Perbedaan Pikiran Barat Dan Pancasila

Posted by Admin on Sunday, 3 August 2008 | Makalah, Opini

Satu Uraian Singkat

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo

Pendahuluan

Waktu ini nampak meningkat keinginan masyarakat untuk menegakkan kembali Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa dan Dasar Negara RI. Hal itu sangat menggembirakan mengingat kuatnya usaha pihak-pihak tertentu di dalam maupun luar negeri, yang ingin menghilangkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia. Namun demikian, masih menjadi pertanyaan apakah semua orang yang ingin Pancasila tegak kembali, mengetahui inti pikiran Pancasila dan perbedaannya dengan cara berpikir Barat.

Tulisan ini bermaksud menguraikan secara singkat hal-hal itu.

Pikiran Barat

Sejak terjadi Renaissance di Eropa pada abad ke 14, pikiran Barat sangat berpangkal pada peran Manusia sebagai Individu dalam kehidupan.
Dunia Barat memandang Individu sebagai mahluk yang lahir dengan kebebasan penuh dan sama satu dengan yang lain (Men are created Free and Equal). Kebebasan itu memberikan kepadanya hak untuk mencapai segala hal yang diinginkan. Ia hidup terpisah satu sama lain, masing-masing dilengkapi dengan kekuasaan penuh, sehingga ia segan berkumpul dengan individu lain. Thomas Hobbes (1588-1679) berkata bahwa kondisi manusia ini adalah kondisi perang antara setiap individu dengan individu lainnya (bellum omnium contra omnes).
Karena dengan begitu sekuriti setiap individu selalu terancam, maka Ratio individu mendorongnya untuk memperoleh perdamaian dengan hidup bersama individu lain.
Jadi dalam pikiran Barat hidup bersama antara individu adalah karena dorongan ratio guna mengamankan sekuritinya melalui perdamaian. Itu berarti bahwa hubungan antara individu adalah selalu dalam bayangan Konflik. Inilah yang dinamakan Individualisme dan Liberalisme.

Pikiran Pancasila

Ketika Bung Karno pada 1 Juni 1945 menguraikan pandangannya yang beliau namakan Pancasila depan Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia, beliau menyatakan bahwa Pancasila beliau gali dari kehidupan bangsa Indonesia yang sudah berabad lamanya. Beliau mengatakan bahwa Pancasila adalah Isi Jiwa bangsa Indonesia.
Dalam Pancasila kehidupan digambarkan sebagai Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan. Tidak ada Manusia atau Individu yang hidup sendiri melainkan senantiasa dalam hubungan dengan individu lain dalam satu ikatan bersama.
Individu berada dalam Keluarga. Meskipun berada dalam satu keluarga tidak ada dua individu yang benar-benar sama , jadi selalu berbeda. Karena perbedaan itu individu hidup mengejar yang terbaik. Akan tetapi perbedaan individu itu selalu berada dalam hubungan Keluarga, sehingga kehidupan individu selalu disesuaikan dengan kepentingan Keluarga (Ora sanak ora kadang, yen mati melu kelangan). Sebaliknya karena individu adalah bagian permanent dari Keluarga, maka Keluarga mengusahakan yang terbaik bagi semua individu yang ada di dalamnya.
Maka dasar pikiran Pancasila adalah Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan yang berarti Kekeluargaan dan Kebersamaan. Hubungan antara individu dengan individu lain dan dengan Keluarga adalah selalu mengusahakan Harmoni atau Keselarasan. Bentuk dinamiknya adalah Gotong Royong.
Maka dalam memandang kehidupan pikiran Pancasila jelas sekali berbeda dengan pikiran Barat, yaitu Harmoni berbeda dengan Konflik, Individu dalam Kebersamaan berbeda dengan Individu bebas, sama dan dengan kekuasaan penuh.

Pengaruh terhadap pandangan tentang Negara

Berdasarkan pikiran Barat itu maka Barat melihat Negara sebagai sumber Kekuasaan. hal mana antara lain ditegaskan Nicolo Machiavelli (1469-1527) dan masih berlaku hingga sekarang. Ia melihat Negara sebagai satu-satunya jalan untuk menciptakan orde (ketertiban) dalam kehidupan yang diisi individu-individu yang bebas dan penuh kekuasaan. Sebab dalam negara itu terdapat supreme power atau sovereignty yang dapat menciptakan orde dalam kehidupan. Yang dimaksudkan dengan sovereignty adalah the absolute and perpetual power of commanding in a state (Jean Bodin, 1530-1596)
Thomas Hobbes dan John Locke (1632-1704) melihat bahwa sumber kekuasaan dari supreme power itu adalah kekuasaan yang ada pada individu. Sebab individu melalui rationya menyadari bahwa harus ada ketertiban dan untuk itu diperlukan kekuasaan.
John Locke kemudian mencari jalan bagi penggunaan kekuasaan itu. Ia tidak memberikannya kepada seorang, seperti digambarkan Machiavelli, melainkan melalui pembagian kekuasaan di tiga tangan yang mengadakan keseimbangan melalui checks and balance. Inilah yang dinamakan Trias Politica yang sejak tahun 1688 digunakan dalam mengatur kekuasaan negara di Barat.

