Oleh Sayidiman Suryohadiprojo
Jakarta, 24 November 2008
Selalu menjadi ingatan saya ketika almarhum Letjen Djatikoesoemo pada tahun 1948 sebagai Gubernur Akademi Militer Yogya (waktu itu pangkat beliau Kolonel Inf) menyampaikan pikiran beliau kepada saya. Waktu itu adalah hari-hari terakhir saya menjadi Taruna Akademi Militer dan telah menyelesaikan semua ujian akhir, tinggal menunggu pengumuman hasil ujian dan pelantikan sebagai Perwira TNI oleh Presiden RI, Soekarno.
Ketika itu Pasukan Taruna AM baru pulang dari operasi menghadapi Pemberontakan PKI Madiun bergabung pada Divisi Siliwangi. Pada satu hari Pak Djatikoesoemo menghampiri saya dan mengatakan ke dalam bahasa Inggeris: Watch the Aftermath of the Revolution ! Saya mengerti ucapan beliau secara harfiah, yaitu : Perhatikan Keadaan Setelah Revolusi ! Akan tetapi saya tidak menangkap makna sebenarnya dari ucapan beliau. Sebelum saya dapat menanyakan apa yang beliau maksudkan, Pak Djati sudah pergi, meninggalkan saya dengan pikiran yang penuh pertanyaan.
Setelah peristiwa itu saya masih sering jumpa dengan Pak Djati, tetapi lupa mengajukan pertanyaan untuk memperoleh kejelasan dari ucapan beliau. Baru setelah tahun 1950 saya menyadari apa yang dimaksudkan Pak Djatikoesoemo dengan peringatan beliau itu. Yang beliau maksudkan adalah kondisi bangsa dan masyarakat Indonesia yang sukar diatur sehingga menimbulkan kelemahan, bahkan kerawanan bangsa, yang amat merugikan perkembangan Indonesia.
Ketika bangsa Indonesia dengan pimpinan Dwitunggal Soekarno-Hatta merebut kemerdekaannya, maka bangsa kita memulai satu revolusi yang belum pernah dialami sebelumnya. Sebagaimana Bung Karno selalu serukan bahwa bangsa Indonesia harus menjebol dan menjungkirbalikkan keadaan (Umwertung alle Werte) untuk mengubah kondisi penjajahan menjadi kondisi kemerdekaan, maka hal itu menuntut adanya tindakan revolusioner. Tanpa tindakan revolusioner tidak mungkin terjadi perubahan yang diinginkan. Maka tetjadilah Revolusi Indonesia.
Dalam revolusi itu semua nilai masyarakat penjajahan dijebol untuk kemudian diganti dengan nilai-nilai masyarakat merdeka setelah tujuan Revolusi Indonesia tercapai . Adapun nilai-nilai yang harus dibangun itu adalah nilai-nilai Pancasila yang telah disarankan Bung Karno kepada Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPPKI) untuk menjadi Pandangan Hidup Bangsa (Weltanschauung) dan Dasar Negara. Saran Bung Karno itu diterima dan kemudian Pancasila diformulasi kembali. Selain itu Panitya Kecil yang dipimpin Bung Karno untuk merumuskan UUD memasukkan Pancasila dalam UUD 1945 yang pada tanggal 18 Agustus 1945 disyahkan Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia yang telah diproklamasikan kemerdekaannya sehari sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Maka dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk mengusir penjajahan dari bumi Indonesia terjadi pergolakan yang tidak pernah dialami bangsa Indonesia. Bangsa yang sebelum itu dikenal sebagai bangsa yang paling lembut di dunia (het zachtste volk ter aarde, kata orang Belanda) berubah menjadi bangsa dengan semangat “banteng ketaton”.
Dalam pergolakan itu semua hukum dan aturan yang dianggap berasal dari masyarakat penjajahan dijebol dan dianggap tidak berlaku lagi. Yang menjadi ukuran adalah kepentingan revolusi. Orang naik kereta api tidak mau membayar lagi karena membayar untuk naik kereta api adalah satu aturan penjajahan. Aturan berlalu lintas tidak berlaku dan yang berlaku adalah apa yang diperlukan untuk perjuangan revolusi. Pendeknya, rakyat tidak lagi harus mengikuti berbagai ketentuan yang mengatur masyarakat, karena aturan itu berasal dari masa dan masyarakat penjajahan.
