memperhatikan kondisi obyektif secara saksama, besar kemungkinan selalu memenuhi kehendak setiap pemerintah yang berkuasa di Indonesia. Sebab pasti setiap pemerintah ingin menunjukkan keberhasilan ketika berkuasa. Dengan perencanaan yang baik besar kemungkinan kehendak subyektif partai yang berkuasa sudah dipenuhi dan dapat dilaksanakan pembangunan negara yang hasilnya memuaskan semua pihak. Hal demikian tentu menguntungkan partai politik yang berkuasa untuk menghadapi Pemilihan Umum berikutnya sehingga partai itu dapat menang dan berkuasa terus.

Dalam perkembangan umat manusia dewasa ini dan bangsa Indonesia sendiri terasa sekali bahwa kesejahteraan merupakan hal yang amat didambakan banyak orang, demikian pula di Indonesia. Oleh sebab itu ekonomi memegang peran penting dalam kehidupan. Dalam pembangunan nasional yang dilakukan pemerintahan Orde Baru ekonomi ditetapkan sebagai titik berat pembangunan nasional. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa kondisi ekonomi bangsa sebagai hasil pembangunan nasional itu kurang menjawab keinginan untuk mencapai kesejahteraan bagi orang banyak. Harus diakui bahwa dapat dikurangi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Akan tetapi di luar itu kondisi ekonomi yang tercipta adalah kesenjangan yang lebar antara golongan kecil yang amat kaya dan golongan besar yang miskin. Hal itu disebabkan oleh perencanaan pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi. Terjadinya Krisis Ekonomi menyadarkan banyak pihak akan kesalahan itu serta kegagalan yang diakibatkan. Maka dalam Reformasi menguat pandangan bahwa seharusnya yang dianut adalah ekonomi kerakyatan yang memberikan prioritas utama kepada peningkatan kemampuan rakyat banyak melalui perkembangan usaha kecil dan menengah, baik swasta maupun koperasi.

Pikiran demikian sebenarnya sudah ada di masa Orde Baru tetapi selalu dikalahkan dan bahkan diejek oleh mereka yang menjadi penganut pikiran ekonomi Neo-Klassik. Sekarang ada usaha yang kuat dan sungguh-sungguh agar ekonomi kerakyatan dapat berkembang. Keyakinan makin meluas bahwa konsep itu lebih menjamin tercapainya kesejahteraan bagi rakyat banyak. Hal itu diperkuat dengan melihat pengalaman negara lain yang juga memberikan tempat utama kepada usaha kecil dan menengah seperti Taiwan. Akan tetapi para pengikut pikiran ekonomi Neo-Klassik dan pendukung sistem pembangunan ekonomi Orde Baru tetap menunjukkan sikap yang pessimis serta sinis terhadap segala usaha yang bersangkutan dengan ekonomi kerakyatan. Oleh sebab itu pelaksanaan ekonomi kerakyatan harus dapat membuktikan secara kongkrit bahwa dapat mendatangkan kesejahteraan lebih tinggi dan cukup merata bagi rakyat Indonesia.

Menjadi kewajiban dari perencanaan agar perkembangan ekonomi kerakyatan dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. Itu berarti bahwa harus dapat ditemukan segi kelemahannya dan diusahakan untuk mengatasinya. Dan selalu memperhatikan kondisi obyektif secara realistik agar terpelihara keseimbangan antara kehendak subyektif dengan kenyataan obyektif. Salah satu kenyataan obyektif adalah keharusan berorientasi pasar. Jangan sampai konsep ekonomi kerakyatan juga menjadi gagal karena implementasinya kurang memperhatikan kondisi obyektif. Kalau bangsa Indonesia kembali gagal melaksanakan pembangunan ekonomi, maka tidak ada pihak lain yang dapat kita salahkan.

Kelemahan besar dalam perencanaan nasional masa Orde Baru adalah kurangnya pemberian prioritas kepada pembangunan sumberdaya manusia, khususnya pendidikan, dan memberikan prioritas utama kepada pembangunan prasarana. Memang Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas memerlukan banyak pembangunan prasarana. Akan tetapi kalau itu mengorbankan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, maka akibatnya adalah fatal. Itulah yang kita kemudian alami ketika terjadi Krisis Moneter pada tahun 1997. Segala prasarana yang telah dibangun dengan dana yang amat besar ternyata menjadi kurang berfaedah karena berkurangnya kegiatan ekonomi secara drastis. Sebaliknya dirasakan betapa masih rendahnya kualitas bagian terbesar manusia Indonesia sehingga dalam kondisi krisis itu tidak dapat memanfaatkan peluang yang justru terbuka oleh krisis itu.