Pancasila berpangkal pada penglihatan umat manusia sebagai Kesatuan dengan manusia dilahirkan hidup bersama. Sebab itu buat Pancasila negara bukan organisasi kekuasaan, melainkan organisasi untuk mewujudkan Kebahagiaan Manusia (Sila ke 5 : Kesejahteraan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia ).
Tujuan itu dicapai dengan cara Musyawarah Mufakat (Sila ke 4) dengan selalu memperhatikan Kemanusiaan Beradab (Sila ke 2) dan menjamin Persatuan Indonesia (Sila ke 3) dengan dilandasi kesadaran akan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa (Sila ke 1).
Karena 200 juta bangsa Indonesia tidak dapat melakukan musyawarah, maka dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Penjelmaan Rakyat. Jadi MPR bukan padanannya Parlemen dari system Barat.
Karena MPR terdiri dari sekian banyak orang, maka ia tidak dapat menjalankan kewajiban mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan umum. Sebab itu MPR mengangkat Presiden Republik Indonesia sebagai Mandataris MPR. Untuk menjalankan kewajibannya MPR menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang harus dijalankan Presiden RI. Untuk menjalankan pekerjaannya Presiden RI didampingi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk bersama-sama menetapkan undang-undang, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden RI, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) untuk mengawasi kebendaan dan keuangan negara, Mahkamah Agung (MA) untuk menyelenggarakan pengadilan. Selain itu Presiden RI dibantu Pemerintah RI terdiri para Menteri untuk melaksanakan pekerjaan yang menjadi kewajibannya.
Jadi Negara RI berdasarkan Pancasila tidak sama dan bukan satu Negara berdasarkan pikiran Barat. Negara RI tidak menjalankan Trias Politica , melainkan menjalankan segala ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang asli sebelum di-amandemen. Segala issue yang dikemukakan pihak Barat seperti Hak Azasi Manusia (HAM), Demokrasi,dll harus pula dilihat dari kacamata dan pikiran Pancasila.

Pertanyaan mendasar adalah : Mengapa Kita Mau Melaksanakan Pancasila ?

Orang-orang yang menganut pikiran Barat berpendapat bahwa jauh lebih bermanfaat dan praktis untuk menggunakan cara berpikir Barat dalam membangun kehidupan di Indonesia. Barat sudah membuktikan pencapaian kesejahteraan dan memberikan model jelas apa yang harus kita lakukan. Mengapa harus melaksanakan Pancasila, kata mereka, padahal belum ada buktinya untuk dijadikan model. Akan terlalu lama dan penuh ujian sebelum kita tiba pada pelaksanaan Pancasila, kata mereka, sedangkan Rakyat sudah menunggu kesejahteraan hidup yang mereka dambakan.

Jawabannya adalah :

  1. Belum tentu jalan terpendek adalah jalan terbaik. Apalagi kalau kita perhatikan pendapat dan pikiran orang-orang terkemuka Barat, termasuk kaum filosof seperti Oswald Spengler (Der Untergang des Abendlandes), P.A. Sorokin (The Crisis of our Age), J. Huizinga dan Jan Romein dalam berbagai buku mereka, Ortega Y Gasset , dan lainnya. Para pemikir Barat sendiri sangsi akan masa depan dunia Barat kalau tidak melakukan perubahan mendasar. Jadi apakah kita hanya mau mengekor kepada perkembangan yang menuju ke keruntuhannya ? Tentu tidak , kita harus membangun bangsa untuk sepanjang masa sampai dunia kiamat.
  2. Sudah dua kali terbukti bahwa melaksanakan cara berpikir Barat menyebabkan persoalan besar bagi kita, yaitu dalam masa antara 1950 hingga 1959, dan sekarang setelah Reformasi tahun 1998 yang bahkan dapat memecah NKRI yang keutuhannya hanya dapat dijamin dengan Pancasila untuk menghadapi berbagai perbedaan, seperti agama. Yang pertama dapat kita akhiri setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Kembali pada UUD 1945 pada 5 Juli 1959. Sedangkan yang sekarang belum dapat kita akhiri dan semoga tidak akan lama lagi terjadi koreksi terhadap Reformasi. Yang kita perlukan adalah Reformasi yang menjadikan Pancasila Kenyataan di Indonesia.
  3. Melihat sejarah umat manusia, baik dalam sejarah bangsa-bangsa maupun sejarah tokoh-tokoh dunia, maka terbukti bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin tercapai kalau kehidupan dilakukan berdasarkan Jati Diri Bangsa. Kalau tidak didasarkan Jati Diri maka kalaupun terjadi kemajuan, maka itu tidak menimbulkan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin yang hakiki bagi rakyat. Maka karena Pancasila adalah Jati Diri Bangsa Indonesia , kita harus membangun kehidupan bangsa berdasarkan Pancasila. Hanya itu yang akan memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin rakyat Indonesia.

