Cara ABRI Mengembangkan Kepemimpinan

Posted by Admin on Wednesday, 11 September 1996 | Artikel

SUARA PEMBARUAN DAILY
11 September 1996

Pengertian kepemimpinan dalam TNI baru ada sekitar 1953, yakni sejak sejumlah perwira TNI menempuh pendidikan militer di Amerika Serikat. Tetapi kepemimpinan sebagai tindakan dan perbuatan sesungguhnya sudah ada sejak berdirinya Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berubah namanya menjadi TKR, TRI, dan akhirnya TNI (halaman 1 dan 8). Ketiadaan pengertian kepemimpinan seperti disebut di atas sebelum tahun 1953 merupakan ”warisan” dari Belanda yang cukup lama menjajah Indonesia. Menurut Sayidiman Suryohadiprojo, di lingkungan Belanda pengertian kepemimpinan (kurang lebih sama dengan leiderschap) adalah satu kemampuan manusia yang diperoleh dari lahir, bukan karena mendapat pendidikan tertentu.

Hal itu menyebabkan di kalangan masyarakat Belanda, termasuk di lingkungan militernya, tidak banyak dibicarakan tentang kepemimpinan. Pengertian kepemimpinan yang lebih lengkap baru mulai tumbuh di kalangan masyarakat Belanda dan militernya jauh setelah Perang Dunia II usai, saat mendapat pengaruh Amerika Serikat.

Di Amerika Serikat diakui bahwa kepemimpinan banyak dipengaruhi oleh bakat yang di bawah orang sejak lahir. Bagi yang lahir dengan bakat kepemimpinan yang tinggi, memang tidak memerlukan pelajaran kepemimpinan untuk menjadi pemimpin yang baik.

Namun, bagi mereka yang lahir dengan bakat kepemimpinan yang biasa-biasa saja, mereka memerlukan pendidikan kepemimpinan agar dapat memimpin dengan baik. Itu berarti, diperlukan suatu prakarsa untuk menciptakan semacam teori kepemimpinan yang mengemukakan prinsip-prinsip yang mesti dijalankan guna memperoleh mutu kepemimpinan yang memadai (halaman 2). Teori itulah yang diterapkan dalam pendidikan kepemimpinan di Amerika Serikat yang sempat diikuti perwira-perwira TNI.

Prinsip Kepemimpinan

Menurut penulis buku ini, setelah lebih dari 20 tahun menggunakan teori yang diperoleh dari Amerika Serikat, (setelah tahun 1970) TNI berhasil merumuskan prinsip-prinsip kepemimpinan sendiri yang didasarkan pada kondisi kehidupan dan nilai-nilai budaya Indonesia. TNI lalu menetapkan 11 asas kepemimpinan yang terdiri atas: Takwa, Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani, Waspada prabu wisesa, Ambag paramarta, Prasaja, Satya, Gemi nastiti, Belaka, dan Legawa (halaman 4 dan 5).

Kepemimpinan yang tumbuh dalam TNI itu dipengaruhi berbagai faktor. Pertama, Semangat Kebangsaan. Semua yang masuk BKR sebagai cikal bakal TNI diliputi semangat kebangsaan yang kuat untuk berjuang merebut dan menegakkan kemerdekaan bangsa. Kedua, Semangat Kerakyatan. Dalam BKR dan laskar-laskar yang dibentuk oleh rakyat, semangat kerakyatan cukup kuat. Ketiga, Kebangkitan Rakyat. Hal ini dipengaruhi pembentukan BKR selaku gerakan suka rela rakyat dalam jumlah besar untuk berjuang.

Keempat, Semangat Kemandirian. Semangat ini merupakan pengaruh dari kenyataan sejarah pada mulanya bahwa pemeliharaan pasukan, termasuk penyediaan persenjataan bukan dilakukan oleh pemerintah, melainkan oleh para komandan pasukan sendiri. Kelima, Semangat Integrasi Nasional sebagai pengaruh dari hasil integrasi yang dilakukan terhadap semua laskar perjuangan untuk menjadi Pertahanan Rakyat Semesta sebagai pengaruh dari keharusan bagi bangsa Indonesia untuk menjalankan Perang Kemerdekaan Kedua dengan cara bergerilya. Cara seperti itu menimbulkan pada kepemimpinan TNI keyakinan dan kesadaran bahwa pertahanan negara hanya dapat berhasil dan efektif bila dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia dengan TNI sebagai intinya (halaman 10). Ketujuh, Rasa Tanggung Jawab Nasional, sebagai pengaruh dari kejadian ketika pimpinan negara ditawan musuh, sehingga perjuangan membela kemerdekaan dapat mengalami kegagalan andaikata TNI bersikap seperti tentara biasa.

Dari paparan di atas, sesungguhnya kita dihadapkan pada kenyataan historis bahwa TNI lahir dan tumbuh pada tahun 1945 sebagai organisasi perjuangan dan bukan semata-mata sebagai organisasi bersenjata bentukan Pemerintah RI (halaman 12).

