Pemahaman Lintas Budaya Dalam Konteks Kesatuan Bangsa (Wacana Budaya Sebagai Penangkal Disintegrasi)

Posted by Admin on Tuesday, 28 October 2008 | Opini

Jakarta 28 Oktober 2008

Oleh Sardjono Sigit, Widyaiswara Utama (Purn) – Pusdiklat Pegawai DEPDIKNAS

1. Pendahuluan

Sejarah perjalanan nasionalisme Indonesia dalam kurun waktu 10 tahunan terakhir ini sedang menghadapi ujian. Sesudah ulang tahun kemerdekaan ke 63 serta Sumpah Pemuda ke 80 tahun 2008 ini, ternyata jiwa dan semangat kebangsaan Indonesia, belum menyentuh seluruh anak bangsa. Sebagai Negara yang lahir dari konsep politik, le desire d’etre ensemble (Ernest Renan) dan aus Schicksalgemeinschaft erwachsene Charactergemeinschaft (Otto Bauer) yang dikumandangkan Bung Karno tahun 1945, Indonesia adalah bekas jajahan Belanda yang dahulu bernama Nederlandsch Indië dan bukan dari konsep budaya; maka nasionalisme Indonesia benar-benar masih menghadapi cobaan.

Semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai konsep pemersatu kultural dan Wawasan Nusantara sebagai konsep pemersatu geopolitis, masih harus diuji kembali.

Pancasila sebagai falsafah bangsa ternyata lebih dikenal pada kulitnya ketimbang essensinya sebagai “Weltanschaung” bangsa. Gejala separatisme dan pergolakan antar-etnis dan antar-agama serta kepercayaan, begitu juga antagonisme ideologis antar kelompok yang mempunyai ”warna” berbeda, masih melanda tanah air. Kemelut ekonomi yang menghantui kehidupan rakyat semenjak krisis 1997-1998 berbarengan dengan gejolak politik yang semakin tidak dapat diprediksi sampai saat ini, karena apa yang disebut dengan reformasi liberal yang melanda segi- segi kehidupan sosial kita, telah memberikan pukulan yang amat telak terhadap eksistensi kebangsaan dan kenegaraan kita.

Ancaman disintegrasi bangsa dan negara kesatuan Indonesia sudah tampak didepan mata. Apa yang sedang menanti kita, seperti dikatakan Adam Schwarz dalam A Nation in Waiting, 1994” ? Bangsa ini sedang menunggu apa ?! Apakah ancaman itu kita biarkan terjadi ? Tergantung dari kita sendiri, apakah kita sadar, kita mau bersatu, mau pecah berantakan, mau kembali pada Sumpah Pemuda tahun 1928, sejarah kelak yang akan mencatatnya.

2. Budaya sebagai pemersatu

Nasionalisme kita, yang kemudian melahirkan negara dan bangsa Indonesia telah melalaikan satu unsur penting sebagai pendukungnya, yakni unsur kebudayaan.

Keaneka-ragaman sosial yang terdapat di seluruhh penjuru tanah air, dengan segala perbedaan satu sama lain, baik bahasa, adat istiadat, sistem nilai, kebiasaan, cara pandang dan falsafah hidup, agama dan kepercayaan, tingkat pendidikan dan kesejahteraan, keterpencilan geografis dan sosial-demografis, merupakan ramuan yang sangat berpotensi untuk mencerai-beraikan negara kesatuan dan nasionalisme Indonesia yang masih muda usia ini.

Cultural pluralism serta multi-ethnicities seperti yang kita miliki dengan potensi perpecahan yang menghantui eksistensi NKRI ini harus disikapi dengan penyusunan strategi kebudayaan yang tangguh.

Karena kesejahteraan sosial yang sebenarnya mampu menjadi perekat nasionalisme tersebut ternyata tidak kunjung tiba, maka dengan sangat mudah kesadaran kesukuan dan kedaerahan ini berubah menjadi semangat untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia.

