Reformasi TNI Bukan Perombakan RI

Posted by Admin on Tuesday, 8 December 2009 | Opini

Sayidiman Suryohadiprojo

Jakarta, 7 Desember 2009

 

Pendahuluan

Satu harian utama Ibu Kota memberitakan, bahwa pada tanggal 30 November 2009 organisasi Imparsial mengadakan pertemuan dengan tema Advokasi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan Indonesia.

Dalam pertemuan itu antara lain bicara Dr. Ikrar Nusa Bakti (INB), seorang professor riset LIPI, dan Letjen Purn Agus Widjojo (AW), mantan Kaster TNI.

Dua pembicara ini telah menyampaikan pandangan yang perlu menjadi perhatian kita yang cinta TNI dan terutama para Pembina TNI. Khususnya karena AW sebagai penasehat Presiden dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sedangkan INB sebagai pejabat penting di LIPI tentu sedikit banyak berpengaruh terhadap kalangan intelektual.

Antara lain INB dan AW mengatakan, sesuai berita harian itu, bahwa Reformasi TNI masih belum selesai. Kedua tokoh itu sependapat bahwa harus ada pemurnian TNI menjadi tentara professional untuk pertahanan. Untuk itu ada kendala berat berupa budaya yang hidup di lingkungan TNI serta pola pikir militer yang berlaku.

Selain itu INB mengatakan bahwa tertinggalnya TNI sekarang ini dalam alutsista terutama disebabkan oleh budaya yang hidup di lingkungan TNI yang selama bertahun-tahun sibuk dengan politik dan bisnis militer. Menurut INB untuk menjadikan TNI kekuatan pertahanan yang professional diperlukan anggaran sebesar Rp 50 hingga Rp 60 trilyun, sedangkan anggaran sekarang yang sekitar Rp 40 trilyun adalah di bawah normal.

Sedangkan AW mengemukakan perlunya 4 agenda untuk memurnikan TNI :

1) Gelar kewilayahan yang sesuai dengan fungsi pertahanan dan kaidah demokrasi, 2) transformasi pola pikir Dwifungsi TNI dari penjaga bangsa ke tentara professional, 3) struktur organisasi, dan 4) sistem pendidikan TNI.

Selain itu AW mengatakan bahwa pola pikir masyarakat juga merupakan kendala, karena selalu menyerahkan masalah keamanan juga pada TNI.

Kalau berita harian itu benar, maka ada maksud kuat kalangan tertentu di Indonesia untuk menjadikan TNI satu kekuatan bangsa yang dalam sikap dan jiwnya berbeda sekali dengan TNI yang kita bangun bersama sejak 1945. Karena orang-orang yang mengemukakan pendapat ini dekat dengan pusat kekuasaan Indonesia dewasa ini, maka pendapat mereka harus menjadi perhatian para Patriot Bangsa dan Pecinta TNI. Sebab kalau dilakukan apa yang mereka kemukakan akan terjadi perubahan yang besar, bahkan radikal , tidak hanya dalam sikap dan jiwa TNI, tetapi terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.

 

Mengapa TNI tentara pejuang di samping tentara professional

Tema utama dari pendapat INB dan AW berkisar sekitar kondisi TNI yang menetapkan diri sebagai tentara pejuang, di samping sebagai tentara professional. Mereka tidak setuju dan tidak senang dengan itu, buat mereka TNI haruslah hanya tentara professional yang mengurus pertahanan negara terhadap serangan fisik-militer dari luar negeri saja.

Bahwa INB berpendapat demikian dapat kita pahami karena ia berasal dari lingkungan cendekiawan sipil yang sudah lama berbeda atau bahkan bertentangan dengan dasar pandangan dan sikap TNI.

Yang agak aneh adalah AW yang putera seorang Perwira Tinggi TNI-AD, bahkan seorang Pahlawan Revolusi. AW lulusan Akademi Militer Nasional Magelang, dan selama perjalanan hidupnya lebih lama berada di lingkungan TNI dari pada lingkungan non-TNI. Dengan pernyataannya itu AW seakan-akan menghujat masa lalunya sendiri dan sekarang hendak memperbaiki “kesalahan”nya dengan memperjuangkan hilangnya predikat dan sifat TNI sebagai tentara pejuang.