Alokasi anggaran kepada pendidikan di Indonesia menunjukkan betapa kurangnya komitmen para pimpinan dan perencana Indonesia masa Orde Baru. Ketika di kalangan ASEAN di luar Indonesia angka terendah adalah 15 prosen dari APBN negara bersangkutan, Indonesia tidak pernah mengalokasi lebih dari 10 prosen. Malaysia sejak saat merdekanya telah mengalokasi sekurang-kurangnya 20 prosen dari APBNnya untuk pendidikan. Nampaknya di Indonesia belum ada pengertian bahwa investasi terbaik yang dapat dilakukan satu bangsa adalah investasi dalam sumberdaya manusia, khususnya pendidikan. Atau mungkin pengertian itu sudah ada, tetapi tidak ada komitmen yang kuat untuk melaksanakan pengertian tersebut. Mudah-mudahan para perencana di masa depan dapat pula menyadari hal ini dan dapat meyakinkan setiap pemimpin politik yang berkuasa di Indonesia tentang kebenarannya serta maknanya bagi negara dan bangsa kita.

Kekurangan lain yang menimbulkan kerawanan adalah sentralisasi yang sangat berlebihan sehingga kemudian menimbulkan reaksi yang amat keras dari beberapa daerah. Sebetulnya sentralisme bukan monopoli Orde Baru karena sejak pemerintahan Presiden Sukarno pun dilakukan sentralisme secara menonjol. Hal ini sebenarnya sangat mengherankan dan menyedihkan karena tak perlu terjadi. Sebab sejak proklamasi kemerdekaan para Pendiri Negara telah memberikan peringatan agar Republik Indonesia menjadi negara kesatuan tetapi dengan pemberian otonomi luas kepada daerah. Pendapat demikian adalah masuk akal karena banyaknya perbedaan antara daerah satu dengan yang lain, baik dalam hal kebudayaan termasuk bahasa, kesenian, adat-istiadat maupun dalam kemajuan menciptakan peradaban. Para pengamat asing selalu mengatakan bahwa Indonesia tak akan mungkin menjadi satu negara karena orang Indonesia hanya bersatu selama dijajah Belanda. Begitu penjajahan tidak ada maka setiap bagian Indonesia akan berdiri sendiri, begitu kata mereka. Pandangan demikian yang juga dianut oleh bagian kecil kaum cendekiawan Indonesia di tahun 1940-an, dapat dibuktikan kesalahannya oleh perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia. Dapat kita buktikan bahwa Republik Indonesia dapat berdiri tegak sebagai negara kesatuan sekalipun menghadapi taktik Belanda membentuk negara di daerah-daerah Indonesia, seperti Negara Pasundan, Negara Madura, Negara Sumatra Timur, dan sebagainya. Namun kemenangan perjuangan rakyat Indonesia tidak menghilangkan kenyataan bahwa memang terdapat banyak perbedaan antara daerah dan rakyat Indonesia. Itu yang kemudian dalam masa pembangunan negara harus diperhatikan dan dikembangkan. Akan tetapi itu tidak pernah kita lakukan.

Dalam masa pemerintahan Presiden Sukarno sudah terasa adanya sentralisasi di Jawa yang sampai menimbulkan pemberontakan PRRI/Permesta. Namun Presiden Sukarno tak pernah mau mengakui hal itu. Apalagi ketika pengaruh PKI makin kuat. Sebab itu ketika memasuki Orde Baru ada niat kuat pada TNI untuk memperbaiki kekurangan itu. Dalam Seminar TNI-AD kedua secara tegas dinyatakan bahwa kita perlu melakukan desentralisasi dan dekonsentrasi. Akan tetapi ternyata pembangunan nasional Indonesia amat mengabaikan hal itu. Kalau di masa Orde Lama terutama PKI yang menjadi pendukung sentralisme, menjadi pertanyaan siapa yang bersikap sama dalam masa Orde Baru.

