Unilateralisme vs Multilateralisme

Posted by Admin on Thursday, 12 February 2004 | Opini

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo

SETELAH Perang Dingin usai dan Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara adikuasa, banyak pihak berpendapat bahwa umat manusia dikuasai AS. Bahkan Francis Fukuyama mengatakan, sekarang sejarah telah berakhir (dalam bukunya The End of History and the Last Man). Ia berpendapat bahwa umat manusia tidak ada pilihan lain dari pada mengikuti pola kehidupan dan sistem politik AS. Sikap AS menunjukkan tekad menguasai dunia dan umat manusia atas dasar unilateral.

Menlu AS, Madeleine Albright mengatakan bahwa AS bersikap demikian karena ia Amerika, yaitu satu-satunya kekuatan yang menguasai dunia atas dasar kemampuan militern, ekonomi dan kemampuan politiknya. Sikap unilateral AS itu menghendaki bahwa umat manusia harus menerima segala kebijaksanaan AS karena itu adalah kebijaksanaan yang benar buat umat manusia dan buat setiap bangsa di dunia.

Yang terutama menonjol dalam mengembangkan sikap unilateral adalah kelompok neo-konservatif yang tokoh-tokohnya menjadi pejabat penting dalam pemerintahan Presiden George W. Bush, termasuk Wapres Richard Cheney, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld dan wakilnya Paul Wolfowitz.

Akan tetapi tidak semua orang Amerika sependapat dengan sikap unilateral. Mereka berpikir bahwa AS tidak mampu menjadi polisi dunia yang efektif, betapa pun besarnya kemampuan yang dimiliki dalam bidang militer, ekonomi, dan politik.

Mereka berpendapat bahwa umat manusia sebaiknya mengembangkan sikap multilateral. Tidak hanya kekuatan AS yang harus menjamin perdamaian dan kesejahteraan dunia, tetapi juga kekuatan Eropa, Cina, dan Jepang. Mereka menyadari bahwa kekuatan militer AS memang tidak ada yang menyamai, tetapi kekuatan ekonomi AS sekalipun masih terbesar di dunia namun dalam kenyataan amat tergantung pada kekuatan ekonomi Eropa, Jepang dan bangsa-bangsa lain.

Berbeda Pendapat

Di luar AS juga ada perbedaan pendapat antara mereka yang mendukung unilateralisme AS dan multilateralisme. Perbedaan pendapat itu terjadi hampir di semua bangsa, termasuk bangsa-bangsa Eropa. Di Eropa hal itu tampak sekali pada perkembangan Uni Eropa dan NATO. Dalam Uni Eropa, Jerman dan Prancis memimpin faksi yang menghendaki multilateralisme, sedangkan Inggris tampak sekali kesetiaannya kepada AS. Negara-negara Eropa yang relatif lemah ekonominya, seperti Spanyol dan negara-negara Eropa Timur yang baru bergabung ke dalam Uni Eropa mendukung unilateralisme AS.

Mungkin itu mereka lihat sebagai jaminan agar tidak didominasi Prancis dan Jerman dalam Uni Eropa. Dalam NATO tampak usaha AS agar organisasi pertahanan itu makin meluas ke timur, karena memerlukan keanggotaan negara Eropa Timur yang berpihak kepadanya. Sebaliknya Prancis, Jerman dan Belgia mulai membentuk kekuatan pertahanan bersama sebagai kekuatan Eropa di luar NATO. Jelas sekali bahwa AS hendak menjaga agar NATO tetap dapat dikuasainya, sedangkan Jerman dan Prancis hendak mengurangi peran NATO bagi Eropa.

Serangan AS ke Irak makin mempertajam pertentangan unilateralisme-multilateralisme. Sikap AS yang mengabaikan PBB dalam serangan pre-emptive ke Irak mendapat dukungan Inggris, Spanyol, Italia, Polandia, Hongaria dan beberapa negara lain. Akan tetapi dikecam keras oleh Prancis, Jerman, Rusia, Cina dan negara-negara lain yang tidak setuju PBB diabaikan. Namun juga dalam masyarakat AS sendiri, demikian pula di masyarakat Inggris, Spanyol dan Italia banyak sekali yang menentang serangan AS ke Irak. Demikian pula rakyat Australia dan Jepang banyak yang tidak sependapat dengan pemerintahnya yang mendukung AS.

Dengan demikian, pertentangan unilateralisme-multilateralisme bukan lagi pertentangan antara bangsa-bangsa, melainkan sudah menjadi perbedaan sikap yang prinsipiil di dalam tubuh setiap bangsa. Sudah diuraikan mengapa di tubuh bangsa AS ada yang tidak setuju dengan unilateralisme. Perlu pula kita lihat mengapa di bangsa lain ada yang mendukung unilateralisme yang berarti menerima dominasi AS.