Sebab itu perlu diuraikan kembali mengapa TNI bukan hanya satu organisasi tentara professional, tetapi juga tentara pejuang. Dan apakah sikap TNI demikian merugikan negara dan bangsa Indonesia ? Atau malahan mengandung manfaat yang cukup besar artinya bagi negara dan bangsa ?

Sebenarnya hal ini sudah berkali-kali diuraikan dan seharusnya diketahui umum. Akan tetapi untuk menjamin bahwa semua warga bangsa Indonesia tahu dan paham tentang ini, karena TNI adalah miliknya dan milik seluruh bangsa, maka uraian ulang ini diperlukan.

Pemerintah RI yang mula-mula berdiri setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 menganggap kurang bijaksana kalau segera membentuk tentara untuk pengamanan kemerdekaan. Sebab pihak Belanda dapat menuduh tentara itu bekas tentara Jepang dan bahwa Republik yang baru berdiri itu buatan Jepang. Belanda akan dan dapat mempengaruhi para pemimpin Inggeris yang diberi tanggungjawab menerima penyerahan Jepang atas Indonesia atau bekas Hindia Belanda. Hal mana akan sangat mempersulit perkembangan RI yang baru.

Sebab itu rakyat sendiri yang bangkit dan membentuk kemampuan untuk mengawal Republik baru itu terhadap datangnya kembali Belanda dengan menumpang pasukan Sekutu yang menang perang. Sebab Belanda datang untuk menegakkan kembali penjajahannya di Indonesia yang pada 1 Maret 1942 telah diserahkan kepada Jepang. Rakyat Indonesia membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan laskar-laskar perjuangan untuk melawan usaha Belanda itu. Namun syukur bahwa pimpinan tentara Inggeris melihat BKR dan laskar-laskar perjuangan sebagai satu kebangkitan rakyat (levee en masse) , dan bukan bikinan tentara Jepang.

Ketika pemerintah RI yakin tentang pandangan tentara Inggeris maka pada 5 Oktober 1945 BKR ditetapkan sebagai tentara resmi dengan sebutan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kemudian dalam perjalanan RI sebutan TKR berubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan akhirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) sesuai dengan tingkat perjuangan bangsa. Ketika berubah menjadi TNI pada tahun 1947 segenap laskar perjuangan ditiadakan dan digabungkan dalam TNI.

Karena cara terbentuknya dan proses perkembangannya, maka masuk akal TNI merasa dirinya sebagai organisasi perjuangan bangsa yang tidak hanya membela RI secara militer terhadap serangan dari luar, melainkan ia juga satu kekuatan perjuangan rakyat untuk menegakkan kemerdekaan. Sudah jelas hal itu dirasakan laskar perjuangan, tetapi itu juga berlaku untuk BKR yang menjadi Tentara Keamanan Rakyat, Tentara Keselamatan Rakyat , Tentara Rakyat Indonesia, dan akhirnya TNI. Jelas sekali bahwa dari lahirnya dan proses perkembangannya (wordingsproces), TNI tidak hanya tentara professional yang membela RI melawan serangan militer negara lain, melainkan justru lebih bersifat satu tentara perjuangan yang membela kemerdekaan bangsa dan bersama-sama seluruh rakyat berjuang mencapai Tujuan Nasional, yaitu menciptakan Masyarakat Adil Makmur berdasarkan Pancasila dalam Negara Kesatuan RI yang merdeka dan berdaulat. Maka ketika pada tahun 1948 terjadi pergolakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mengganti RI berdasarkan Pancasila dengan satu negara komunis Indonesia, adalah TNI yang digerakkan pemerintah untuk mengatasinya. Demikian pula ketika dalam serangan Belanda ke Yogya pada bulan Desember 1948 pemerintah RI ditawan Belanda, perlawanan TNI tidak berakhir. Perlawanan TNI bersama rakyat kemudian justru dapat menimbulkan kondisi yang memaksa Belanda mengakui kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Satu tentara professional yang bukan pejuang di masa itu akan mengakhiri perlawanannya, karena pemerintah RI sudah tidak berfungsi. Tetapi TNI sebagai tentara pejuang terus melawan sehingga akhirnya pemerintah RI dapat berfungsi kembali.