Belakangan ada niat untuk mengadakan desentralisasi. Akan tetapi nampak sekali bahwa niat itu tidak jujur. Sebab yang hendak diberikan otonomi adalah daerah tingkat 2 atau kabupaten. Sedangkan provinsi tetap menjadi perpanjangan tangan Pemerintah Pusat. Alasannya adalah bahwa kabupaten adalah yang paling dekat kepada rakyat. Itu benar, tetapi mengapa tidak diberikan otonomi kepada provinsi. Padahal perkembangan umat manusia telah menunjukkan, demikian pula perkembangan di Indonesia, bahwa proses individualisasi telah menimbulkan harga diri etnik yang tak boleh diabaikan. Sekarang dalam Reformasi diadakan peninjauan kembali atas konsep desentralisasi itu. Akan tetapi tetap tidak diberikan otonomi kepada provinsi. Meskipun sudah berkali-kali diingatkan kepada para pengambil keputusan bahwa sebaiknya diberikan otonomi kepada daerah tingkat satu maupun tingkat dua. Akan tetapi mengingat kondisi sumberdaya manusia pada daerah tingkat dua, sebaiknya otonomi dimulai dengan daerah tingkat satu.

Dalam kenyataan juga terlihat bahwa pelaksanaan otonomi mendapat rintangan dari banyak birokrat dan teknokrat di Pusat. Nampaknya belum cukup ada kesadaran sosial bahwa umat manusia dan bangsa Indonesia menghadapi paradigma baru yang dapat sangat berbeda dari yang lama. Mudah-mudahan para perencana menyadari hal itu dan dapat pula meyakinkan teknokrat lainnya tentang kebenarannya.

Ada sementara orang khawatir bahwa pemberian otonomi kepada daerah akan menghancurkan Republik Indonesia karena setiap daerah akan menuntut menjadi negara merdeka. Sebenarnya kalau sekarang di sementara kalangan di beberapa daerah, umpamanya Irian Jaya, ada keinginan menjadi negara merdeka, maka hal itu adalah reaksi terhadap perlakuan kurang adil yang mereka alami selama sentralisme yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia. Kalau ada pemberian otonomi yang luas dan ada pembagian keuangan yang adil antara Pusat dan Daerah, rakyat di daerah akan menyadari bahwa lebih baik baginya untuk tetap berada di lingkungan Republik Indonesia. Sebab kecenderungan umat manusia adalah integrasi dari bagian-bagian yang mempunyai otonomi sebagaimana ditunjukkan oleh kehendak kuat bangsa-bangsa Eropa untuk justru membentuk Uni Eropa yang mempunyai mata uangnya sendiri. Jadi kalau setiap daerah memperoleh otonomi dan desentralisasi yang memungkinkan rakyat daerah mengatur kehidupannya sendiri, akan jauh lebih baik baginya untuk tetap menjadi bagian Republik Indonesia. Bahkan dalam kondisi itu konsep negara federal pun kurang relevan. Di masa lalu Uni Soviet adalah negara federal sedangkan Perancis adalah negara kesatuan. Akan tetapi provinsi di Perancis mempunyai otonomi yang jauh lebih besar ketimbang yang dimiliki negara bagian di Uni Soviet. Perlu kita sadari bahwa pembangunan daerah yang tepat amat besar pengaruhnya terhadap masa depan Republik Indonesia. Kalau pemberian otonomi dan desentralisasi tidak dijalankan memuaskan memang ada bahaya terjadinya separatisme yang dapat membubarkan Republik Indonesia.

Hal berikut yang merupakan kelemahan perencanaan masa lampau dan perlu sekali diperbaiki di masa depan adalah menyangkut masalah penghasilan pegawai negeri sipil (PNS) dan ABRI. Sudah bertahun-tahun PNS dan anggota ABRI dibayar di bawah kewajaran atau underpaid dengan gaji tidak cukup untuk hidup selama satu bulan. Hal ini menimbulkan berbagai persoalan, antara lain berkembangnya korupsi. Meskipun korupsi yang terjadi adalah korupsi tingkat kecil karena menyangkut perilaku orang yang perlu menambah penghasilan semata-mata, namun secara keseluruhan menimbulkan angka yang signifikan. Yang lebih buruk lagi adalah bahwa seakan-akan korupsi dibenarkan. Hal itu telah terjadi bertahun-tahun sejak pemerintahan Presiden Sukarno dan tidak pernah ada usaha yang sungguh-sungguh serieus untuk mengatasinya. Nampaknya orang sudah menganggap hal itu sebagai barang lumrah (it is taken for granted).

