Tentara Harus Kembali ke Rakyat

Posted by Admin on Monday, 11 November 1996 | Artikel

Kompas Online Senin, 11 November 1996

* Sayidiman Luncurkan Buku

Jakarta, Kompas

Jajaran ABRI harus mewaspadai terjadinya metamorfosa fisik maupun organisasi tentara nasional Indonesia (ABRI) agar semangat kerakyatan bisa terpelihara. Tentara harus kembali ke rakyat dan hidup berbaur dengan rakyat agar mereka bisa mendengarkan segala aspirasi rakyat, termasuk kesenangan dan kegetiran hidup rakyat banyak. Selain itu untuk menghadapi tantangan zaman saatnya ABRI mengkaji ulang doktrin-doktrin serta meredefinisi jati dirinya.

Persoalan tersebut mengemuka dalam bedah buku Kepemimpinan ABRI dalam Sejarah dan Perjuangannya karya Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, Sabtu (9/11). Bedah buku saat peluncuran buku terbitan PT Intermasa tersebut menghadirkan pembahas Penasihat Menristek bidang Hankam, Mayjen (Purn) Zaeni Azhari Maulani, Wakil Gubernur Lemhannas Prof Dr Juwono Sudarsono, pengamat sejarah ABRI Dr Salim Said, serta ahli manajemen Prof Dr Wagiono Ismangil. Sejumlah tokoh tampak hadir termasuk mantan Pangkopkamtib Jenderal TNI (Purn) Soemitro, Letjen TNI (Purn) Kemal Idris, Letjen TNI (Purn) Ahmad Tirto Sudiro.

"Tentara itu harus mempunyai semangat kerakyatan (populis). Dia milik orang banyak," kata Maulani. Dalam bahasannya mantan Pangdam Tanjungpura tersebut menunjuk faktor semangat kerakyatan sebagai hal penting dari tujuh faktor lainnya yang mempengaruhi kepemimpinan TNI. Faktor lainnya adalah, semangat kebangsaan; kebangkitan rakyat; kemandirian; integrasi nasional; sikap pertahanan rakyat semesta serta rasa tanggung jawab nasional. Perkembangan sosial masyarakat menyebabkan pilar-pilar tersebut mulai dipertanyakan.

Maulani mengungkapkan pengalamannya saat bertugas di jajaran Siliwangi di mana kedekatan tentara dengan rakyat begitu padu. "Sampai ada istilah tentara pastur (tepas batur) karena kita menginap di tepas beranda) rumah rakyat. Di situlah kita hidup, menginap serta merasakan aspirasi rakyat. Kita juga tahu kegetiran dan kesenangan-kesenangan mereka," kata mantan Kastaf Resimen Kujang Jabar tersebut. Dampak hidup tentara dengan rakyat seperti itu menyebabkan mereka tidak terpisahkan satu dan lainnya.

"Namun perkembangan terjadi ketika tentara harus masuk barak yang dipagar dan dijaga. Distansi fisik seperti itu berpengaruh terhadap sikap (tentara). Metamorfosis fisik dan organisatoris seperti itu harus diwaspadai," kata Maulani. Nasib tentara pun tidak lagi ditentukan oleh rakyat namun oleh pusat pimpinan mereka. Maulani menilai, hal tersebut sudah disadari oleh Mabes ABRI seperti dinyatakan Pangab Jenderal TNI Feisal Tanjung soal konsep dan semangat tentara rakyat. "Itu artinya semua keyakinan, wawasan, sikap dan perilaku yang mengakar ke rakyat," katanya.

Rakyat tidak bodoh

Juwono Sudarsono mengatakan, tidak diwarisinya kemampuan manajerial maka kepemimpinan (nasional) berimprovisasi dalam menyelenggarakan negara. Akibatnya, saat memimpin kita banyak mau dan banyak menggunakan naluri untuk menjalankannya. "Jika dalam tentara disebut tidak ada prajurit bodoh, yang ada hanya perwira bodoh. Begitu pula rakyat, tidak ada rakyat yang bodoh, yang bodoh pimpinannya," katanya.

Salim Said menilai perlunya kembali perumusan doktrin-doktrin yang selama ini dipakai tentara untuk menyesuaikannya dengan perkembangan zaman dan masyarakatnya. "Doktrin warisan itu tidak perlu menjadi sakral seolah-olah hal yang harus dilestarikan," katanya. Kepemimpinan ABRI, lanjut Salim, belum pernah tertantang oleh kondisi pasca-perang dingin. "Ada dua negara yang dimana tentara dominan yaitu Burma (Myanmar) dan Indonesia. Apa kita mau dianggap sama dengan Burma?" katanya.

Menurut Ahmad Tirto Sudiro, pengalaman bergerilya menunjukkan tentara dengan rakyat ibarat ikan dengan air. Persoalannya, bagaimana semangat kerakyatan tersebut dipelihara dan ditransformasikan ke masa kini.

Dalam diskusi ini juga dipersoalkan antara lain masalah biaya sosial yang dialami masyarakat akibat kepemimpinan ABRI selama ini, termasuk ‘ketakutan-ketakutan’ rakyat karena berbagai tekanan pendekatan keamanan. Menurut Sayidiman, mestinya juga dipertanyakan bagaimana keadaan bangsa Indonesia jika tidak ada kepemimpinan ABRI.

Umumnya para pembahas sepakat, pengenaan wajib militer bagi warga negara untuk memelihara semangat kerakyatan tersebut. "Jika kita bicara ABRI (saat ini) kok sepertinya ekslusif," ujarnya. Jika wajib militer diberlakukan maka sebagian besar anggota ABRI adalah rakyat sehingga tidak lagi dirasakan hal seperti itu. "Selama ABRI terdiri dari tentara-tentara jabatan maka sulit dihindari sikap dan pola pikir yang mengakibatkan (terciptanya) alienasi ABRI," kata Maulani.

Buku Kepemimpinan ABRI setebal 452 halaman tersebut merupakan buku kedelapan yang ditulis Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo. Buku lain yang ditulis mantan Gubernur Lemhannas yang saat ini menjadi Penasihat Menristek/Ketua BPPT antara lain Pancasila, Islam dan ABRI (1992) serta Membangun Peradaban Indonesia (1995). "Saya mendapat kesan, banyak minat terhadap kepemimpinan ABRI namun banyak juga ketidaktahuan terhadap hal itu," kata Sayidman tentang alasan menulis buku barunya. (ush)

Source : http://www.kompas.com/9611/11/UTAMA/tent.htm

RSS feed | Trackback URI

Comments »

No comments yet.

Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post