Setelah tahun 1950 Pemerintah RI dan pimpinan TNI hendak mengembangkan TNI sebagai tentara professional dengan meningkatkan aspek teknik-militernya. Akan tetapi kehendak ini mengalami hambatan besar karena RI masih terbatas kemampuannya untuk menyediakan berbagai hal yang diperlukan untuk menjadikan TNI tentara dengan kemampuan teknologi yang sesuai. Sebab RI tidak mau berpihak kepada satu negara maju yang dapat dan bersedia membantunya untuk penyediaan keperluan itu. Selain itu RI juga terus diganggu oleh usaha berbagai pihak sehingga sulit mengembangkan tingkat kesejahteraan dan ekonominya yang meningkatkan kekuatan finansial dan industrial. Selain bekas penjajah Belanda berusaha agar Indonesia yang merdeka tergantung pada bantuannya sehingga terus dapat dimanfaatkan sebagai jajahan model baru (neo-kolonialisme), juga pihak Barat dan Komunis yang sedang terlibat dalam Perang Dingin terus berusaha agar RI memihak kelompoknya. Di samping itu ada golongan lain, seperti kaum Islam yang hendak membangun negara Islam di Indonesia, yang turut merongrong RI secara terus menerus.

Itu sebabnya RI setelah 1950 tidak hentinya menghadapi berbagai masalah keamanan dalam negeri yang mau tidak mau menghambat perjuangan bangsa Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraannya. Dan tidak dapat diingkari bahwa Presiden Sukarno seorang pemimpin besar tapi sayangnya kurang suka kepada ekonomi. Bung Karno lebih berminat untuk mewujudkan ambisi politiknya dari pada secara serieus dengan penuh komitmen memajukan ekonomi bangsa Indonesia.

Pada tahun 1950 TNI merumuskan Sapta Marga sebagai sikap dan etika perjuangannya yang tidak lepas dari perjuangannya sejak 1945. Dalam Saptamarga itu TNI menegaskan sikapnya sebagai Pembela Pancasila Dasar Negara RI. Itu berarti bahwa TNI secara setia membela Pemerintah RI yang menghadapi berbagai gangguan yang dihadapi. Ia sadar sepenuhnya sebagai pejuang bahwa RI belum mungkin dan belum mampu membangun TNI menjadi tentara professional modern sebagaimana negara yang sudah maju melakukan. Ia benar-benar menyesuaikan diri dengan keterbatasan itu dan dengan pengalamannya melawan Belanda antara 1945-1950, mengetahui bahwa pembelaan negara yang efektif tidak hanya tergantung pada teknologi yang ada dalam TNI, melainkan bahwa semangat dan jiwa perjuangan serta perlawanan tidak kalah pentingnya.

Tentu ia akan senang kalau Pemerintah RI dapat menyediakan segala keperluannya dengan lebih maju, seperti ketika pada 1960 TNI menjadi kekuatan militer yang paling unggul di Asia Tenggara. Akan tetapi karena jiwa dan sikapnya adalah Pembela Pancasila, ia kurang senang kalau Pemerintah RI keluar dari Dasar Negara RI Pancasila hanya untuk melengkapi kemampuan teknologi bagi TNI. Buat TNI eksistensi NKRI berdasarkan Pancasila adalah landasan dan sumber segala perjuangan dan usahanya. Ia bersedia menderita untuk itu sekalipun harus mengalami banyak kesulitan.

Semua ini menunjukkan bahwa TNI sebagai tentara pejuang sangat bermanfaat bagi negara dan bangsa dari pada kalau TNI hanya tentara professional belaka. Prestasinya sebagai organisasi pertahanan, kalau dikalkulasi secara lugas dengan ukuran yang berlaku umum, jauh melampaui nilai kesejahteraan yang diperoleh anggotanya. Seluruh masalah keamanan dalam negeri yang dihadapi RI sejak 1950 hingga 1965 dapat diatasi secara efektif tanpa bantuan asing, sehingga pemerintah RI dapat selalu memelihara politik luar negeri bebas aktif sesuai dengan Dasar Negara Pancasila.