Bacaan : Prof. Mr. Soediman Kartohadiprodjo , Kumpulan Karangan , PT Pembangunan Jakarta, 1964

RSS feed | Trackback URI

5 Comments »

Comment by prihandoyo kuswanto
2015-07-07 23:20:41


SEJAK AMANDEMEN UUD 1945 “Bangsa ini hidup kliyeng-kliyeng gumantung tanpa centelan ’’
Tanpa disadari Amandemen UUD 1945 yang telah menghilangkan sistem negara Kolektivisme /Kekeluargaan dengan sistem MPR , diganti dengan sistem individualisme liberalisme dengan sistem Presidensial negara ini sudah tidak lagi negara Proklamasi , sebab sistem negara adalah sistem asli Indonesia yaitu kedaulatan tertinggi di tangan rakyat dan di jalankan oleh Majelis Permusyawaratan rakyat .Dengan diamandemen nya pasal 1 ayat 2 detik itu juga NKRI dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 , dengan desain Preambul UUD 1945 dan dasar negara Pancasila sudah ambruk . Dan rakyat Indonesia hari ini hanya di jadikan para munafik karena ketidak mengertia nya tentang apa itu Negara PROKLAMASI .

Cuplikan
AMANAT PRESIDEN SUKARNO
PADA ULANG TAHUN
PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA,
17 AGUSTUS 1961 DI JAKARTA

…………”Ya benar, ada kalanya warisan-warisan pemikiran dan warisan-warisan sosial dari nénék-moyang kita itu tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman.

Tetapi tidak mengapa! Apa yang harus kita kesampingkan, kesampingkanlah, dan apa yang dapat kita perbaiki, robahlah menurut syarat-syaratnya zaman! Tetapi apa yang berbahaya ialah anggapan, bahwa segala apa yang asli-Indonesia itu sudah lapuk dan tidak baik lagi. Sikap yang demikian ini berbahaya, oleh karena ia menyebabkan bahwa kita ini nanti hidup di atas kekosongan, hidup tanpa landasan nasional, hidup ontworteld tanpa akar, hidup “uprooted from our origin”, – hidup “kléyang-kléyang gumantung tanpa cantélan”. Bangsa yang demikian itu tidak hanya kehilangan dasar yang sehat untuk bertumbuh,- tanpa bumi, tanpa sumber -, akan tetapi lebih daripada itu: ia, mau tak mau, besok pagi atau besok lusa, niscaya akan menjadi permainan dan ajang-kelananya kekuatan-kekuatan asing, baik di lapangan politis maupun di lapangan ekonomis, di lapangan sosial maupun di lapangan kebudayaan. Bangsa yang demikian itu di segala lapangan tidak mempunyai roman-muka sendiri. Roman-mukanya bukan satu cerminan daripada Isi Sendiri, tetapi satu peringisan daripada Asing. “

Dan sejak amanedemen UUD 1945 kita bangsa ini sudah dimasukan didalam jurang yang tidak bisa kembali , semua kehidupan kita telah diatur oleh asing , bahkan UUD 1945 diamandemen untuk kepentingan asing , coba lihat sekarang UU yang lahir setelah Amandemen semua untuk kepentingan asing , dan sebentar lagi jutaan orang-orang China akan datang untuk bekerja di negeri ini sementara pemerintah tetap mengusir rakyat nya keluar untuk menjadi babu , dan jongos di negari orang diperkosa disiksa bahkan harus di gantung karena mempertahankan kehormatan nya sebagai perempuan . Ada rencara yang koplak “asing boleh membeli tanah” , setelah ada aturan di jaman SBY asing boleh menguasai sampai 100 tahun sekarang jaman Jokowi akan diperbolehkan membeli tanah .ini jelas melanggar UUD 1945 sebab perintah UUD 1945
Jika itu dilakukan maka pemerintah telah melanggar pasal 33 ayat 3

(3)
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Apakah pemerintah merurut UUD 1945 diperbolehkan menjual ? apakah dikuasai sama arti nya boleh menjual ?
Maka bersatulah rakyat untuk menagih kembali Kedaulatan nya dengan mengembalikan NKRI pada Pancasila dan UUD 1945 naskah asli .

