Oleh Sayidiman Suryohadiprojo
Jakarta, 23 September 2008
Tahun lalu pernah saya tulis bahwa masalah utama yang dihadapi AS dengan Iran bukan soal nuklir. Memang soal nuklir ditonjolkan AS untuk memperoleh dukungan pendapat umum di negaranya sendiri dan di dunia. Dikemukakan AS bahwa presiden Iran, Ahmadinejad, sangat agressif ketika ia mengatakan akan menghancurkan Israel. AS tidak mungkin membiarkan Israel sebagai sekutu utamanya dihancurkan oleh siapa pun juga. Kemudian ditonjolkan AS bahwa Iran mengembangkan senjata nuklir yang tentu akan digunakan untuk memperkuat ambisinya mendominasi Timur Tengah. Sebab itu Iran tidak boleh dibiarkan terus mengembangkan maksudnya, kata AS. Dan ia menghimpun kekuatan dunia untuk menghukum Iran kalau tidak menghentikan pengembangan nuklirnya. Akan tetapi itu sebenarnya bukan alasan yang utama mengapa AS begitu kuat kehendaknya menghukum Iran, kalau perlu dengan menyerangnya secara militer.
Alasan utama adalah bersangkutan dengan minyak dan dollar AS (USD). Tahun lalu seorang ekonom Russia berpendidikan di AS bernama Krassimir Petrov menulis dalam satu majalah militer Jerman bahwa AS akan menghadapi kesulitan besar kalau negara-negara produsen minyak mengubah penjualan minyaknya dari USD ke euro, khususnya Iran. Perubahan demikian akan dapat menghancurkan ekonomi AS, katanya.
Sekarang banyak negara memerlukan sekali USD karena hanya dengan uang itu mereka dapat membeli minyak. Hal itu disebabkan karena AS yang sejak berakhirnya Perang Dunia 2 menjadi kekuatan militer dan ekonomi yang besar, dapat mengatur bahwa perdagangan minyak dunia dilakukan hanya dengan USD. Bursa minyak hanya ada di New York dan London dan itu dikuasai AS.
Karena kebanyakan negara di dunia perlu mengimpor minyak, khususnya negara-negara industri di Eropa dan Jepang, maka memerlukan banyak USD. Untuk itu negara-negara itu menjual produknya di AS. Karena keperluan akan USD makin besar AS kemudian melepaskan hubungan antara USD dengan emas dan mencetak USD sesuka hatinya sesuai kepentingan ekonomi dan politiknya. Karena tidak ada ikatan lagi dengan emas, maka hakikatnya nilai intrinsik USD yang makin besar jumlahnya makin turun. Itu berarti bahwa negara-negara yang menjual produknya ke AS memperoleh nilai riil yang juga makin turun bagi produknya. Akan tetapi karena mereka perlu minyak yang banyak membutuhkan USD, mereka bersedia menjual produknya ke AS tanpa memperhatikan penurunan nilai intrinsik dari USD itu. Dengan perkataan lain : produk negara lain makin murah bagi AS. Bukannya para pemimpin negara lain tidak sadar akan hal itu, tetapi karena mereka perlu USD untuk beli minyak yang amat mereka perlukan, maka mereka tak keberatan menjual produknya makin murah kepada AS. Tidak mengherankan bahwa deficit perdagangan AS terhadap banyak negara lain makin membengkak, sebab AS makin banyak membeli produk negara lain. Di pihak lain hal ini juga menguntungkan negara pembuat produk itu. Sebab dengan dibelinya hasil produksi mereka dalam jumlah besar oleh AS, maka produksi dan ekonomi mereka makin berkembang. Itu sekarang terutama berlaku bagi China yang besar sekali ekspornya ke AS.
Inilah wujud Imperium AS yang terbentuk setelah berakhirnya Perang Dunia 2. Perubahan mulai terjadi ketika negara-negara Eropa, khususnya Jerman dan Perancis, menjadi makin kuat. Pada satu saat mereka tidak bersedia lagi untuk didominasi secara total oleh AS dan ingin meningkatkan peran mereka secara otonom di dunia. Perkembangan itu menghasilkan terbentuknya Uni Eropa. Dan Uni Eropa yang ekonominya makin kuat kemudian mengembangkan mata uang bagi kesatuan itu dengan nama Euro. Makin lama mata uang euro itu makin kuat sesuai dengan perkembangan ekonomi Uni Eropa. Nilai euro malahan makin kuat dibandingkan USD. Meskipun demikian euro tidak dapat menyaingi USD dalam pemakaian masyarakat dunia, karena kebutuhan dunia akan USD masih lebih besar. Hal itu terutama disebabkan karena hubungan USD dengan perdagangan minyak yang terkenal dengan istilah petrodollar.