Dan selama itu TNI , sesuai Sapta Marga, selalu patuh dan taat pada keputusan dan perintah yang ditetapkan pemerintah RI. Mungkin sekali pimpinan TNI pernah mengajukan saran kepada pemerintah yang berbeda dengan pikiran yang dianut pemerintah. Akan tetapi setelah pemerintah mengambil keputusan pasti pimpinan TNI menjalankannya secara penuh dan konsekuen. Jadi tidak benar bahwa TNI sebagai tentara pejuang tidak sesuai dengan sistem demokrasi, yaitu tunduk kepada pemerintah yang berkuasa. Lagi pula sesuai Sapta Marga TNI adalah Pembela Pancasila, sedangkan dalam Pancasila ada nilai demokrasi. Sekalipun demokrasi dalam Pancasila berbeda pelaksanaannya dengan demokrasi dalam sistem liberalisme-kapitalisme.

Amat sayang bahwa dwifungsi TNI, yaitu fungsi sebagai tentara pejuang dan tentara professional, kemudian dibawa ke arena politik praktis. Hal ini dimulai ketika Presiden Sukarno memerlukan dukungan politik untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada tahun 1954 yang menjadikan UUD 1945 kembali sebagai konstitusi RI. Bung Karno tidak yakin akan mendapat dukungan yang diperlukan dari partai-partai politik guna mengatasi kemacetan dalam Konstituante yang harus membuat UUD baru bagi RI sebagai pengganti UUD Sementara. Dengan dikembalikannya UUD 1945 sebagai konstitusi RI menjadi lebih tegas tempat dan peran Pancasila dalam perjuangan RI dan bangsa Indonesia.

Setelah itu pengertian Dwifungsi makin dikembangkan dan TNI berubah menjadi kekuatan politik dan kekuatan pertahanan. Hal ini langkah demi langkah mengaburkan pengertian tentara pejuang yang sebenarnya, terutama setelah fungsi Politik terutama diartikan dan dilakukan dengan menjalankan fungsi Kekaryaan dengan menempatkan anggota TNI dalam pekerjaan yang bersifat non-TNI dan non-militer. Salah interpretasi dan salah implementasi Dwifungsi TNI telah sangat merugikan tidak hanya TNI sendiri, melainkan juga RI. Dwifungsi berupa kekaryaan dinilai masyarakat sebagai usaha TNI untuk menguasai negara dan bangsa, sehingga amat menurunkan wibawa TNI. Dalam tubuh TNI sendiri timbul perpecahan karena timbul perbedaan mencolok antara kehidupan sebagian anggota TNI yang dikaryakan dan mayoritas anggota TNI yang ada dalam tugas pertahanan. Memang ada Perwira TNI yang menjalankan kekaryaan dengan baik tetapi prestasinya tidak dilihat masyarakat karena penilaian negatif terhadap kekaryaan TNI itu. Syukur Alhamdulillah bahwa sejak tahun 1998 berakhir Dwifungsi TNI dan kekaryaan itu, dan TNI kembali sebagai tentara pejuang dan tentara professional seperti semula. Semoga selanjutnya TNI terus dapat berkembang sebagai tentara pejuang dan tentara professional sesuai dengan Sapta Marga.

Nampaknya perkembangan negatif Dwifungsi TNI itu dipergunakan AW dan INB guna mendiskreditkan TNI sebagai tentara pejuang. Akan tetapi itu tidak fair karena tidak membedakan antara TNI sebelum ada kekaryaan dan TNI dengan kekaryaan. Juga pernyataan INB tentang tertinggalnya TNI dalam alutsista karena terlalu memikirkan politik dan bisnis, sama sekali tidak kena dan tidak relevant. Sebab yang harus menyediakan alutsista serta pembekalan yang lain bagi TNI bukan TNI sendiri, melainkan pemerintah RI. Kalau pemerintah RI cukup serieus komitmennya untuk membangun TNI yang kuat, maka pemerintah itu akan mengusahakan alutsista yang up-to-date , bermutu dan dalam jumlah memadai bagi TNI.