Jadi benar apa yang dikatakan bung karno diatas “Roman-mukanya bukan satu cerminan daripada Isi Sendiri, tetapi satu peringisan daripada Asing.”

 
Comment by prihandoyo
2014-04-09 08:22:41


Saya bisa memahami Pikiran Panca Sila yang diuraikan oleh Pak Sayidiman Suryohadiprojo sebetul nya Panca Sila itu adalah Keselaran , Kebersamaan , Harmoni ,Musyawarah Mufakat inilah yang membedahkan dengan pikiran barat ,sejak Reformasi Panca Sila dan Konsep Negara yang tertuang didalam Preambul UUD 1945 telah dikhianati , untuk menjalankan Pikiran barat ( baca Demokrasi kalah menang ,Demokrasi pertarungan , Demokrasi banyak-banyaka.) maka para pengamandemen UUD 1945 telah melakukan pengaburan dan penipuan dengan menghilangkan penjelasan UUD 1945 yang didalam nya termasuk Penjelasan Preambul UUD 1945 . padahal Preambul masih berlaku tidak dirubah .Penjelasan Preambul itu berupa pokok-pokok pikiran sebagai berikut :

Apakah pokok-pokok yang terkandung dalam pembukaan Undang-undang Dasar.
1. “Negara” begitu bunyinya-yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian negara Persatuan, Negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara menurut pengertian “pembukaan” itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar Negara yang tidak boleh dilupakan.
2. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
3. Pokok yang ketiga yang terkandung dalam “pembukaan” ialah negara yang berkedaulatan Rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistim negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.
4. Pokok pikiran yang keempat, yang terkandung dalam “pembukaan” ialah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu Undang-undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

atas dasar penjelasan preambul UUD 1945 diatas maka Negara akan didasarkan atas persatua ,dan mewujudkan Keadilan sosial , tidak akan terwujud Keadilan sosial manakalah diletakan pada sistem Liberalisme kapitalisme seperti sekarang ini .

kalau kita melihat pokok pikiran ke 3 , negara ini atas dasar Kedaulatan Rakyat dan Musyawarah perwakilan , arti nya pikiran barat dengan demokrasi kalah menang dan demokrasi banyak-banyakan,yang diterapakan pada ketatanegaraan saat ini telah melanggar kesepakatan dalam Preambul UUD 1945 , maka MPR , dan Lembaga-lembaga tinggi negara termasuk partai politik telah mengkhianati Preambul UUD 1945 , padahal Preambul UUD 1945 sampai saat ini masih berlaku .

 
Comment by Sayidiman Suryohadiprojo
2012-03-16 09:55:44


Yth Sdr Radhar Tribaskoro,
Untuk menjawab komentar Anda harap baca buku berjudul Sistem Pemerintahan Pendiri Negara versus Sistem Presidensiel Orde Reformasi, tulisan RM.A.B.Kusuma, diterbitkan Badan Penerbit Fak Hukum UI November 2011. Dalam buku itu tergambar dengan jelas bagaimana para Pendiri Negara dan kami yang setia kepada Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945 menginginkan NKRI berdasarkan Pancasila.
Salam,
Sayidiman Suryohadiprojo

 
Comment by Radhar Tribaskoro
2012-03-10 04:17:01


Artikel pak Sajidiman di atas adalah artikel yang paling membingungkan bagi saya. Frasa “Sebab itu buat Pancasila negara bukan organisasi kekuasaan, melainkan organisasi untuk mewujudkan Kebahagiaan Manusia” merupakan pusat kebingungan itu. Tidak ada satupun negara liberal di dunia yang menjadikan kekuasaan hanya demi kekuasaan. Kekuasaan tentu untuk kesejahteraan rakyat. Monopoli kekerasan oleh negara sebagaimana digariskan teori Kontrak Sosial dimaksudkan untuk mempasifikasi orang agar tidak semena-mena kepada orang lain. Monopoli kekerasan oleh negara tidak berarti membolehkan negara semena-mena kepada rakyat. Itu sebabnya ada demokrasi (pergantian kekuasaan secara teratur) dan hukum. Kekuasaan negara pun dibatasi agar tidak merambah kemana-mana (limited government). Civil society (pers, organisasi berbasis kerelawanan) di perkuat.