Setelah perjuangan kemerdekaan menghasilkan pengakuan penjajah Belanda dan bangsa-bangsa di Dunia atas kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 27 Desember 1949, ditambah lagi dengan tegaknya Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan yang berkuasa di seluruh Bumi Indonesia sejak 17 Agustus 1950, maka Revolusi Indonesia telah mencapai bagian utama tujuannya. Selanjutnya adalah kewajiiban bangsa Indonesia untuk mengisi kemerdekaan itu dengan menjadikan Pancasila kenyataan dalam kehidupan bangsa dan Republik Indonesia.
Untuk melakukan pengisian kemerdekaan harus langkah demi langkah Pancasila dijadikan kehidupan nyata. Itu berarti bangsa Indonesia harus membangun Rumah Indonesia dari reruntuhan masyarakat penjajahan yang telah berhasil dibongkar. Harus diwujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Itu berarti bahwa hukum dan aturan serta ketentuan yang telah dijebol harus dibuatkan gantinya sesuai dengan makna nilai-nilai Pancasila. Di sinilah bangsa Indonesia dan para pemimpinnya telah melakukan kelalaian yang fatal, karena kemudian kurang menjalankan pembangunan itu dengan komitmen dan konsentrasi tinggi. Dalam euphoria kemerdekaan orang malahan melanjutkan sikap dan sifat yang telah diambil selama revolusi. Tidak ada usaha untuk menegakkan kekuasaan hukum, pelanggaran aturan dan ketentuan dianggap normal belaka sebagai kelanjutan masa revolousi dan berbagai sikap yang perlu dipunyai sebagai masyarakat merdeka tidak menjadi perhatian sama sekali.
Masyarakat yang selama revolusi terbiasa untuk tidak mengikuti ketentuan dan aturan tetap berlaku demikian. Hukum pun tidak menjadi perhatian seakan-akan masyarakat merdeka tidak memerlukan kekuasaan hukum. Indonesia menjadi bangsa yang amat lemah disiplinnya dan sikapnya menjalankan peraturan. Padahal sebelum mulai perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia cukup kuat nalurinya untuk menjalankan aturan yang berlaku dan mudah diajak hidup berdisiplin. Inilah yang dimaksudkan Letjen Djatikoesoemo dengan ucapan beliau : Watch the Aftermath of the Revolution !
Sebetulnya Pak Djati harus menyampaikan peringatan kepada para pemimpin bangsa, khususnya kepada Bung Karno. Sebab merekalah yang seharusnya mencegah perkembangan bangsa Indonesia yang merugikan. Akan tetapi aneh kalau para pemimpin sendiri tidak mengetahui apa yang diperingatkan Pak Djati tersebut. Sebab pasti mereka dan khususnya Bung Karno dan Bung Hatta telah mempelajadri semua revolusi yang terjadi di dunia sejak Revolusi Perancis. Namun nyatanya apa yang dikhawatirkan Letjen Djatikoesoemo betul-betul terjadi. Bangsa Indonesia tidak dibawa mengatasi kondisi masyarakat setelah revolusi selesai. Dampaknya tidak sedikit sebab hingga kini masyarakat Indonesia masih amat sukar hidup berdisiplin dan beraturan.
Beberapa hari lalu di satu harian Jakarta ada tulisan seorang cendekiawan yang cukup terkenal. Ia menceritakan kedatangan tamu seorang Amerika yang minta diantarkan melihat-lihat kehidupan masyarakat. Dalam peninjuaan itu si-tamu melihat betapa orang berebut ketika naik bis. Ia heran mengapa orang bersikap begitu, padahal kalau mereka mau antri secara teratur pasti semua dapat tempat juga. Ia juga heran mengapa lalu lintas di Jakarta begitu semrawut dan ada pemakaian klakson mobil yang begitu banyak. Padahal di negaranya orang yang membunyikan klakson mobil dianggap kurang tahu aturan, atau dalam keadaan terdesak oleh pengemudi lain. Kawan kita tidak dapat menjelaskan kepada temannya Amerika mengapa orang Indonesia berperilaku aneh itu. Sebetulnya jawabannya terletak pada sifat orang Indonesia yang kurang menghargai aturan hidup, karena selalu merasa disorong untuk mencapai kehendaknya dan menangnya sendiri. Hal ini menjadikan masyarakat Indonesia bersifat lebih individualistis dan egoistis dari masyarakat Barat. Padahal bangsa Indonesia secara filsafah menolak individualisme dan liberalisme serta pada dasarnya bersifat gotong royong.