Semboyan ”persatuan dan kesatuan” yang dikumandangkan setiap hari tanpa terwujudnya keadilan sosial yang dilandasi oleh ”law and justice” akhirnya hanya menjadi symbol nasionalisme belaka. Siapa yang mau bersatu kalau diperlakukan tidak adil ? Apabila secara politis dan ekonomis persatuan dan kesatuan bangsa ini sudah terancam, maka sudah saatnya kalau kita meneropong ancaman ini dari sudut kebudayaan.

Jika faktor kebudayaan ini juga terabaikan, barangkali sulit bagi kita untuk menemukan unsur lain sebagai penyelamat dari bahaya perpecahan.

Bagaimana pendekatan kebudayaan ini akan kita terapkan ? Tidak lain hanyalah dengan cara saling mengenal, memahami, menerima dan menghargai perbedaan kultural dari semua etnik di tanah air.

Untuk itu diperlukan suatu wacana budaya atau ”strategi kebudayaan” yang secara terarah dan sistematis disusun dalam konsep yang matang dengan mengajak semua elemen bangsa, terutama mass media. Publik harus diberitahu akan masalah kebangsaan yang belum selesai ini. Para budayawan didengar pendapat dan pandangannya. Mereka diharapkan mampu bersuara dan bertemu pemikirannya dengan para ilmuwan untuk mendorong terjadinya pemahaman lintas-budaya. Perbedaan ”culture traits” (ciri-ciri budaya) bukan untuk dipertentangkan dan menjadi sumber perpecahan, tetapi untuk dimengerti dan dipahami. Saling pengertian (mutual understanding) dan saling menghargai (mutual respect) inilah yang akan membuahkan toleransi.

Sebagai fundament dari suatu wujud kesatuan, toleransi adalah segala-galanya. Tanpa adanya toleransi, jangan diharapkan terjadinya persatuan. Langkah inilah yang harus dimulai secara konkrit. Dialog antar budayawan, dialog antar ahli-ahli ilmu sosial, ilmu kebudayaan dan ilmu politik, kemudian dialog antara komponen budayawan, ilmuwan dan pemerintah untuk menyusun suatu ”strategi kebudayaan” yang cocok untuk tanah air dengan pluralisme seperti kita. Bagaimana hakekat perbedaan satu sama lain tadi dapat diubah menjadi bahan perekat kebangsaan, dan bukan sebaliknya, menjadi senjata perpecahan. Bagaimana setiap ”ethnical culture trait” mampu menjadi variant yang memperkokoh nasionalisme. Bagaimana ”bhineka tunggak ika” tidak sekadar menjadi simbol semanagt kebangsaan belaka.

Hasil dialog inilah yang akan menjadi konsumsi publik, yang diharapkan mampu mentransfer nilai-nilai lintas budaya (cross cultural values) bagi semua elemen bangsa. Masyarakat akan memperoleh informasi dan pemahaman baru, bahwa unsur budaya itu amat sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat pluralistik seperti kita ini.

3. Dialog dengan budayawan

Dari wacana dialog antar dan dengan budayawan ini diharapkan dapat terexpose beberapa prinsip kehidupan berbudaya, yang sifatnya universal, yakni unsur-unsur yang dikenal dan diterima oleh semua kultur yang hidup di dunia ini. Misalnya penolakan terhadap nilai-nilai yang tidak berperi-kemanusiaan, kekejaman, penyiksaan, pembunuhan, pengrusakan, kejahatan dan lain-lain.

Sementara itu, setiap kultur pasti mengakui pula nilai-nilai yang penuh dengan kasih sayang, kehalusan budi, tolong menolong, budi pekerti luhur, etika dan lain-lain.

Para budayawan, dari manapun asal usul etnisitasnya, akan dapat mengungkapkan bagian-bagian yang paling halus dari value-system atau tata-nilai kulturalnya, apakah itu berupa falsafah hidup, cara memandang manusia dalam menjalani harkat dan martabatnya, hubungannya dengan Sang Maha Penciptanya, moralitas keduniawiannya, nilai-nilai religius yang menjadi pegangan hidup di dunia dan seterusnya.

Karena kebudayaan juga meliputi peradaban, maka para budayawan juga diharapkan dapat mengemukakan ukuran-ukuran dari suatu tata-nilai rohaniah, perilaku, budi pekerti, tatakrama atau sopan santun.

