Perwira Militer dan Pimpinan Negara Demokrasi

Posted by Admin on Monday, 7 June 2004 | Opini

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo, Mantan Gubernur Lemhannas

Masyarakat masih ramai memperdebatkan apakah mantan perwira militer dapat bersikap demokratis dan memimpin negara dengan sistem demokrasi. Perdebatan itu muncul dengan ditetapkannya Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (disingkat SBY) oleh Partai Demokrat dicalonkan untuk menjadi Presiden RI. Menjadi lebih hangat lagi ketika Konvensi Nasional Golkar memilih Jenderal (Purn) Wiranto (disingkat Wiranto) sebagai calon Presiden Partai Golkar. Dan ditambah lagi dengan dicalonkannya Jenderal (Purn) Agum Gumelar menjadi Wapres, berpasangan dengan Hamzah Haz.
Ketika itu langsung segolongan orang yang umumnya terpelajar hasil pendidikan tinggi luar negeri dan berumur muda, melancarkan perdebatan bahwa mantan Jenderal tidak mungkin dapat meninggalkan sikap militernya sekalipun sudah pensiun. Karena itu tidak mungkin bersikap demokratis, apalagi memimpin negara dengan sistem demokrasi. Maka kalau dalam pemilihan Presiden nanti, SBY atau Wiranto terpilih menjadi Presiden RI periode 2004-2009 maka pasti demokrasi yang sedang tumbuh di Indonesia akan berantakan, bahkan gagal berkembang, demikian kata mereka.
Apalagi ketika ada seorang purnawirawan jenderal menyatakan dan dimuat dihalaman muka satu harian terkemuka di Jakarta bahwa militer tidak demokratis. Yang dimaksudnya adalah bahwa militer sebagai lembaga tidak berfungsi dengan sistem demokrasi. Dengan cepat ucapan itu “dimanfaatkan” oleh mereka yang tidak suka munculnya calon presiden dari mantan militer.
Mereka mengatakan, bagaimana mungkin lembaga yang tidak berfungsi dengan sistem demokrasi dapat melahirkan orang-orang demokratis. Mereka mengatakan pula, mungkin saja Amerika dalam sejarahnya berkali-kali dipimpin mantan jenderal. Akan tetapi di negara itu, kata mereka, tradisi demokrasi sudah amat kuat, sedangkan di Indonesia baru dimulai.
Tak Ada Jaminan
Dalam satu pertemuan, seorang cendekiawan LIPI malahan mengatakan, sebagaimana diberitakan harian terkemuka Jakarta itu, mana mungkin seorang Jenderal dapat menyusun konsep ekonomi atau pendidikan. Sebab itu, sama sekali tidak ada jaminan bahwa mantan jenderal akan menjadi presiden yang lebih efektif dan berhasil daripada yang sekarang.
Pendeknya, golongan cendekiawan muda iu benar-benar berusaha mempengaruhi masyarakat agar tidak memilih SBY atau Wiranto nanti dalam pemilihan presiden.
Namun orang-orang pandai yang amat terpelajar itu, sedang membuat kesalahan berpikir mungkin dengan sengaja atau mungkin pula tidak sengaja.
Pertama, mereka mengabaikan kenyataan bahwa manusia pada dasarnya berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya untuk mencapai hal terbaik dalam
kehidupannya. Makin cerdas dan energik orang itu makin berhasil ia melakukannya. Seorang mantan militer yang sudah berstatus sipil, akan berusaha untuk sebaik-baiknya menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Sebab penyesuaian itu akan menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam sisa hidupnya. Makin cerdas orang itu, serta makin banyak menempuh pendidikan dan pengalaman, makin mampu ia melakukan penyesuaian itu.