Usaha AW dan INB meniadakan TNI sebagai tentara pejuang malahan mengandung maksud mencurigakan. Benarkah AW dan INB bermaksud menjadikan TNI lebih baik atau malahan hendak membuat TNI makin lemah sehingga menjadikan NKRI juga lemah. Sudah menjadi kenyataan bahwa kelangsungan dan eksistensi NKRI amat tergantung dari keadaan TNI. Hanya TNI sebagai tentara pejuang dan tentara professional yang dapat menjamin masa depan NKRI yang maju, aman dan sejahtera.

 

Pikiran yang bertentangan dengan eksistensi RI.

Jelas sekali bahwa bagi INB dan AW reformasi TNI adalah menghentikan status tentara pejuang bagi TNI. Dalam pandangan mereka TNI yang bukan tentara professional saja adalah tentara yang bertentangan dengan sistem demokrasi. Dengan begitu mereka jelas tidak setuju dengan Sapta Marga sebagai sikap dan etik TNI. Sebab Sapta Marga menggambarkan TNI sebagai tentara pejuang dan tentara professional, bahkan juga tentara nasional dan tentara rakyat. Dengan menghapuskan Sapta Marga sebenarnya mereka juga menghapuskan TNI. Jadi segala uraian mereka tentang TNI, termasuk uraian INB tentang anggaran yang diperlukan, hakekatnya terarah pada satu tentara lain dan bukan TNI.

Mereka jelas tidak mau menerima diktum TNI sebagai Pembela Pancasila, karena itu di luar jangkauan satu tentara professional. Mereka juga tidak yakin bahwa TNI pembela demokrasi, yaitu demokrasi sebagaimana dikehendaki Pancasila, karena demokrasi dalam Pancasila tidak sama dengan paham demokrasi yang mereka anut. Maka patut dipertanyakan kesetiaan mereka kepada Pancasila dan karena itu juga kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dasarnya Pancasila.

Sebab eksistensi Republik Indonesia hanya selama Pancasila yang menjadi Dasar Negara. Hal itu sudah diputuskan sejak Agustus 1945 dan setelah itu menjadi anutan mayoritas bangsa Indonesia. Apakah itu berarti bahwa AW dan INB menghendaki hapusnya Republik Indonesia ? Dan hendak membangun satu negara lain dengan dasar yang berlainan dari Pancasila. Negara baru sebagai kehendak mereka itu tentu punya tentara, tetapi tentara itu tidak mungkin TNI. Sebab TNI hanya ada kalau berfungsi sebagai Pembela Pancasila.

Dengan begitu mereka bukan bicara tentang reformasi TNI, melainkan tentang perombakan NKRI dengan Dasar Pancasila. Padahal Pancasila sebagai Dasar Negara RI masih menjadi kehendak jutaan Rakyat Indonesia yang merupakan mayoritas penduduk negara ini. Apakah hal ini hanya kesalahan berpikir belaka, atau mengandung motif dan agenda tertentu hanya AW dan INB yang bisa menjawab.