Pendidikan

Dalam perkembangan TNI selanjutnya dikenal di samping pendidikan berjenjang, juga dilakukan pendidikan profesional. Pendidikan tersebut ada yang dilakukan dalam negeri, dan ada di luar negeri (terutama para perwira). Harus diakui bahwa pengiriman para perwira ke luar negeri itu sendiri turut meningkatkan mutu kepemimpinan ABRI.

Banyak hal penting dibahas dalam buku ini. Misalnya tentang pembinaan personel ABRI (halaman 43 – 51). Dalam bahasan itu dikemukakan tentang dua orientasi yakni prestasi dan senioritas. Untuk kedua orientasi itu, senioritas betul-betul diperhatikan kecuali perwira itu sungguh-sungguh menunjukkan prestasi yang menonjol sehingga dapat saja seseorang yang yunior melampaui yang senior (halaman 46).

Dari 13 bab buku ini, cukup menarik untuk memperhatikan bab 13, Menyongsong Masa Depan. Dalam bab terakhir itu, Letjen (Purn) TNI Sayidiman Suryohadiprojo lebih banyak menulis tentang Indonesia di masa depan. Dikatakan, perlu diusahakan dalam waktu sesingkat mungkin agar manusia Indonesia meningkat, dalam arti tidak saja harus ada peningkatan dan perbaikan dibandingkan dengan mutu manusia Indonesia di masa lampau, tetapi juga dilihat dalam perbandingan dengan mutu manusia bangsa lain, khususnya tetangga kita. Dijelaskan, usaha utama untuk menuju ke peningkatan dimaksud adalah melalui pendidikan.

Sayidiman, mantan Gubernur Lemhannas menilai positif Wajib Belajar 9 tahun. Hanya saja, katanya, ketentuan itu mengandung konsekuensi bahwa pendidikan dasar yaitu SD dan SLP untuk anak Indonesia harus dapat diberikan oleh pemerintah secara cuma-cuma (halaman 407). Itu berarti pemerintah perlu menyediakan bagian yang cukup besar dari APBN untuk pendidikan.

Tetapi dalam kenyataannya, anggaran pendidikan kita masih rendah dibanding anggaran sektor lainnya. Anggaran sektor pendidikan yang meliputi juga kebudayaan, pemuda dan olahraga pada tahun 1995/1996 sebanyak Rp 6,216 triliun yang terdiri atas anggaran pembangunan sebanyak Rp 3,359 triliun dan anggaran rutin Rp 2,857 triliun. Hal ini bila dibanding dengan APBN yang besarnya Rp 78,024 triliun, sektor pendidikan baru 7,96%. Dibanding GDP Indonesia yang sekitar Rp 340 triliun, itu adalah 1,8%. Khusus subsektor pendidikan, ternyata anggaran pembangunan adalah Rp 3,061 triliun dan anggaran rutin Rp 2,592 triliun (total Rp 5,654 triliun). Itu berarti anggaran pendidikan sebesar 7,25% dari APBN dan 1,6% dari GDP.

Jika dibanding dengan negara lain di Asia, anggaran pendidikan di Indonesia masih rendah. India, misalnya mengeluarkan 6% dari GDPnya untuk pendidikan. Negara anggota ASEAN menyediakan antara 15 – 21% dari APBN mereka atau sekitar 3 hingga 6% GDP mereka (halaman 408).

Di halaman 414 Sayidiman menyinggung tentang pentingnya jabatan Presiden Republik Indonesia, dan di halaman 415 tentang peran pers berupa media cetak dan media elektronika yang perlu mendapat perhatian lebih banyak. ”Harus dapat dilaksanakan dengan baik pedoman tentang pers yang bebas dan bertanggung jawab”, tulisnya.

Kesenjangan

Hal lain yang perlu mendapat perhatian serius adalah tentang persoalan ekonomi dan kesenjangan nasional kita lebih sulit karena adanya kesenjangan antardaerah. Mengutip pendapat Dr Nasikun, Sayidiman mengatakan, KBI (kawasan barat Indonesia) yang wilayahnya 31,56% dari wilayah nasional menghasilkan 80,9% dari Bruto Produk Nasional. Sedangkan KTI (kawasan timur Indonesia) yang wilayahnya 68,45% wilayah nasional hanya menghasilkan 19,1%. Karena itu, menurut penulis buku ini, perlu lebih digerakkan investasi masuk ke KTI.

Buku yang dilengkapi indeks ini, mengungkap banyak hal yang penting tentang masa depan Indonesia di samping — sesuai judulnya– berbicara tentang kepemimpinan ABRI. Buku ini hendaknya dibaca oleh perencana pembangunan (terutama bab terakhir) dan secara keseluruhan patut dibaca generasi muda agar mengerti peranan ABRI yang tak terpisahkan dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, baik waktu merebut kemerdekaan maupun menuju tercapainya cita-cita masyarakat adil dan makmur.

Source : http://www.suarapembaruan.com/News/1996/09/110996/Info/1cara/1cara.html

RSS feed | Trackback URI

Comments »

No comments yet.

Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post