Di luar kebiasaannya, di sini Pak Sajidiman kurang mendalam dan cenderung menyederhanakan persoalan. Ia terperangkap dalam cara berpikir stereotip seperti FPI dan MUI yang mengatakan liberalisme itu semua boleh, sekulerisme mengabaikan Tuhan dan pluralisme menyamakan semua agama. Dengan kacamata stereotip ini kita kehilangan kemauan belajar dari orang lain, mengeraskan pendirian sendiri, cenderung memandang dunia luar sebagai musuh. Akibatnya kepribadian bangsa jadi terbelah. Sebagian pribadi kita tidak bisa menolak kenyataan berada ditengah pergaulan dunia yang saling-mempengaruhi, sebagian lagi berada di kurung batok mengulang mantra kehebatan diri sendiri walau tidak ada relevansi.

Bagi saya fatwa MUI ttg liberalisme, sekulerisme dan pluralisme hanyalah pernyataan yang sama tetapi dalam bentuk lain dari Piagam Jakarta. Semua ideologi lain dilarang beredar sehingga hanya ada ideologi “Islam” tertentu saja yang boleh dijadikan wawasan kehidupan. Sajidiman pun sama saja, artikel itu ia publish di dalam negeri; ia memanfaatkan peluang ketika tidak ada orang bakal membantah maka ia berfatwa liberalisme sebagai ideologi negara kekuasaan. Andai tulisan itu ditaruh di jurnal ilmiah internasional, saya yakin banyak ilmuwan akan ketawa terbahak-bahak. Tujuan tulisan Sajidiman sama saja dengan MUI, adalah politik. Ia punya definisi sendiri tentang negara, yg disebutnya Negara Pancasila. Negara macam apakah itu?

Negara itu adalah negara yang “Semua Bisa Diatur” Mengapa? Karena panduan untuk tindakan/kebijaksanaan sangat rancu. Panduan itu mengatakan tindakan (negara) untuk mensejahterakan rakyat haruslah dicapai dengan cara (saya kutip) “Musyawarah Mufakat (Sila ke 4) dengan selalu memperhatikan Kemanusiaan Beradab (Sila ke 2) dan menjamin Persatuan Indonesia (Sila ke 3) dengan dilandasi kesadaran akan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa (Sila ke 1).”

Maunya Sajidiman adalah mengajak orang berpikir secara holistik. Sayangnya, ia tidak mengerti apa yang dmaksud berpikir holistik (sistemik). Akibatnya terjadi kekacauan aksiologis pada tingkat individual maupun kelembagaan. Hukum yang dibentuk untuk menegakkan legalitas suatu tindakan menjadi kacau kemudian lumpuh, lantaran harus mempertimbangkan hal-hal di luar dirinya. Misalnya, bila Presiden ambil duit negara tidak apa-apa karena dipakai untuk bikin mesjid (sila ke-1); kalau sumbangan gandum dari Amerika diserahkan ke Lim Soei Liong tidak apa karena untuk bangun industri tepung terigu (sila ke-5), kalau anak Sultan memperkosa tidak usah diributkan demi menghindarkan perpecahan (sila ke-3),…dst.

Negara Pancasila dalam bayangan Sajidiman adalah negara sentralistik yang sinerginya berada di tangan pemegang mandat kuasa. Keadilan seperti air mengalir dari atas ke bawah. Integritas lembaga negara menurut Sayidiman tidak dibangun melalui mekanisme check and balance karena dianggapnya liberalistik. Sayidiman menegakkan integritas melalui Teori Manifestasi, yaitu mestilah ada seseorang atau lembaga yang merepresentasikan Sang Mahaadil atau Sang Mahakuasa. Pada tingkat negara Sang Mahaadil dan Sang Mahakuasa itu adalah MPR. Tidak boleh ada pihak yang bisa menchallenge MPR, apalagi mencheck and balance MPR.

Pada ranah judikatif Teori Manifestasi itu menurunkan perlunya Mahkejapol (Sang MahaAdil Kecil), sedangkan di ranah eksekutif ada Muspida (Sang Mahakuasa Kecil).

Jadi negara Pancasila ala Sajidiman tidak lain adalah negara Mataram yang dimodifikasi. Raja merupakan Perwujudan Tuhan. Maka tidak heran bila di masa Orde Baru feodalisme dan elitisme meraja-lela.***

 
Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post