RSS feed | Trackback URI

8 Comments »

Comment by Soedibyo
2012-09-03 21:39:09


Pak Sayidiman, tadi diputus karena saya harus sholat Isa. Kelanjutannya.
Profesionalism bukan hanya battle field expertise tetapi dilandasi semangat perjoangan, istilahnya “beyond the call of duty”. Tetapi sebaliknya kejoangan yang hanya dilandasi kesediaan berkorban tanpa pengetahuan dan ketrampilan prajurit setarafnya, akan membahayakan pelaksanaan tugas, keselamatan orang lain dan pemborosan. Seorang kepala penerangan TNI, seorang marskal muda, pernah mengatakan bahwa dia bangga karena prajurit TNI sekarang profesional, karena dilembaga pendidikan TNI tidak lagi diajarkan pengetahuan ilmu sosial. Ini Pati (perwira tinggi) yang tidak faham tentang perang, sepetulnya tragis sekali, tetapi banyak politisi dan akademisi serta bosnya yang memuji itu. Perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara kekerasan (Clausewitz). Hasil dari perang harus menghasilkan kondisi yang menguntungkan politik. Perang dan ilmu politik pada dasarnya adalah ilmu sosial. Kita dapat memanfaatkan matematika, ilmu alam dsbnya, tetapi perang itu sendiri, dengan pengertian konflik antara dua kehendak yang diselesaikan dengan sarana kekerasan (Beaufre), asaz2nya dilandasi ilmu sosial. Di zaman Orba kita melihat perwira pejoang yang pendidikannya tidak sesuai dengan jabatannya, cenderung mengangkat perwira yang disenanginya tanpa memperhatikan merit system. Kefatalan itu sangat nampak sekarang, tidak tidak banyak yang faham maupun sadar. Dalam TNI dan masih berlaku sampai sekarang, kejoangan dipertentangkan dengan profesianisme, sampai semboyan SESKOAD: “Dwiwarna Purwa Cendekia Wusana”. Pejoang dijadikan landasan untuk promosi, karena kriteria pejoang lebih fleksibel kaya karet, sedangkan istilah cendikia ada parameter konkret dan kasat mata. Akibatnya dalam pembangunan TNI kita yad,kita beli tank Leopard karena Malaysia dan Singapore punya, beli kapal perang karena kita negara maritim dan membeli pesawat Tucano karena sebelumnya kita punya OV-10 Bronco, bukan karena persyaratan strategi keamanan nasional yang dari sana dirumuskan kibijakan dan strategi pertahanan yang mendjadi dasar untuk merumuskan postur kekuatan. Pak Sayidiman yang saya hormati, bangsa Indonesia adalah bangsa kekasih Allah SWT, sehingga bagaimanapun tingkah laku elit kita Indonesia tidak akan menjadikan Indonesia negara gagal, mari kita berdoa semoga akan tiba saatnya para elit mendatang mendapat bimbingan kejalan yang diridhoi Allah, sehingga Indonesia menjadi negara yang tata tentrem kerta raharja. Wassalam