Akan tetapi dampaknya jauh lebih luas dan merugikan dari sekedar lalu lintas. Bangsa Indonesia suka membanggakan kenyataan bahwa di Asia Tenggara kita satu-satunya bangsa yang mendapat kemerdekaan karena perjuangan kita sendiri. Hal ini semula memberikan rasa kebanggaan dan harga diri yang kuat dalam hubungan kita dengan bangsa lain. Akan tetapi sekarang terbukti bahwa negara lain seperti Malaysia telah berkembang lebih maju dari kita. Kita tahu betapa perusahaan Petronas dari Malaysia asal mulanya banyak belajar dari Pertamina. Akan tetapi sekarang Petronas jauh meninggalkan Pertamina sebagai perusahaan ukuran dunia. Hal ini terutama disebabkan cara bekerja orang kita yang kurang efektif karena rendahnya disiplin, bukan karena kurang pengetahuan.
Yang paling parah adalah meluasnya Korupsi dalam masyarakat Indonesia yang sumbernya juga kurangnya orang Indonesia menghargai hokum dan peraturan. Orang kita suka sekali “potong kompas” termasuk dalam usaha menjadi kaya. Ia jarang mau usaha dengan serieus untuk maju. Tentu ada perkecualian di antara orang Indonesia, ada yang dengan tekun dan hidup disiplin serta komitmen mengusahakan tujuannya. Akan tetapi itu bukan gambaran umum, bukan mainstream sikap masyarakat Indonesia. Sudah lama Gunnar Myrdall pakar sosiologi Swedia menyatakan bahwa Indonesia adalah masyarakat lembek (soft society). Akibatnya masyarakat kita lemah daya saingnya. Itu semua pada dasarnya bersumber pada kurangnya orang mau disiplin, apalagi disiplin pribadi (self-discipline) tunduk pada hukum serta aturan yang berlaku. Padahal sebelum kita menjalankan revolusi tidak demikian gambaran umum masyarakat kita.
Sejak 1950 tidak ada usaha yang serieus dan konsisten untuk menjadikan bangsa Indonesia keluar dari sifat dan perilaku aneh dan merugikan ini. Memang pernah ada usaha berupa ajakan, tapi itupun hanya berlangsung sebentar tanpa ada komitmen yang kuat sehingga sama sekali tidak ada hasilnya positif. Sebaliknya, setiap usaha untuk menguatkan sikap berdisiplin selalu mendapat tantangan dari kalangan tertentu yang melihat usaha itu sebagai mengurangi kebebasan masyarakat.
Sebenarnya usaha yang paling manjur adalah kalau bangsa Indonesia menerapkan Sistem Wajib Militer. Melalui pendidikan dan latihan militer yang teratur selama 12 hingga 18 bulan seorang warga negara dibiasakan hidup berdisiplin dan teratur. Bahwa Wamil itu tidak hanya mempunyai manfaat bagi fungsi militer tetapi juga berdampak sosial, telah disadari banyak bangsa. Yang hidup dekat kita adalah Singapore dan Korea Selatan. Di dua negara itu semua pemuda pada umur tertentu menjalankan wajib militer sehingga seluruh bangsa dibawa untuk terbiasa hidup disiplin.
Sebetulnya tidak ada salahnya Indonesia juga melakukan itu. Karena besarnya jumlah penduduk Indonesia, maka tidak perlu mengadakan wajib militer umum (universal military service), melainkan dibatasi pada segolongan penduduk saja (selective service). Yang perlu melakukan wajib militer adalah semua orang yang pada tahun tersebut diterima bekerja, baik di pemerintah maupun swasta. Itu saja sudah menyangkut sekitar 200.000 orang atau bahkan lebih. Dengan begitu angkatan kerja kita akan lebih berdisiplin, tahu bekerja dalam tim (team spirit ) dan sifat lain yang tumbuh dalam pendidikan dan latihan militer. Mereka akan menjadi pekerja dan karyawan yang lebih bermutu dan akan dapat menggunakan kecakapan kerjanya lebih efektif. Dengan begitu organisasi yang menerima mereka bekerja akan memperoleh manfaat yang tidak sedikit. Karena setiap tahun negara menjalankan wajib militer, maka jumlah warga negara yang pernah mengalami kehidupan militer akan terus bertambah. Maka sekali gus negara akan mempunyai Kekuatan Cadangan Militer yang amat diperlukan untuk menyiapkan fungsi Pertahanan Nasional yang efektif.