Sikap demikian adalah amat menyedihkan dan memalukan karena jauh sekali dari kehendak Panca Sila yang ingin kita wujudkan. Sudah waktunya kaum perencana menangani masalah ini secara serieus dan menghasilkan satu kesimpulan yang tuntas. Harus dapat kita hilangkan anggapan bahwa manusia Indonesia adalah manusia korup yang tidak mampu bekerja dengan efektif. Demikian pula harus kita hilangkan gambaran bahwa PNS di Indonesia tidak dapat bekerja baik dan pemerintah tidak pernah mampu memperbaiki hal itu. Untuk itu harus ada kesediaan untuk melihat persoalannya secara berani dan tegas.

Kalau perusahaan swasta seperti National Gobel dapat memberikan penghasilan yang wajar sehingga orang Indonesia yang bekerja di sana tidak perlu korup dan dapat bekerja dengan efektif, maka hal itu adalah hasil dari satu pendekatan manajemen terhadap masalah personil yang tepat. Tentu pendekatan manajemen itu tidak hanya menyangkut masalah personil, melainkan satu pendekatan total untuk memperoleh kualitas perusahaan yang dapat dipertanggungjawabkan. Mengapa tidak dapat dilakukan pendekatan serupa terhadap masalah kepegawaian dan birokrasi Indonesia sehingga hilanglah kelemahan yang amat menyedihkan dan memalukan itu. Mudah-mudahan para perencana cukup tertantang dan terangsang untuk mencari penyelesaian masalah nasional ini.

Pasti masih banyak persoalan perencanaan untuk masa depan Indonesia. Akan tetapi tulisan ini membatasi pada persoalan yang amat mendasar bagi terwujudnya Ketahanan Nasional dan masa depan Indonesia.

PENDEKATAN HOLISTIK DALAM PERENCANAAN

Dalam abad ke 20 terasa benar bahwa kehidupan umat manusia diperkaya dengan kemampuan spesialisasi yang makin banyak. Sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia makin mengetahui dan menguasai secara sungguh-sungguh hal-hal yang makin dalam tetapi juga makin sempit. Antara lain dalam bidang kesehatan itu jelas sekali. Kalau tadinya seorang dokter menjalankan segala hal yang bersangkutan dengan penyembuhan aneka ragam penyakit, maka makin lama terjadi spesialisasi yang makin banyak dan mendalam.

Perkembangan ini mendatangkan perubahan yang besar sekali, mula-mula di Eropa Barat dan akhirnya di seluruh dunia. Yang mempunyai saham besar dalam perubahan ini adalah perkembangan ilmu fisika yang dipelopori Isaac Newton di Inggeris dalam abad ke 17. Cara berfikir Newton melihat dunia dan alam semesta sebagai satu keutuhan mekanistik (mechanistic whole). Dalam pandangan ini pengertian tentang sesuatu diperoleh dari pengetahuan yang dalam mengenai setiap bagian. Sebagai akibatnya terjadi dorongan kepada manusia untuk makin mendalami sesuatu dengan sungguh-sungguh. Penguasaan yang makin dalam tetapi juga makin sempit itu menghasilkan spesialisasi yang meliputi segala aspek kehidupan. Cara berfikir ini antara lain berhasil mendatangkan Revolusi Industri di Inggeris yang diikuti kemudian oleh seluruh Eropa Barat. Umat manusia seakan-akan terpecah-pecah dalam berbagai spesialisasi itu. Kehidupan pun terasa menjadi tersekat-sekat dalam banyak kotak-kotak yang berkembang sendiri-sendiri.