Dengan demikian adalah amat memandang rendah kepada kecerdasan SBY dan Wiranto dengan berbagai pendidikan dan pengalaman yang mereka tempuh bahwa mereka tidak dapat bersikap demokratis dan bahwa mereka pasti mengembangkan militerisme dan otoritarianisme. Kalau lembaga militer tidak berfungsi demokratis, itu tidak berarti bahwa seorang militer diluar organisasi militer, apalagi kalau ia sudah purnawirawan dan berkecimpung dalam lingkungan sipil, tidak dapat bersikap demokratis dan pasti mengembangkan militerisme dan otoritarianisme.
Justru karena sebagai mantan perwira militer ia berorientasi kepada sukses (there is no substitute for success), maka ia akan bersikap demokratis dan mengembangkan demokrasi di Indonesia. Kalau tidak, maka yang diperoleh adalah kegagalan. Dan SBY maupun Wiranto cukup cerdas untuk manyadari itu. Sebab mereka cerdas dan ingin berhasil, maka mereka tidak akan mengulangi hal-hal negatif dari kepemimpinan mantan Presiden Soeharto.
Penilaian bahwa mantan jenderal tidak mungkin mengembangkan konsep ekonomi dan pendidikan menunjukkan bahwa yang menyatakan itu kurang paham tentang manajemen organisasi besar. Pimpinan organisasi besar adalah sekaligus manajer yang baik. Sebagai manajer yang baik ia tidak akan melakukan segalanya sendiri, melainkan memilih pembantu yang pakar dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi dan pendidikan.
Sebagai pimpinan dan manajer ia seorang generalis yang pandai melihat keseluruhannya dengan
mengindahkan bagiannya. Tim Ekonomi membuat konsep ekonomi. Namun hanya pemimpin yang mengambil keputusan apakah konsep itu dikerjakan atau tidak, kemudian sebagai pimpinan negara, ia pula yang melaksanakannya. Tentu pakar yang dipilih adalah pakar yang pandangan ekonominya tidak bertentangan dengan visi kepemimpinan yang telah ditetapkan. Kalau visi kepemimpinan menetapkan pengembangan ekonomi rakyat, tidak akan dipilih pakar ekonomi yang tergolong neo liberalis atau market-fundamentalist.
Pemimpin Sipil
Bicara tentang militerisme, justru dalam sejarah, militerisme lebih banyak dikembangkan oleh pemimpin sipil, seperti Adolf Hitler di Jerman. Sedangkan mantan militer cukup banyak meninggalkan warisan yang cemerlang untuk peradaban. Lihat saja Napoleon Bonaparte, George Washington, Winston Churchill.
Jadi yang harus diperiksa adalah orangnya, yaitu track record, cara pandangnya, kebiasaan hidupnya. Akan tetapi yang terpenting adalah nanti setelah menjabat, apakah benar mengembangkan kepemimpinan yang memajukan negara dan bangsa.
Kita mengalami kekecewaan ketika Presiden Abdurrahman Wahid bersikap beda sekali dengan apa yang kita lihat sebelum menjabat presiden. Orang yang dikenal sebagai demokrat, berubah menjadi presiden yang sering otoriter dan tidak demokratis. Sebab itu, yang amat penting adalah berjalannya kontrol atas jalannya pekerjaan presiden dan tanpa ragu-ragu ditegur kalau menjalankan kekurangan dalam kepemimpinannya. Akan tetapi, untung sekali bahwa bagian terbesar bangsa kita berpikir lebih masuk akal dan tidak mau terjebak dalam dikotomi sipil-militer. Buat mereka yang penting adalah calon presiden menimbulkan kepercayaan dan harapan akan bekerja baik serta menghasilkan kemajuan dan kesejahteraan lebih banyak bagi rakyat banyak.
Maka sebaiknya orang yang menolak mantan jenderal TNI, merangsang dan mendorong para capres sipil seperti Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, agar dapat mengungguli SBY dan Wiranto dalam merebut kepercayaan rakyat. Kalau itu dapat terwujud pasti kita tidak akan mempunyai presiden baru yang mantan jenderal TNI. ***

Dikutip dari Suara Pembaruan 7 Juni 2004

RSS feed | Trackback URI

Comments »

No comments yet.

Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post