Kita sebagai bangsa akan banyak mengalami kerugian kalau tidak mampu meninggalkan sifat dan sikap semau gue yang ada pada masyarakat kurang disiplin. Segala potensi bangsa, khususnya potensi kekayaan alam, kurang dapat kita manfaatkan secara maksimal, sehingga justru dimanfaatkan lebih banyak oleh bangsa lain. Memang di antara bangsa kita ada yang menonjol prestasinya di segala bidang kehidupan. Akan tetapi itu tidak cukup untuk dapat mengolah berbagai potensi kekayaan kita secara produktif. Telah terbukti dalam kehidupan semua bangsa bahwa disiplin dan hidup teratur amat berpengaruh terhadap kegiatan dan pekerjaan apa saja, termasuk juga untuk prestasi olah raga dan kesenian.
Sudah amat jauh waktunya para pemimpin bangsa mengambil langkah yang kongkrit untuk mengatasi masalah nasional ini dan sanggup menghadapi segolongan orang yang selalu merintangi setiap usaha untuk membuat bangsa Indonesia lebih kuat dan tegar yang tidak mungkin terwujud tanpa sikap disiplin. Semoga suara dan pendapat ini dapat mencapai banyak orang yang kemudian mendorong adanya perbaikan untuk masa depan.
Salam sejahtera,
Saya menangkap dari tulisan dan pengalaman ini didalam kondisi bangsa saat ini adalah “Perhatikan Keadaan Setelah Reformasi !”, sehingga kita tidak melakukan kesalahan kembali.
Banyak orang telah mendefinisikan dan menaruh harapan besar dari Reformasi, yang pada kenyataan tidak dapat menjawab permasalahan yang ada. Jikalaupun ada itu yang harus kita perhatikan, bagaimana dampaknya dengan reformasi yang setengah matang ini. Apakah akan terjadi perubahan besar ?, Jangan-jangan hanya reformasi yang keblabasan, sehingga memperparah kondisi mental dan sifat bangsa Indonesia, yang perlu kita kuatirkan adalah dampak masyarakat yang sudak “kebal” dengan kata-kata Reformasi.
Saya sangat setuju dengan dijalankan wajib militer, banyak manfaat yang dapat kita ambil. Saya teringat sewaktu kecil dulu, kita diwajibkan untuk mengikuti kegiatan Pramuka, untuk melatih displin, mental dan banyak hal yang membentuk kepribadian yang kuat, akan tetapi saat ini hal tersebut sudah ditinggalkan, bahkan pemerintah sendiri tidak menjadikan hal itu penting, dan Pramuka hanya sebuah pelajaran tambahan.
Pak Sayidiman, saya sangat mengerti kekuatiran bapak, karena sayapun mempunyai kekuatiran yang sama, sayangnya banyak orang sipil tidak berbicara seperti yang bapak bicarakan, sehingga ide tersebut dirasakan penuh dengan “militerisme”, padahal tidaklah demikian dengan menjalankan wajib militer bukan berarti “militerisme”.
Semoga tulisan ini banyak yang membaca, sehingga kaum penerus bangsa dapat mempelajari makna yang sebenarnya, sehingga dapat merubah Kepribadian Bangsa Indonesia menjadi Bangsa yang besar.
Yth. Pak Hartanto, terima kasih atas kunjungan Anda ke blog saya dan komentar yang Anda berikan. Memang Pak Hartanto, ada sekelompok kaum sipil yang sebenarnya tidak besar jumlah orangnya yang selalu menentang kalau ada usaha untuk memperbaiki disiplin bangsa. Mereka tergolong terpelajar, jadi tentunya cukup pandai berpikir. Namun saya selalu heran mengapa mereka selalu hubungkan disiplin dengan militerisme. Dan seakan-akan mereka tak tahu bahwa disiplin adalah salah satu faktor penting dalam pencapaian keberhasilan dalam hidup manusia. Hanya kalau ada kepemimpinan nasional yang kuat dan tegas masalah ini dapat kita atasi. Jangankan mengadakan wamil, usaha memperkuat disiplin tanpa unsur militer pun ditentang kelompok itu. Mereka berpikir bahwa dengan kecerdasan semua hal dapat diatasi. Sungguh dangkal dan menunjukkan pandangan yang medioker ! Tetapi mereka masih saja dapat memenangkan pandangan mereka.