Namun kemudian disadari bahwa spesialisasi yang makin banyak tidak membawa jawaban yang memuaskan bagi kehidupan manusia. Memang manusia makin mengetahui segala hal secara lebih saksama. Akan tetapi karena setiap spesialisasi hidup sendiri-sendiri dan menganggap dirinya paling utama dalam kehidupan, maka kemudian disadari bahwa pendekatan mekanistik yang diajarkan Isaac Newton tidak menggambarkan kehidupan yang nyata dan sebenarnya. Orang mulai sadar bahwa diperlukan pendekatan yang mengintegrasikan berbagai spesialisasi menuju ke satu sasaran yang bermakna bagi semuanya. Maka dalam cara berfikir timbul pendekatan organik yang melihat kehidupan secara menyeluruh, meskipun terdiri atas bagian-bagian yang penting. Maka disimpulkan bahwa kehidupan manusia dan masyarakat modern tidak hanya memerlukan spesialisasi yang makin banyak, tetapi juga memerlukan pendekatan integrasi yang membuat kehidupan lebih bermakna. Pendekatan integrasi itu juga dapat kita namakan pendekatan holistik.

Yang dimaksudkan dengan pendekatan holistik adalah satu pendekatan yang melihat pentingnya keutamaan bagian-bagian yang saling berkaitan dalam membentuk keseluruhan yang lebih bernilai dari pada kumpulan bagian-bagian itu sendiri. Secara matematis 2 + 2 adalah 4, tetapi dalam kehidupan sebenarnya 2 + 2 bisa lebih dari 4 atau juga kurang dari 4. Tergantung bagaimana dilakukan pendekatan terhadap persoalan. Dengan pendekatan holistik diusahakan agar 2 + 2 adalah lebih dari 4. Itulah yang kemudian dalam ilmu pengetahuan membawa perkembangan interdisipliner antara ilmu pengetahuan yang antara kain menghasilkan bioteknologi yang makin besar dampaknya untuk kehidupan manusia. Dan dalam manajemen dikembangkan Kendali Mutu Terpadu atau Total Quality Control.

Di Indonesia masih kurang sekali adanya kesadaran dalam pendekatan holistik. Kehidupan masih amat tersekat-sekat dalam berbagai satuan yang kurang ada hubungan satu sama lain. Sebagai contoh kita lihat bahwa di lingkungan perguruan tinggi setiap fakultas seakan-akan berdiri sendiri tanpa ada hubungan satu sama lain. Di lingkungan pemerintahan hubungan antar-departemen amat jarang terjadi, bahkan antara direktorat jenderal dalam satu departemen kurang ada integrasi. Juga dalam perencanaan hal itu kurang diperhatikan.

Meskipun semua orang bicara tentang pembangunan nasional, namun untuk bagian terbesar yang dibicarakan dan dilakukan adalah pembangunan ekonomi. Kalau orang bicara tentang faktor politik atau faktor budaya dalam pembangunan nasional, maka kebanyakan itu adalah dampaknya terhadap pembangunan ekonomi. Dan bukan soal pembangunan politik dan pembangunan budaya itu sendiri. Bahkan badan perencanaan tertinggi namanya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), tetapi dalam kenyataan yang dilakukan adalah semata-mata pembangunan ekonomi.

Boleh saja pembangunan ekonomi menjadi titik berat pembangunan nasional, tetapi itu tidak boleh mengabaikan aspek lain dalam kehidupan bangsa. Kurang perhatian terhadap faktor politik dalam perencanaan pembangunan nasional mengakibatkan bahwa tidak tercipta kehidupan demokrasi. Padahal Panca Sila yang menjadi landasan perencanaan pembangunan nasional menghendaki terwujudnya demokrasi. Karena kurang ada demokrasi maka juga kurang ada partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional. Bahkan sebagian masyarakat menjadi teralienasi dari pembangunan karena merasa dipinggirkan. Maka dapat dikatakan bahwa kurangnya kesadaran terhadap faktor keseluruhan bangsa Indonesia telah mengakibatkan kegagalan yang besar yang hingga kini masih harus kita atasi. Oleh sebab itu perlu diadakan pembaruan dalam sikap perencanaan. Pembaruan utama harus terletak dalam penerapan pendekatan holistik dalam perencanaan.

Sebenarnya kebudayaan asli bangsa Indonesia telah berisi pendekatan holistik. Itu jelas sekali terlihat pada Panca Sila yang meliputi semua aspek kehidupan bangsa, baik aspek spiritual maupun aspek material, aspek ekonomi maupun aspek politik dan aspek kebudayaan. Nampaknya kita sebenarnya mengabaikan nilai-nilai budaya kita sendiri karena jauh lebih tertarik kepada nilai budaya Barat yang memang telah menghasilkan kemajuan yang amat besar dalam kehidupan material. Kita pikir bahwa dengan menggunakan pendekatan Barat kita juga akan memperoleh hasil material yang besar.

