Anggaran Pendidikan Kita

Posted by Admin on Thursday, 19 October 2000 | Opini

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo

Pemerintah telah menyampaikan RAPBN untuk tahun 2001. Yang menimbulkan rasa kesal dan kecewa pada banyak orang adalah rendahnya anggaran pendidikan. Banyak orang semula berpikir bahwa Pemerintah RI yang baru sekali ini dipilih secara sah sesuai dengan UUD 1945 akan sangat memperhatikan perbaikan pendidikan nasional. Nama Kabinet Reformasi, yang melekat pada pemerintah sekarang, berarti bahwa pemerintah akan sungguh-sungguh menjalankan kebijaksanaan sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia pada umumnya. Salah satu kelemahan pemerintah sebelumnya adalah dalam penyediaan anggaran pendidikan. Selama sejarah RI, belum pernah ada anggaran pendidikan yang melampaui 10 persen dari keseluruhan APBN. Bandingkan dengan tetangga kita, Malaysia, yang sejak merdeka menyediakan anggaran pendidikan yang tak pernah kurang dari 20 persen APBN-nya.

Padahal, penyediaan anggaran pendidikan yang cukup amat penting bagi penyelenggaraan pendidikan nasional yang menjangkau sebanyak mungkin warga negara dan dengan mutu yang memadai. Itu jelas merupakan kewajiban setiap pemerintah yang berkuasa di Indonesia karena UUD 1945 mengharuskan terwujudnya kecerdasan bangsa.

Sejak era Orde Baru, sudah sering ada pernyataan tokoh-tokoh masyarakat yang menginginkan agar anggaran pendidikan ditingkatkan. Apalagi, ada UU Wajib Belajar yang mengharuskan setiap anak mengikuti pelajaran di sekolah selama sembilan tahun. Karena kurangnya anggaran pendidikan, program Wajib Belajar tak dapat dilaksanakan dengan baik. Karena itu, ketika reformasi dimulai, desakan untuk meningkatkan anggaran pendidikan semakin keras dan santer. Kemudian banyak pemimpin politik menyatakan akan menyediakan anggaran pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN. Tapi, ternyata kembali muncul sifat-sifat manusia Indonesia, yaitu perbuatannya sama sekali tidak sesuai dengan apa yang diomongkan!

Di masa pemerintahan Habibie, ditetapkan anggaran pendidikan sebesar 6,7 persen dari APBN. Itu sudah menurun sekali bila dibandingkan dengan masa pemerintahan Soeharto yang pernah mencapai 9,3 persen dan terakhir sekitar 8 persen. Ketika itu, pemerintah Orde Baru beralasan bahwa prioritas harus diletakkan pada pengadaan prasarana, seperti penyediaan listrik, pelabuhan, dan sebagainya. Mereka tak mau menerima pandangan yang menyatakan bahwa investasi terbaik adalah dalam peningkatan kemampuan SDM dan jalan utamanya adalah pendidikan. Namun, anggaran pendidikan di masa pemerintah Orde Baru masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan Kabinet Reformasi sekarang.

Kabinet Reformasi tanpa malu-malu menetapkan hanya sekitar 3,8 persen dari APBN untuk anggaran pendidikan tahun 2001. Rupanya, pemerintah tak peduli bahwa program Wajib Belajar kini sangat parah keadaannya. Mereka juga lebih tidak peduli lagi bahwa sekarang anak muda Indonesia sudah tidak keruan sikap hidupnya, tanpa pengendalian diri dan disiplin, serta mudah sekali bergolak dan terlibat tawuran. Anehnya, pemerintah tak menganggap perlu memberikan penjelasan atau permintaan maaf kepada masyarakat tentang sikap yang begitu bertentangan dengan aspirasi bangsa tersebut. Angka 3,8 persen itu sangat bertolak belakang dengan omongan para politisi yang mengatakan akan menyediakan anggaran sebesar 20 persen. Pemerintah Orde Baru dulu masih mau mengatakan bahwa tidak mungkin memberikan anggaran pendidikan yang lebih besar karena prioritas diletakkan pada pembangunan prasarana yang memerlukan banyak biaya. Tapi, apa prioritas Kabinet Reformasi, sehingga sangat mengabaikan pendidikan?

Mungkin, pemerintah mengemukakan argumen bahwa anggaran pembangunan pendidikan ditetapkan Rp 7,3 triliun atau sekitar 21,8 persen dari seluruh anggaran pembangunan. Tapi, anggaran rutin hanya sekitar Rp 4 triliun, sehingga total anggaran pendidikan adalah Rp 11,3 triliun. Angka itu tidak lebih dari 3,8 persen dari Rp 295 triliun yang merupakan semua pengeluaran yang direncanakan untuk tahun 2001. Mustahil orang-orang yang duduk dalam pemerintahan begitu naif atau bahkan bodoh untuk mengira bahwa pendidikan nasional tergantung dari anggaran pembangunan. Bagaimana dengan gaji guru yang justru harus diperbaiki dan ditingkatkan untuk memperoleh mutu pengajaran yang lebih baik?

Memang, Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin mengatakan bahwa ia masih akan mengusahakan kenaikan anggaran. Melihat pengalaman yang sudah-sudah, kita tak terlalu optimistis bahwa ia akan memperoleh apa yang diinginkannya. Demikian pula dengan kehendak untuk menambahnya melalui anggaran daerah. Hal itu masih sukar direalisasikan karena pelaksanaan otonomi daerah baru akan dimulai. Memang, hal itu mungkin dapat dilakukan di daerah yang amat kaya, seperti Riau. Tapi, pada umumnya, akan sukar diharapkan bahwa daerah dapat menyediakan anggaran pendidikan yang cukup besar, sekalipun pendidikan dasar menjadi tanggung jawabnya. Diperlukan jangka waktu sekurang-kurangnya lima tahun sebelum otonomi daerah bisa berjalan lancar.

Perjalanan memang masih amat panjang bagi bangsa Indonesia sebelum dapat menyamai keadaan negara tetangganya. Kalau untuk bidang pendidikan yang sifatnya begitu mendasar pemerintah tak malu-malu menunjukkan sikap yang amat berbeda dengan apa yang telah diomongkan, bagaimana dengan bidang-bidang lain? Kita ingin tahu, kapankah ada pemerintahan di Indonesia yang benar-benar bertekad membangun pendidikan nasional dengan semestinya, dan mau menyediakan anggaran minimal 20 persen dari APBN untuk itu.

Source : http://www.forum.co.id/Forum%20News/edisi/0929/Kolom/KolomSayidiman.htm

RSS feed | Trackback URI

Comments »

No comments yet.

Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post