Oleh Sayidiman Suryohadiprojo
DALAM sebuah pertemuan tentang pendidikan, seorang peserta mengatakan bahwa suatu perumusan yang memuat istilah Pancasila pasti akan membuat alergi banyak orang, khususnya mahasiswa. Banyak yang kaget mendengar pernyataannya itu. Lalu,ia katakan bahwa orang muak membaca perumusan seperti "mencapai kemajuan berdasarkan Pancasila". Benarkah yang tidak mereka setujui adalah kandungan Pancasilanya?
Inilah akibat dari kebijakan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto yang telah mendiskreditkan Pancasila. Bung Karno diakui sebagai pencipta Pancasila atau dalam bahasa Bung Karno sendiri disebut sebagai penggali Pancasila. Namun, justru sebagai pencipta atau penggali Pancasila itu, Bung Karno telah merusak pemahaman orang tentang Pancasila.
Bukannya nilai-nilai yang dikandung Pancasila yang dijadikan kenyataan di masyarakat, Bung Karno justru melakukan hal yang sebaliknya. Yang paling menonjol adalah diterapkannya sistem politik Demokrasi Terpimpin yang sama sekali bukan sistem demokrasi, melainkan sistem semidiktatur. Keadilan sosial pun tidak memperoleh perhatian Bung Karno – karena kesejahteraan rakyat dibiarkan makin menurun- kecuali hanya untuk mengejar tujuan politik yang kurang masuk akal, seperti berkonfrontasi dengan Malaysia.
Dalam Orde Baru, hal lain yang dilakukan, toh tidak kurang merugikan bagi pemahaman Pancasila. Misalnya, secara formal diadakan penataran Pancasila. Tapi, teori muluk-muluk itu sama sekali tidak terwujud nyata dalam kehidupan masyarakat. Malah diintrokduksinya istilah Demokrasi Pancasila seakan-akan sistem demokrasi yang diterapkan Orde Baru itu sesuai dengan Pancasila. Padahal, itu pun bukan demokrasi sebagaimana dikehendaki rakyat banyak.
Pemilu memang diadakan setiap lima tahun. Tetapi cara penyelenggaraannya jauh dari paham demokrasi, yang menjamin kedaulatan rakyat. Ada MPR dan DPR juga merupakan satu kemajuan dibandingkan dengan masa Orde Lama, yang mempunyai MPRS dan DPR-GR yang semua anggotanya diangkat oleh Bung Karno. Akan tetapi keanggotaan dan pimpinan MPR serta DPR Orde Baru, yang secara formal hasil pemilu, dalam kenyataan sudah diatur oleh Presiden Soeharto beserta lingkungannya. Seluruh kehidupan politik hanya sandiwara belaka. Demikian pula dunia ekonomi, dan terutama kekuasaan hukum.
Jadi, boleh dikata, Pancasila telah mengalami perusakan arti sejak 1959 hingga 1999. Sebab itu, munculnya alergi terhadap Pancasila masuk akal juga. Segala hal yang disertai tambahan Pancasila -seperti istilah sepak bola Pancasila- terbukti sama sekali tidak patut mendapat perhatian, apalagi dukungan.
Dengan begitu, kita telah melakukan suatu kesalahan yang besar dan amat merugikan kita sendiri. Pancasila, dalam arti yang benar, sangat penting dan banyak manfaatnya bagi masa depan bangsa Indonesia. Itu terbukti dari perkembangan umat manusia. Kini, umat manusia memasuki masa baru yang berbeda dari masa lampau. Dunia Barat makin merasakan bahwa berbagai paradigma masa lalu sekarang harus mengalami perubahan agar terwujud kehidupan yang lebih menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di masa depan.
Sikap hidup dunia Barat yang individualisme dan materialisme, yang telah empat abad berlaku dan telah memberikan berbagai kemajuan, harus mengalami perubahan jika ingin maju dan sejahtera. Individualisme tidak dapat lagi dipertahankan secara mutlak dan harus disertai kesediaan kebersamaan. Demikian pula sikap materialisme atau pentingnya benda ternyata relatif belaka. Manusia makin merasakan bahwa faktor spiritual harus dapat tempat penting untuk terwujudnya kehidupan yang bermakna, mantap, dan utuh.
Paradigma ini semua, sejak semula, ada dalam Pancasila sebagai nilai-nilai dasar. Itu berarti bahwa Pancasila hakikatnya adalah sebuah paham yang modern, bahkan pascamodern. Yang diperlukan adalah bagaimana membuat Pancasila beralih dari paham atau teori yang abstrak menjadi kenyataan yang dapat dilihat, dirasakan, dan diraba.
Memang, itu memerlukan keberanian dan imajinasi yang tidak sedikit. Sebab, di dunia tidak ada contoh yang dapat ditiru. Mungkin di dunia Barat sudah terwujud demokrasi atau kerakyatan, dan ada kesejahteraan material yang tinggi, tetapi kehidupan masyarakat Barat terasa hampa spiritual dan moral sebagaimana diakui sendiri oleh para pemikir Barat.
Padahal, yang dikehendaki Pancasila adalah satu kehidupan yang di dalamnya memiliki sistem politik dan ekonomi yang demokratis, adanya persatuan dalam kebhinekaan bangsa yang menghargai kemanusiaan dan dikuasai hukum, serta diliputi moralitas dan spiritualitas yang luhur.
Tantangan reformasi di Indonesia menjadi jauh lebih luas dari sekadar demokrasi dan menghilangkan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), karena dua hal itu hanya unsur-unsur dalam keseluruhan nilai-nilai Pancasila yang harus kita kongkretkan. Selama orang masih alergi terhadap Pancasila, itu berarti bahwa kita masih amat jauh dari tujuan yang hendak dicapai.
Sikap alergi baru hilang kalau masyarakat tahu bahwa sedang berjalan suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi kenyataan kongkret. Dan keberhasilan mengkongkretkan Pancasila akan menciptakan kesejahteraan lahir-batin dan kemajuan hakiki yang kita inginkan.
Source : GATRA 27/VI
No comments yet.