 
Comment by Soedibyo
2012-09-03 19:35:20


Maaf ini komentar terlambat, karena baru mendapatkan blok Pak Sayidiman. Tetapi permasalahn ini merupakan masalah inti bagi keberadaan TNI ditengah RI dan masyarakat.
Saya orang yang mengalami keperajuritan TNI 45 sebagai Tentara Pelajar Bataljon 300, Ki. 330 SMA Jogya, kemudian menjadi mahasiswa ikatan dinas di ITB, dan pada tahun 1953 ke KMA Breda jurusan Infanteri, promosi tahun 1956. Pada saat menuju ke reuni arbituren MA di keretaapi menuju Jogya, kita duduk berdekatan dan membicarakan soal strategi dan tokoh militer. Pak Sayidiman masih Dan Yon di Sumedang.
Kembali pada pokok permasalahan – “tentara pejoang dan tentara profesional”.
Titik tolak saya jangan kedua identitas itu dipertentangkan, tetapi kita rumuskan melalui dialog apa itu tentara profesional. Saya punya tiga referensi:
1. Pengalaman di masa perjoangan mempertahankan kemerdekaan 1945-1949
2. pengalaman sebagai prajurit Dan KI, Dan Yon Inf, Dan PusLatPur di daerah terpencil di Kaltim di tahun 1957-1965; Penugasan di lembaga pendidikan, atase militer di Uni Soviet, dan di markas-besar TNI-AD maupun Mabes ABRI.
3. Pengalaman sebagai sebagai akademisi di Lemhannas, CSIS dan LPSI dan dua buku tulisan Sam C. Sarkesian: 1. Beyond the Battlefield – The New Military Professionalism – 1981; 2.Sam C. Sarkesian and Robert E. Connor,Jr – The US Military Profession Into the Twenty-First Century: war, peace and politics – 1999 revised 2006.
Pembahasan singkat.
Definisi: “pejoang”, seseorang yang bersedia mengorbankan segalanya (termasuk nyawanya) demi kepentingan orang banyak;
“military profesional”, the military profession can strive to develop a new rationale i8n which the military is seen as something more than unconditional servants of the sate. This would necessitate the professional to acquire political understanding and expertise, a sense of realistic and enlichtened self-interest, and professional perspective transcending bounderies that we have traditionallyassociated with duty, honor. country.
Saptamarga sebagai dasar etika prajurit TNI, masuk dalam kategori profesionalism yang dirumuskan Sarkesian. USA dan negara Barat pada umumnya menganut rumusan Huntington yang mempersyaratkan seorang prajurit hanya bisa jadi profesiional jika dia bebas dari politik. Agus Widjoyo dan juga SBY sebagai prajurit yang mengalami pendidikan di US, sekembalinya ke Indonesia menyerap nilai prajurit profesional Barat, bukan justru merenungkan bagaimana ilmu yang didapat dapat dikembangkan berdasarkan realita Indonesia. Maka pembinaan teritorial yang dianggap sarat dengan politik, tanpa melihat bahwa TNI sepanjang sejarah banyak terlibat dalam operasi2 yang sarat kandungan politiknya a.l. Operasi Keamanan Dalam Negeri, Penugasan PBB dan Perang Kemerdekaan itu sendiri. Semua ilmu yang kita dapat dari luar, seyogyanya kita dalam konteks kondisi Indonesia. Mao Tse Tung dalam menanggapi doktrin komunis Uni Soviet berlandaskan kekuatan buruh mengatakan RRC adalah negara agraria bukan negara industri, jadi kekuatannya harus didasarkan pada petani. Jika kita beli sepatu kekecilan bukan kakinya yang dirubah tetapi sepatunya yang harus disesuaikan.
Soal profesor Ikrar Nusa Bhakti, cendikiawan kita cenderung pake referensi Barat karena susah untuk masuk ke lingkungan TNI-ABRI, sehingga apa yang mereka tahu tentang TNI hanya kulitnya saja, dan menarik kesimpulan suatu analisa berdasarkan kaidah2 Barat, yang tidak sesuai dengan realita Indonesia. Waktu zaman Orba mereka mendapatkan tugas untuk menulis tentang ABRI, hasilnya adalah buku dengan judul, “…Bila ABRI Menghendaki”, mengingkari kenyataan bahwa kehendak ABRI tidak akan terwujud apabila tidak mendapat persetujuan Presiden Suharto (baca David Jenkins “Suharto and His Generals – Indonesia Military Politics 1975-1983”). BUMN yang dipimpin oleh prajurit TNI ada yang berhasil ada yang tidak, bukan hanya karena kelola yang keliru, tetapi bisa terjadi karena apa yang diusahakan sudah tidak mempunyai prospek. Kalo ada anggaran dari BUMN atau koperasi maupun yayasan dipakai untuk pembangunan TNI-Polri, itu tidak benar, selama saya 10 tahun di staf perencanaan dan anggaran tidak ada dana macam ituk kecuali alokasi dari presiden Suharto untuk tujuan tertentu, seperti melengkapi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, yang kemudian pengoperasiannya harus dianggarkan oleh Mabes ABRI. Hasil dari Koperasi/Yayasan yang kaya penasehatnya dan pejabat ABRI-nya dapat sekedar untuk hidup dan dijadikan buldog untuk usaha si mantan konsultan. Hubungan sipil-militer (elit TNI-Cendiakawan) sejak 1985 keatas sudah kurang serasi. Kemudian yang ada hanya curiga atau carimuka, bukan rational berlandaskan ilmu yang valid untuk diterapkan dalam suasana Indonesia. Kini kita sudah terpuruk dalam suatu keadaan dimana atribut akademis menjadi jaminan mutu, bukan substansi, berlaku di TNI maupun masyarakat umum.
Pak Sayidiman Yth. sekian dulu, wassalam Soedibyo

 
Comment by prabowo
2012-02-27 15:33:37


Menjadikan, Like father like son, sebuah sempalan tiada arti di dunia yang semakin moderat katanya, anak menjadikan ayahnya sedih, ayah sedih cepat mati, kalo sudah mati ayahnya, tidak mendapat hidayah di alam barzah, artinya… si anak durhaka telah lahir… kira-kira begitu ya pak.
Amit amit jabang bayi, semoga masih banyak anak yang mendoakan kedua orang tuanya…

Kami pengagum Bapak
Salam Hormat

 
Comment by budi
2010-03-08 16:14:53


Dear Pak Sayid,

Saya yakin yang menghendaki kelemahan TNI adalah kolone kelima bangsa ini.
Jadi agar waspada saja seluruh rakyat Indonesia terhadap suara – suara yang menghendaki kelemahan TNI.

