Pandangan Salah tentang Gerilya

Posted by Admin on Saturday, 3 January 2004 | Opini

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo

KETIKA Saddam Hussein tertangkap, pemerintah dan tentara Amerika bergembira sekali dan memperkirakan bahwa hal itu akan membawa berakhirnya perlawanan bersenjata rakyat Irak. Pikiran demikian timbul akibat pandangan salah tentang gerilya. Seakan-akan perlawanan gerilya akan selesai kalau pemimpinan ditangkap atau dibunuh. Padahal juga belum jelas dan pasti bahwa Saddam Hussein yang memimpin perlawanan rakyat.

Dulu pemerintah dan tentara Belanda membuat kesalahan serupa ketika dalam serangannya ke Yogyakarta tanggal 18 Desember 1948 berhasil menawan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohamad Hatta, dan hampir seluruh kabinet RI. Mereka juga mengira bahwa keberhasilan mereka itu akan mengakhiri perlawanan TNI dan rakyat Indonesia. Akan tetapi yang membuat kesalahan itu tidak hanya pihak Belanda atau mereka yang berpihak kepadanya. Juga ada sementara orang di lingkungan RI sendiri, bahkan ada yang anggota TNI, berpendapat bahwa dengan tertangkapnya pemimpin negara, perlawanan terhadap Belanda telah dan harus berakhir.

Keyakinan

Bukan demikian cara berpikir dan bertindak gerilya. Sebab perlawanan gerilya tidak hanya ditentukan oleh pimpinan, melainkan juga merupakan keyakinan orang yang menjalankan perlawanan untuk terus melawan musuh selama ia masih ada. Keyakinan itu merupakan dorongan gerilya utama yang timbul karena berbagai hal yang menyangkut kehidupan orang itu. Pada umumnya keyakinan itu timbul karena orang merasa bahwa selama kehidupannya dikuasai musuhnya, ia tidak akan pernah mengalami kebahagiaan. Rakyat Indonesia menjalankan gerilya terhadap Belanda karena yakin bahwa selama ada kekuasaan Belanda di Indonesia, kehidupannya tidak akan pernah menyenangkan.

Maka gerilya baru dapat diakhiri kalau di samping pimpinannya dilikuidasi juga dapat ditimbulkan kondisi yang menghilangkan atau melemahkan keyakinan para gerilyawan. Sebab itu senjata utama melawan gerilya adalah merebut pikiran dan perasaan gerilya dan rakyat yang mendukungnya. Selama itu tidak tercapai gerilya akan terus terjadi, sekalipun digunakan senjata paling canggih dan dalam jumlah besar terhadap gerilya.

Sebenarnya Amerika mempunyai pengalaman amat baik ketika menghadapi perlawanan rakyat Vietnam yang hebat sekali. Sekalipun waktu itu Amerika menggunakan senjata yang paling maju dan canggih, termasuk gas racun Orange, namun terbukti ia harus angkat kaki dari Vietnam dengan menderita kekalahan besar secara moral dan materiil. Sebab itu, aneh sekali bahwa Amerika yang terkenal sebagai bangsa yang mampu melakukan berbagai penelitian, tidak dapat belajar dari pengalaman itu. Akibatnya, sekarang terus mengalami banyak pukulan dan kematian anggotanya meskipun Saddam Hussein sudah tertangkap.

Akan tetapi yang cenderung mempunyai pandangan salah tentang gerilya tidak hanya pihak yang dilawan gerilya. Juga di lingkungan gerilya sendiri bisa timbul pandangan salah. Hal itu terutama menyangkut pandangan bahwa dengan perlawanan gerilya saja tujuan politiknya dapat terwujud.

Itu kita sekarang melihat dalam perjuangan Al Qaeda dan sejenis. Perlawanan dengan cara teror termasuk dalam kategori sama dengan gerilya. Tampak sekali bahwa kegiatan perlawanannya dititikberatkan pada teror atau gerilya. Padahal untuk mencapai tujuan politiknya, perlawanan demikian saja tidak memadai.