Tata-nilai seperti inilah yang kemudian menjadi ukuran, walaupun sifatnya relatif, tergantung dari sudut pandang yang mana dengan kacamata kultural siapa, yang kemudian dapat memberikan predikat bahwa sesuatu itu disebut ”beradab” (”civilized”) ataukah sebaliknya, disebut sebagai ”tidak beradab” atau ”uncivilized”.

Banyak sekali perilaku masyarakat (social behaviour) yang cenderung menyimpang dari norma tanpa ada sanksi hukum dan dibiarkan berjalan terus-menerus di masyarakat yang akhirnya ”diterima” sebagai suatu hal yang ”biasa saja”.

Anomali atau anomi seperti ini, yakni sesuatu yang berjalan tanpa aturan atau norma (normloosheid-normlessness), harus dapat ditanggulangi dari sudut adab atau keadaban (civility), sehingga masyarakat tidak terjerumus terlalu jauh dalam situasi “uncivilzed” seperti sekarang.

Masyarakat kita yang “patologis” seperti yang dapat kita saksikan di media saat ini, harus segera disembuhkan dengan tindakan kultural (cultural treatment) dan pembelajaran keadaban (civility learning).

Karena politik dan ekonomi ternyata bukan dan belum menjadi therapi yang tepat, yang dapat menolong penyembuhan, maka sudah tiba saatnya bangsa ini mencari alternatif lain.

Para budayawan aktivis seyogyanya terdiri dari sebanyak mungkin representasi dari sekian banyak etnis di Indonesia. Kecuali terkenal atau terpandang sebagai tokoh kebudayaan, akan lebih baik kalau mereka juga mempunyai kedudukan sosial lain, misalnya sebagai cendekiawan, politikus, akademisi, ulama, pendeta, pendidik, administrator atau apapun fungsi sosialnya.

Dengan multi-fungsinya itu, para budayawan dapat memperluas cakrawala dialog dengan mengaitkannya kepada dunia realitasnya masing-masing. Hal ini akan memberikan nilai lebih bagi suatu wacana, selama jalannya dialog tidak menyimpang dari pokok permasalahan, yakni terwujudnya budaya sebagai perisai dan bastillon (benteng pertahanan) untuk memukul mundur dan melenyapkan ancaman disintegrasi.

4. Penutup

Gagasan untuk mengangkat aspek budaya sebagai alternatif pemecahan kemelut nasional pada saat politics and economical setting tidak mempunyai peranan yang signifikan untuk menolong bangsa yang menghadapi penyakit ini, kiranya sudah sangat tepat.

Indonesia mempunyai cukup banyak tokoh-tokoh dan pemikir budaya yang mempunyai reputasi nasional bahkan internasional. Pikiran dan konsep mereka perlu didengar.

Yang positif dan cocok dengan pluralitas-budaya serta tepat untuk multi-etnisitas kita, harus kita praktekkan. Kalau selama ini pendekatan budaya kurang diperhatikan, mungkin karena sifat budayawan berbeda dengan politikus. Mereka terlalu ”bescheiden” untuk membuka mulut dan menonjolkan diri.

Mudah-mudahan idee ini membawa maslahat untuk kejayaan bangsa dan negara, seperti yang menjadi cita-cita proklamasi kemerdekaan.

RSS feed | Trackback URI

5 Comments »

Comment by kmzhci
2011-09-14 00:33:04


ANNHtn acusutkuvwvz

 
Comment by rldzljsyv
2011-09-12 14:15:29


XCiNTl grzpnhqbrszh

 
Comment by Kalyn
2011-09-12 04:52:03


I\’m rlealy into it, thanks for this great stuff!

 
2010-09-06 09:02:08


Sdr Aang,

Commentaar Anda akan saya teruskan pada penulis artikel ini, yaitu Drs. Sardjono Sigit. Untuk itu saya perlu alamat email Anda. Salam,

Sayidiman S

 
Comment by A'ang
2010-09-05 10:33:13


opini pada 28 Oktober 2008 sangat mencengangkan saya. lalu, saya ingin bertanya: bagaimana pandangan Anda tentang wacana budaya Barat dan Timur yang telah ada dalam sejarah Indonesia, semisal Polemik Kebudayaan di tahun 1930-an?

 
Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post