Ada yang mengatakan bahwa orang-orang seperti Tony Blair, Perdana Menteri Inggris, mendukung sikap unilateral AS karena dalam pikiran mereka yang menentukan adalah kekuatan militer. Mereka memandang bahwa tidak mungkin Uni Eropa bersedia dan mampu membangun kekuatan militer yang sanggup mengimbangi kekuatan militer AS. Mungkin ekonomi Uni Eropa dapat tumbuh demikian rupa sehingga mengungguli ekonomi AS, tetapi dalam pandangan mereka hal itu kurang relevan apabila timbul masalah yang memerlukan kekuatan militer.

Sudah dikemukakan mengapa negara Eropa Timur umumnya mendukung sikap AS, yaitu memerlukan payung untuk menghadapi negara besar di kawasannya seperti Russia, Perancis dan Jerman. Mungkin sekali juga negara kecil di Asia Timur seperti Singapore selalu menunjukkan dukungannya kepada AS karena memerlukan jaminan untuk eksistensinya.

Sangat Bergantung

Akan tetapi mereka yang mendukung sikap multilateral tidak dapat menerima pandangan demikian. Mereka berpendapat bahwa kekuatan ekonomi AS yang sekarang sangat tergantung pada bangsa-bangsa lain sehingga merupakan kerawanan yang dapat menghancurkan AS dari dalam tanpa kekuatan militernya dapat mengintervensi. Lagi pula, kata mereka, kekuatan AS yang begitu hebat dan canggih dalam kenyataan kurang efektif ketika harus beroperasi terhadap negara lain.

Irak dan Afghanistan memang dapat ditundukkan cepat secara konvensional, tetapi kemudian AS menghadapi banyak sekali masalah untuk mengkonsolidasi kemenangannya dan hingga kini belum dapat mencapai tujuan politik dan ekeonominya. Irak diserang ketika sudah lemah posisinya karena mengikuti kehendak PBB untuk melucuti senjata utamanya.

Hingga kini AS dengan kekuatan militer yang begitu hebat tidak sanggup mengatasi masalah Korea Utara yang mengaku mempunyai kekuatan nuklir.

Juga terhadap Iran belum ada sikap tegas. Padahal Irak, Iran dan Korea Utara dinilainya sebagai negara yang merupakan Poros Kejahatan (Axis of Evil) yang semuanya merugikan kepentingan utama AS. Tampak sekali, kata mereka yang mendukung multilateralisme, bahwa kekuatan AS yang hebat dan canggih jauh dari efektif untuk mendukung tujuan politik dan ekonominya.

Sangat mungkin Rusia dan Cina menolak unilateralisme AS karena mereka sendiri akan berkembang sebagai kekuatan yang tidak sembarangan berdasarkan potensi yang mereka miliki. Apalagi sudah banyak ramalan bahwa Cina akan melampaui AS dalam ekonomi sekitar dua puluh tahun ke depan. Yang menjadi pertanyaan penting adalah bagaimana sikap Jepang. Sikap rakyat Jepang yang mengecam serangan AS ke Irak di luar PBB dapat menjadi indikasi bahwa mereka menolak unilateralisme.

Akan tetapi pemerintah Jepang hingga kini cukup setia kepada pemerintah AS dengan mengirimkan kontingen militer ke Irak. Yang juga masih kurang jelas adalah sikap India. Demikian pula Indonesia belum menunjukkan sikap yang jelas. Memang kita tidak mau mengirimkan kontingen ke Irak kecuali atas permintaan PBB. Akan tetapi ekonomi Indonesia masih amat lemah dan masih harus dibuktikan oleh kepemimpinan Indonesia yang timbul tahun 2004 seberapa mampu kita menjaga kemandirian kita.

Tetapi yang paling menarik adalah bagaimana di AS sendiri. Apakah Presiden baru dari Partai Demokrat akan membuat perubahan mendasar dalam sikap unilateral AS, masih harus dibuktikan.

Kalau George W. Bush tetap sebagai Presiden sudah pasti AS akan menempuh sikap unilateral yang lebih keras lagi.

Source : http://www.suarapembaruan.com/News/2004/02/12/

RSS feed | Trackback URI

1 Comment »

Comment by theo
2010-06-20 15:15:53


USA dri segi realis uda wajar dia kya gt,cba klo qt jadi amerika pzti qt ky dia juga kan ??btw nice posting
thx very much,,sory klo komenx mnyakti hati y hehehehe

 
Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post