Perubahan lebih lanjut terjadi ketika ada pemimpin negara penghasil minyak mengemukakan suggesti untuk menjual minyaknya dengan euro dan meninggalkan USD. Itu mula-mula disuarakan oleh Saddam Hussein ketika memimpin Irak. Suara demikian adalah hakikatnya pemberontakan terhadap Imperium AS. Sebab itu berarti berani meninggalkan USD yang menjadi salah satu tonggak kekuasaan AS atas dunia di samping kekuatan militernya. Hal itu yang merobah sikap AS terhadap Saddam Hussein yang semula didukungnya ketika Irak berperang dengan Iran. Sebab kalau suggesti Saddam Hussein menjadi kenyataan , akan terjadi gejolak besar dalam ekonomi AS. Negara pengimpor minyak tidak lagi terikat oleh USD sebab dengan euro mereka juga dapat membeli minyak.
Tidak mustahil ada negara pengekspor minyak lainnya akan mengikuti suggesti Saddam Hussein tersebut, khususnya negara yang tidak dekat dengan AS atau malahan bertentangan sikapnya. Seperti Russia, Iran, Venezuela. Hal demikian akan sangat merugikan kepentingan AS dan berakibat luas pada ekonominya.
Itulah sebenarnya alasan utama mengapa AS mengambil tindakan tegas secara militer kepada Irak dan Saddam Hussein. Sebenarnya sudah di masa pemerintahan presiden Clinton kaum neo-konservatif AS mendesak agar AS menyerang Irak, tetapi selalu ditolak presiden Clinton. Pemerintahan presiden George W. Bush yang dekat dengan kaum neo-konservatif (Wakil Presiden AS Richard Cheney adalah salah satu tokoh kaum neo-konservatif) merupakan peluang yang baik untuk melaksanakan hukuman bagi Saddam Hussein. Kesempatan ini makin bagus bagi kaum neo-konservatif ketika terjadi serangan terhadap World Trade Center di New York dan Pentagon di Washington DC pada 11 September 2001. Emosi rakyat AS dapat digerakkan untuk mendukung perang. Karena itu timbul tuduhan pada beberapa pihak bahwa sebenarnya Tragedi 11 September 2001 adalah satu konspirasi kalangan tertentu AS sendiri.
Meskipun tidak ada bukti jelas bahwa ada hubungan antara Saddam Hussein dan Osama bin Laden, pemimpin Al Qaeda, yang dituduh sebagai pelaksana Serangan 11 September 2001, namun pimpinan AS terus saja menyatakan adanya hubungan itu dan ditambah dengan tuduhan Irak mengembangkan senjata nuklir. Terbukti kemudian bahwa dua tuduhan itu sama sekali palsu. Akan tetapi bagi pengambil prakarsa serangan ke Irak hal itu tidak penting. Yang penting adalah serangan terhadap Irak dapat dilakukan dan Saddam Hussein serta pemerintahnya dapat ditiadakan. Tidak ada lagi bahaya penjualan minyak dengan euro.
Namun kemudian bahaya itu timbul kembali ketika pemerintah Iran di bawah pimpinan presiden Ahmadinejad menyatakan keinginannya membuka Bursa Minyak sendiri, yaitu Iranian Oil Bourse atau IOB yang mempunyai kebebasan untuk menjualbelikan minyak dengan berbagai mata uang dan tidak hanya terikat pada USD. Dengan demikian AS kembali harus menghadapi kemungkinan minyak terlepas ikatannya dari USD. Dan sekarang ketika hubungan Iran dengan AS makin memburuk, makin kuat tanda-tanda bahwa IOB akan benar-benar dilaksanakan.
Sebenarnya dengan tindakan demikian Iran benar-benar menantang AS dan mengambil risiko besar terjadinya serangan AS ke negaranya. Contoh Irak dengan Saddam Hussein sebagai pencetus gagasan penjualan minyak dengan euro terlalu jelas. Tidak mungkin pimpinan Iran tidak menyadari hal demikian. Ahmadinejad pasti sudah berkonsultasi dengan semua tokoh penting Iran sebelum menyatakan akan melaksanakan IOB. Apakah Iran berpendapat AS tidak dalam posisi untuk mengambil tindakan militer kepadanya, sekalipun presiden Bush selalu mengatakan bahwa opsi serangan militer tak pernah ditiadakan ? Atau Iran memang siap untuk diserang dan yakin akan memperoleh kemenangan kalau hal itu terjadi ?
Dengan demikian kemungkinan terjadinya perang AS lawan Iran meningkat. Apakah akan benar terjadi atau tidak tergantung perkembangan di lingkungan AS sendiri. Faktor yang mempengaruhi adalah dekatnya pemilihan Presiden AS pada bulan November 2008. Di satu pihak tentu ada yang tidak setuju dan menganggap hal yang kurang etis melakukan satu tindakan perang ketika sebentar lagi pimpinan pemerintah akan berubah, baik kepada calon Partai Demokrat Barack Obama atau calon Partai Republik John McCain. Namun sebaliknya pasti ada juga pihak yang malahan hendak menciptakan fait accompli bagi Presiden AS yang baru. Pada umumnya ada anggapan bahwa McCain lebih tepat untuk memimpin AS yang berperang, karena dianggap lebih berpengalaman dari pada Obama. Dengan begitu terjadinya perang akan menguntungkan calon Republik untuk dipilih sebagai Presiden. Tentu itulah yang dikejar oleh kaum neo-konservatif yang pasti tidak mau kehilangan posisi dan pengaruhnya dalam pemerintahan AS yang akan datang.