Wassalam

 
Comment by sikapsamin
2010-01-01 15:24:33


Yth. Pak Sayidiman Suryohadiprojo,

Salam kenal pak,
Saya mengagumi tulisan2 bapak disini. Analisa2 yang akurat, cermat, tajam.
Saya masyarakat awam biasa, kalangan menengah-bawah.
Perkenankan menyampaikan komentar singkat terkait Reformasi-1998 yl., menurut saya sbb :
1. Terjadi Upaya-upaya Pemandulan-TNI, yang tujuan akhirnya adalah Penghancuran Sistim Ketahanan/Pertahanan NKRI ;
2. Arah Reformasi akhir2 ini makin jelas menuju pada Mengulang(Re) Formasi :
2.1. Imperialis/Kolonialis(asi) ;
2.2. Golongan Menengah (Pedagang/Swasta) ;
2.3. Golongan Bawah (Pekerja Rodi/PKL/TKI).

Sebagai Negara-Kepulauan Yang Besar dan Luas, serta memiliki posisi sangat strategis dikancah Global, Sistim Ketahanan/Pertahanan Yang Kuat dan Tangguh, mutlak diperlukan.
Disamping itu TNI mutlak harus mengamankan serta mengawal Arah-Politik Negara…

Demikian Pak komentar saya Dari kacamata-awam, mohon maaf bila ada yg kurang berkenan

JAYALAH KEMBALI TNI-NKRI…TNI-KU

Salam…Semoga Bapak sekeluarga selalu dalam kondisi prima

Comment by sayidiman suryohadiprojo
2010-01-03 07:47:07


Sdr Sikapsamin,

Terima kasih atas komentar Anda dan doa utk saya sekeluarga. Semoga Anda juga selalu sehat walafiat dan sukses dalam usaha Anda dalam bidang apa saja. Salam,

Sayidiman S.

 
 
Comment by sayidiman suryohadiprojo
2009-12-18 08:05:52


Sdr Barnadi, saya setuju dg pendapat Anda. Sekarang perlu kita ingatkan pimpinan TNI dan para Kas Angkatan agar tidak salah arah pikiran mereka. Salam,
Sayidiman

 
Comment by Aa Barnadi
2009-12-16 14:06:33


Yth Bapak Sayidiman.
Kami sependapat dengan Bapak. Identitas TNI sebagai prajurit pejuang dan prajurit profesional, tidak boleh hilang. Menurut saya, jatidiri itu melekat sejak kelahiran TNI. Saya mengharap, kedepan tidak boleh lagi ada pemahaman yang bias terhadap TNI sebagai “prajurit pejuang dan prajurit profesional”.
Selanjutnya, saya berpendapat bahwa Organisasi Teritorial dan semua awaknya, tetap diperlukan. TNI tidak mungkin menguasai setiap titik di seluruh tanah air yang demikian luas. Organisasi Teritorial inilah, apapun bentuknya, berperan sebagai “pengawal” teritorial kita. Barangkali yang perlu ditata kembali adalah rumusan-rumusan tentang penetapan visi teritorial yang jelas, batas kewenangan, pembagian tanggungjawab, penetapan sasaran, sinergi dengan departemen pemangku kewenangan, doktrin teritorial, strategi teritorial, struktur organisasi beserta kulturnya, dan yang paling penting adalah melakukan semua misi teritorial dengan elegan. Bapak sering mengatakan bahwa “pekerjaan” teritorial intinya adalah bagaimana “memenangkan hati dan pikiran rakyat”.
Terima kasih

 
Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post