Kita tidak sadari bahwa Barat sendiri telah mulai meninggalkan kehidupan yang tersekat-sekat. Mereka menyadari bahwa kehidupan manusia masa kini dan masa depan tidak dapat lagi dihadapi dengan cara berfikir lineair. Pada permulaan abad ke 20 hal itu masih berlaku, tetapi sekarang perkembangan umat manusia mengharuskan perubahan cara berfikir ke non-lineair. Hal itu pula membawa kesadaran bahwa pendekatan holistik yang harus digunakan untuk memperoleh kehidupan abad ke 21 yang cukup bermakna.

PENUTUP

Demikianlah beberapa pandangan tentang masalah perencanaan yang kita hadapi di Indonesia dan berpengaruh terhadap Ketahanan Nasional. Perjuangan bangsa Indonesia masih panjang, sukar dan berat serta penuh ketidakpastian. Bahkan tahun 1999 sebagai penutup Abad ke 20 serta Millenium ke-2 merupakan tahun ujian yang berat bagi bangsa Indonesia. Terjadinya Reformasi menambah faktor ketidakpastian itu.

Timbul tantangan terhadap berbagai hal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia. Antara lain kita sekarang mengalami usaha dari sementara kelompok untuk memisahkan daerahnya dari negara kesatuan Indonesia. Kita juga sedang mengalami satu perkembangan demokrasi yang kebablasan sebagai akibat dari kekuasaan otoriter masa Orde Baru. Nampaknya semua orang merasa berhak dan patut untuk mendirikan partai politik sampai terbentuk lebih dari 140 partai politik. Kemudian kita mengalami berbagai kerusuhan dalam masyarakat seperti yang terjadi di Ambon. Seakan-akan umat agama yang satu sudah tidak dapat hidup bersama dengan umat agama yang lain, satu fenomena yang belum pernah terjadi di Indonesia sebelumnya. Demikian pula kita sedang mengalami perkembangan media yang tidak lagi berorientasi kepada penyebaran informasi yang berguna bagi masyarakat, melainkan acapkali lebih menunjukkan penggunaan kesempatan untuk mengumbar perasaan dan dendam. Dalam ekonomi sudah jelas bangsa Indonesia sedang benar-benar terpuruk setelah terjadi Krisis Moneter dan Krisis Ekonomi. Dalam kondisi demikian Ketahanan Nasional benar-benar dalam kondisi yang rawan. Bangsa Indonesia benar-benar sedang mengalami ujian yang datang dari dalam tubuhnya sendiri maupun dari luar yang mempunyai kehendaknya sendiri mengenai masa depan bangsa kita.

Keadaan demikian mudah sekali membuat orang yang kurang teguh imannya menjadi putus asa tentang masa depan bangsa. Sampai ada yang bicara tentang revolusi sosial yang tidak dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi kalau kita penuh kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak perlu ada pessimisme yang mencekam dan malahan membuat kita berpikir dan bertindak yang merugikan diri kita sendiri. Dengan penuh keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa disertai tekad untuk selalu hidup secara sungguh-sungguh dan mengusahakan untuk melakukan pemikiran dan perbuatan yang sebaik-baiknya dan positif, Insya Allah satu saat akan terwujud apa yang kita kehendaki.

RSS feed | Trackback URI

2 Comments »

2009-03-13 18:40:11


saya kagum sekali dengan jenderal yang tetap tanggap tanggon trengginas, tidak secara fisik tentu saja, tetapi dalam kekayaan pemikiran dan pandangan. saat saya letnan satu pernah berkunjung ke rumah jenderal untuk wawancara sebagai reporter majalah FORUM DIRRGANTARA. kemudian saat pendidikan seskoau saya berkesempatan menikmati pemikiran jenderal ketika hadir sebagai pembicara dalam kegiatan PKB JUANG di seskoad tahun 2006. selamat berjuang terus jenderal!

Comment by sayidiman suryohadiprojo
2009-03-17 09:17:13


Trm Kasih Sdr. Agus Suhadi, saya juga doakan semoga Anda dapat menjalankan yang terbaik bagi Anda sekeluarga dan sekali gus terbaik bagi Negara dan Bangsa kita.

 
 
Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post