Rakyat Indonesia

Perlawanan gerilya rakyat Indonesia berhasil mewujudkan kemerdekaan negara Republik Indonesia yang berdaulat karena di samping gerilya kita melakukan diplomasi pada tingkat internasional. Memang hasil perlawanan gerilya dimanfaatkan atau merupakan leverage penting untuk mencapai kemenangan diplomasi. Akan tetapi diplomasi itu kita perlukan untuk memobilisasi kekuatan internasional, khususnya PBB dan AS, untuk memaksa Belanda menyerahkan kedaulatan dan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.

Kalau tidak dapat digunakan diplomasi, maka perlawanan gerilya harus dapat berkembang sehingga menghasilkan perlawanan reguler yang mengalahkan musuh di medan tempur secara menentukan (decisive). Itulah yang dilakukan Vietnam ketika berhasil menyusun kekuatan reguler, termasuk pasukan tank, yang digerakkan menyerbu Saigon dan memaksa Amerika lari tunggang-langgang. Baru dengan keberhasilan serangan reguler itu Vietnam dapat membersihkan negaranya dari kekuasaan AS dan berdiri kokoh menjadi satu negara Republik Vietnam, bukan lagi terbelah menjadi dua Vietnam dengan Vietnam Selatan dikuasai secara politik oleh Amerika.

Maka Al Qaeda dan semua gerakan sejenis, seperti organisasi Jemaah Islamiyah yang bertujuan membentuk kekhalifahan Asia Tenggara, tidak akan mungkin mencapai tujuan mereka selama hanya bergerak dengan perlawanan gerilya atau teror. Memang gerilya dan teror itu amat mengganggu dan merusak kehidupan masyarakat yang diserang. Sudah jelas bahwa rakyat yang mengalami serangan itu akan amat menderita, seperti dirasakan rakyat Bali setelah peristiwa bom Bali. Akan tetapi itu justru menimbulkan kebencian kepada pihak yang melakukan teror. Padahal yang menjadi tujuan teror, kata para pelakunya adalah Amerika dan sekutunya.

Kalau rakyat Indonesia harus banyak menderita karena teror, maka makin meningkat kebencian terhadap pelaku teror. Rakyat Indonesia yang sejatinya sama sekali tidak pro Amerika bisa saja menjadi berpihak kepadanya karena kebencian kepada pelaku teror. Jadi alih-alih memperkuat posisi politiknya, pihak teror justru memperlemah diri sendiri. Padahal tujuan perjuangan mereka adalah politik

Selain tidak mengembangkan posisi politik dan diplomasi, Al Qaeda dan organisasi sejenis tidak tampak menyusun kemampuan perlawanan reguler, seperti dulu Vietnam. Memang untuk itu mereka harus membuat kekuatan militer yang tidak sederhana. Kalau organisasi teror yang namanya Jemaah Islamiyah (nama yang amat mengkhianati umat Islam) hendak mencapai tujuan politiknya, yaitu terbentuknya kekhalifahan Asia Tenggara yang terdiri dari bagian luas Indonesia dan Malaysia, bagian selatan Thailand dan Filipina serta bagian utara Australia, maka kekuatan regulernya harus dapat mengalahkan kekuatan militer Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Australia.

Sebab tentu saja negara-negara itu tidak akan rela ada bagian negaranya dimasukkan secara paksa ke organisasi kekhalifahan itu. Tampaknya Jemaah Islamiyah tidak akan pernah mampu membentuk kekuatan reguler itu. Alhasil, baik secara politik tidak ada usaha jelas melalui jalan diplomasi maupun secara militer tidak mungkin diwujudkan kemenangan yang bersifat menentukan. Maka tujuan membangun kekhalifahan tidak akan pernah tercapai!

Kalau demikian halnya perlawanan gerilya atau teror itu menjadi tidak lain dan tidak lebih dari tindakan kejahatan kriminal, sekalipun mungkin pada tingkat tinggi. Kiranya hal demikian harus diperhatikan oleh mereka yang memimpin organisasi teror itu. Karena umumnya mereka mempunyai gagasan politik apakah mereka bersedia hanya sekadar menjadi penjahat kriminal yang dibenci banyak orang?

Source : http://www.suarapembaruan.com/News/2004/01/03/index.html

RSS feed | Trackback URI

Comments »

No comments yet.

Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post