Oleh Sayidiman Suryohadiprojo, Letjen TNI (Purn) Kebangkitan Nasional mengantarkan Kemerdekaan Bangsa Abad ke 20 telah menjadi Abad Kebangkitan bangsa-bangsa terjajah di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Tanpa disengaja Jepang menjadi pemicu kebangkitan itu ketika pada tahun 1904 berhasil mengalahkan Russia dalam pertempuran di laut dan di darat, dan dengan demikian membuktikan bahwa bangsa non-Eropa dapat memenangkan perang terhadap satu bangsa Eropa. Sebelum itu dunia sepenuhnya didominasi bangsa-bangsa Eropa yang menjajah bagian luas dunia. Hanya beberapa bangsa di dunia yang bebas dari penjajahan oleh bangsa Eropa. Salah satu adalah Jepang yang kemudian berhasil membangun kekuatan yang mengimbangi dan bahkan mengalahkan satu bangsa Eropa. Kemenangan Jepang itu menggelitik para pemuda di kalangan bangsa terjajah. Kalau Jepang dapat mengalahkan Russia, mengapa kita sendiri tidak bisa bangun dan berdiri menghadapi bangsa Eropa yang menjajah kita ? Rangsangan itu menjadi pemicu bagi banyak bangsa terjajah untuk bangkit memperbaiki read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo Jakarta, 17 April 2008 Dunia dan umat manusia sedang diliputi keadaan yang dinamakan Globalisasi. Namun Globalisasi mempunyai dua konotasi, konotasi yang obyektif dan yang subyektif. Globalisasi yang obyektif adalah keadaan yang berkembang sebagai akibat kemajuan dan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), khususnya yang bersangkutan dengan Teknologi Komunikasi, Transportasi dan Informasi. Sebagai hasil dari perkembangan Iptek ini planit Bumi seakan-akan menjadi makin kecil. Dengan hasil Teknologi Transportasi yang makin maju setiap titik di planit Bumi dapat dicapai Manusia secara fisik dan bahkan dalam waktu makin cepat. Lebih dari itu, Teknologi Komunikasi dan Informasi memungkinkan hubungan antara setiap titik di planit Bumi dalam kecepatan listrik atau sekitar 300.000 km per detik. Perkembangan ini membuat planit Bumi satu Desa Dunia (Global Village). Selain itu, perkembangan Internet memungkinkan Manusia memperoleh informasi dari berbagai ragam dalam sekejap mata. Sudah jelas bahwa read more .....
Sayidiman Suryohadiprojo Mengapa Memperingati Hari Kebangkitan Nasonal Satu Abad yang lalu pada tanggal 20 Mei 1908 sekelompok pemuda yang ada di sekolah STOVIA di Jakarta (Batavia waktu itu) membentuk perkumpulan dengan nama BOEDI OETOMO. Peristiwa itu telah menggelindingkan berbagai peristiwa lain yang penting bagi bangsa Indonesia dan peristiwa terakhir dan terpenting adalah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Proklamasi itu telah mengantar bangsa Indonesia keluar dari penjajahan menjadi bangsa merdeka, Atas dasar itu bangsa Indonesia menetapkan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Meskipun ada sementara orang yang menolak penetapan itu karena beranggapan bahwa perkumpulan Boedi Oetomo tidak menggambarkan satu pergerakan nasional Indonesia, namun secara tidak langsung Boedi Oetomo merupakan “trigger” bagi kebangkitan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda yang telah berlangsung begitu lama atas rakyat dan bumi Indonesia. Sekarang 100 tahun setelah itu adalah penting sekali bangsa read more .....
Oleh Professor Nakoela Penulis Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia dikutip dari Nakoela’s Weblog Di Harian Suara Pembaruan ini tertanggal Selasa 26. Agustus 2003 rekan saya Letnan Jendral Purnawirawan Sayidiman Suryohadiprojo menulis dengan judul: Usaha “meluruskan” sejarah? Saya dapat merasakan bagaimana kecewanya rekan saya me-nanggapi pernyataan seorang doktor sejarah yang menyalahkan perjuangan kita memba-ngun nasionalisme dengan menggunakan senjata dan ini merupakan kesalahan besar. Me-nurutnya membangun nasionalisme sebaiknya melalui pendidikan dan dialog. Saya kira doktor ilmu sejarah tersebut masih muda jika dibanding umur saya dan rekan saya Sayidiman. Memang dewasa ini dapat dirasakan oleh mereka yang pernah bertugas sebagai perajurit TNI-AD khususnya dan TNI umumnya, seakan-akan TNI adalah penyebab terjadinya terperosoknya keadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya berpendapat seyogyanya para cendikiawan muda belajar dari sejarah yang benar. Kalau waktu tahun 1945 para pemuda read more .....
The Jakarta Post , Jakarta | Sat, 01/26/2008 2:39 AM Sayidiman Suryohadiprojo, Former governor of National Resilience Institute (Lemhanas), Jakarta State Minister of National Development Planning Kwik Kian Gie has surprised many people when he strongly suggested that Indonesia should terminate its relationship with the International Monetary Fund (IMF) at the end of 2002. In fact, this is not the first time that Kwik has expressed his dissatisfaction with the IMF. But that he did it as a member of President Megawati Soekarnoputri’s Cabinet, is something that causes surprise. Because it is public knowledge that Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, the current coordinating minister for economic affairs, is a staunch defender of Indonesia’s relations with the IMF. In Indonesia Kwik is not alone in his negative opinion of the IMF. Rizal Ramli, who served as coordinating minister for economic affairs and minister of finance in former president Abdurrahman Wahid’s cabinet, shares this view. And so are other economists, many of read more .....
The Jakarta Post , Jakarta | Sat, 01/26/2008 2:38 AM Sayidiman Suryohadiprojo, Former Governor, Nation Resilience Institute (Lemhanas), Jakarta Indonesia is now mixed up in a quarrel with some neighbors. First is the deterioration in relations with Malaysia caused by the problem of illegal Indonesian workers in that country. Now another problem has come up because of the Singaporean foreign minister’s demand of extradition from Indonesia of persons accused of terrorism. The problem with Malaysia would not have happened if some very important Indonesian officials did not make angry comments that triggered no less angry comments by Malaysian officials. The media, especially television, also contributed to the bad atmosphere when thousands of Indonesians watched how the unlucky workers and their families were expelled from Malaysia and had many difficulties to get a place on a ship to go home. Plus their sorrows after they arrived in Indonesia. Obviously, many Indonesians reacted emotionally in regard to the tragedy faced by the read more .....
The Jakarta Post , Jakarta | Sat, 01/26/2008 2:02 AM Sayidiman Suryohadiprojo, Former Governor, National Resilience Institute (Lemhanas), Jakarta A recent visit by the National Education Council to China provided great insight into China’s educational system. As a member of the council, I had the opportunity to participate in the visit. Only Beijing and Shanghai were visited in the six-day program. As the nation’s capital and center of government, Beijing offered an overall view of education in China, while in Shanghai we observed educational activities in the nation’s largest trading city. Since reforms were initiated by Deng Xiaoping in 1979, China has displayed an awareness of its capability to play a significant role in international relations today. It realizes that its future will very much be decided by the quality of its human resources. China adopted the Open Policy to safeguard its standing in the international community. And that attitude is clearly demonstrated in its education system. A good example read more .....