Kalau betul terjadi Perang AS – Iran maka dunia harus siap dengan kenaikan harga minyak kembali yang belakangan baru turun sampai di bawah USD 100 per barrel. Selain harga minyak ada pula berbagai perkembangan lain yang akan terjadi di dunia. Perkembangan politik di Timur Tengah pasti terjadi. Sebab dapat diperkirakan bahwa Israel akan mendukung serangan AS. Bagaimana reaksi negara-negara Arab yang beragama Islam Sunni seperti Arab Saudi ? Bagaimana pula mereka yang kalangan Syiah ? Apakah kalangan Sunni mendukung AS atau sanggup meninggalkan pertentangan Sunni-Syiah demi keutuhan Arab ? Bagaimana reaksi negara-negara lain, terutama negara besar seperti Russia, China, Jepang, Jerman, Perancis, Inggeris ? Maka jelas sekali bahwa perang demikian berakibat luas pada seluruh dunia , baik secara politik, ekonomi maupun militer. Dapat dipastikan bahwa dampak dari satu perang AS-Iran lebih besar dan luas dari pada serangan AS ke Afghanistan dan Irak yang lalu. Kalau perang dengan Irak saja sudah menguras kekayaan AS karena harus mengeluarkan USD 3 trilyun, sebagaimana diuraikan Prof. Joseph Stiglitz dalam bukunya A Three Trillion Dollar War, maka perang dengan Iran akan lebih besar lagi tuntutan pengeluarannya. Demikian pula perlawanan Iran dapat diperkirakan lebih besar sehingga korban pihak AS juga lebih besar dari pada di Irak. Yang pasti terjadi adalah timbulnya problem besar dalam suplai minyak dunia, karena perang itu tidak hanya mempengaruhi suplai minyak dari Iran tetapi juga dari semua negara yang terletak di wilayah Teluk Persi.
Sekalipun Indonesia tidak berpihak kepada salah satu pihak sesuai dengan politik luar negeri bebas aktif , toh pasti tidak dapat dihindari timbulnya kesulitan yang tidak sedikit dan tidak mudah.. Karena Indonesia juga sedang menghadapi Pemilihan Presiden pada tahun 2009 persoalan baru yang tidak akan mudah itu harus sudah mulai dipertimbangkan oleh para calon Presiden RI agar nanti benar siap menghadapinya kalau benar terjadi.
Yth Bpk. Sayidiman S.
Setelah membaca ulasan pada tulisan ini, perkenankanlah saya memberikan tanggapan sbb :
1. Apa yang diperlihatkan Iran keadaan dunia luar itu bentuk suatu kedaulatan sebuah negara.Iran sangat memahami sekali bahwa apa yang terjadi sejak tahun 1904 di kawasan persia ini telah dipermainkan kedaulatannya oleh Inggris dan Amerika,dikaranekan faktor MINYAK.
2. Keputusan Iran untuk membangun Nuklir untuk kebutuhan sipil utamanya untuk suplai energi di dalam negri,merupakan bagian dari National Petroleum Strategy.
Meskipun tujuan membangun mulia ini dapat kecaman dari dunia luar,tapi Iran tetap dengan tujuan nasionalnya.Kenapa Iran tetap melakukannya ? dikarenakan semua negara yang mengecam Iran ternyata semua mempunyai fasilitas nuklir seperti Israel,Amerika Serikat,Perancis,German,Itali,dll. Dan sikap Iran ini memperlihatkan suatu bentuk kedaulatan sebuah negara.
3.Bentuk suatu kedaulatan negara Iran ini diperlihatkan kembali kepada kesesama ex anggota OPEC ,Indonesia bahwa Iran bisa menjual gas alam ke investor dengan harga US$1/mmbtu.Sampai akhirnya Indonesia akam melakukan investasi US$ 500 juta utk bangun Fertilizer Plant.Sekarang kita balik bertanya apakah Indonesia sanggup mempunyai tawaran yang sama untuk menjual gas alam dengan harga US$ 1/mmbtu.? Di Indonesia minimal menjual gas alamnya bahkan Pertamina untuk menjualnya minimal dengan harga US$ 3.50/mmbtu.Jadi bagaimana kita melihat Iran ?
Dear Dirgo, you are right on target with your comment. Memang di Indonesia masih banyak yang harus diperbaiki, khususnya dalam kepemimpinan dan manajemen. Terutama dalam bidang energi. Dalam tulisan saya yang ada dalam buku saya Rakyat Sejahtera Negara Kuat Bab VII, saya katakan bahwa perusahaan kita yang bergerak di bidang energi, khususnya dan terutama Pertamina, harus meningkatkan manajemennya. Kita patut malu bahwa Petronas yang dulu belajar dari Pertamina sekarang jauh di depannya. Akan tetapi juga kepemimpinan dan manajemen yang dilakukan Pemerintah, khususnya Dep ESDM,harus ditingkatkan. Inilah kunci bagi perbaikan masalah energi di Indonesia.