Tantangan Buat Kaum Ekonom

Posted by Admin on Monday, 30 January 2006 | Opini

Sayidiman Suryohadiprojo

Bahwa masa depan Indonesia sangat tergantung pada perkembangan ekonominya bukanlah hal baru. Namun yang selalu dipertanyakan adalah bagaimana perkembangan ekonomi itu berjalan sehingga benar-benar membuat rakyat secara keseluruhan sejahtera dan bangsa menjadi kuat. Inilah tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dan khususnya kaum ekonomnya yang menjadi aktor utama dalam perkembangan itu.

Sebagai bangsa yang menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara perkembangan ekonomi itu harus berjalan sesuai dengan nilai-nilai yang dikandungnya. Sebab itu dirumuskan dalam UUD 1945 fasal 33 bahwa harus dibangun kehidupan yang mewujudkan kesejahteraan rakyat banyak, bukan kesejahteraan bagi segolongan kecil bangsa. Perwujudan fasal 33 itu merupakan tantangan bangsa yang tidak ringan.

Masalahnya adalah bahwa dunia sekarang sedang diliputi keadaan yang didominasi paham neoliberalisme. Yang dimaksudkan dengan neoliberalisme adalah satu teori tentang politik ekonomi yang mengemukakan bahwa kehidupan akan berjalan paling baik kalau peran utama dalam kehidupan dipegang Individu, sedangkan lembaga Negara sesedikit mungkin mengintervensinya. Pasar dianggap sebagai faktor pengatur yang obyektif dan sempurna, dan karena itu tak boleh diganggu.

Menurut David Harvey dalam bukunya A Brief History of Neoliberalism perbedaan neoliberalisme dengan “liberalisme lama” (embedded liberalism) adalah bahwa dalam liberalisme lama peran pasar dan kegiatan usaha dilingkungi berbagai hambatan sosial dan politik seperti perencanaan negara dan badan usaha milik negara. Neoliberalisme berpendapat bahwa segala hambatan itu harus ditiadakan untuk memperoleh perkembangan ekonomi yang paling maksimal.

Neoliberalisme berkembang pesat sejak Margaret Thatcher menjadi perdana menteri Inggeris pada tahun 1979 dan Ronald Reagan presiden AS pada tahun 1980. Sejak itu dan terutama sejak berakhirnya Perang Dingin pada tahun 1990 neoliberalisme meluas ke seluruh dunia, disponsori AS sebagai superpower militer, ekonomi dan politik. Politik luar negeri AS dilaksanakan untuk membuat semua bangsa mengikuti dan menjalankan neoliberalisme. Hal itu tampak paling jelas dalam politik AS di Irak sebagaimana dinyatakan oleh Paul Bremer sebagai pimpinan Coalition Provisional Authority pada 19 September 2003, antara lain privatisasi penuh dari semua dunia usaha, hak penuh bagi perusahaan asing untuk memiliki perusahaan Irak, hak repatriasi penuh dari keuntungan perusahaan asing , penguasaan asing atas bank-bank Irak, peniadaan semua rintangan perdagangan, dan lain.

Sudah jelas bahwa paham demikian bertentangan dengan kehendak UUD 45 fasal 33. Memperhatikan usaha AS untuk membawa neoliberalisme di Amerika Latin untuk mendominasinya, maka tidak mustahil ada kehendak dan sikap serupa terhadap Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Mungkin ada orang-orang kita yang berpikir bahwa lebih baik mengikuti kehendak AS saja karena ia terlalu kuat dan kuasa untuk ditentang. Akan tetapi mengikuti kehendak AS dan menerapkan neoliberalisme mempunyai konsekuensi yang tidak sederhana. Neoliberalisme adalah politik ekonomi yang berpihak kepada mereka yang sudah kaya, sehingga makin mempertajam kesenjangan antara kaya dan miskin. Menurut David Harvey pada tahun 1996 kekayaan 358 orang terkaya di dunia menyamai seluruh penghasilan 45 persen orang termiskin di dunia atau 2.300 juta orang. Pada tahun 1998 asset dari 3 orang billionaire terkaya melebihi GNP gabungan dari semua negara paling kurang berkembang (least developed nations ) dengan penduduknya 600 juta orang. Jadi kalau kita mengidzinkan dominasi AS dengan neoliberalismenya, kita harus siap kekayaan kita lebih banyak dimanfaatkan oleh bangsa lain yang sudah lebih cakap dari kita dalam mengelola sumberdaya, sedangkan di Indonesia sendiri kesenjangan antara golongan kaya dan miskin makin lebar dan dalam.

Memang para pemimpin AS yang menghendaki hegemoni akan berbuat segala hal untuk mencapai tujuannya, termasuk penggunaan kekuatan politik dan militernya, sebagaimana terlihat di Amerika Latin dan sekarang juga di Irak. Termasuk dalam usaha itu adalah mendidik kaum ekonom Amerika Latin di lembaga pendidikan di AS untuk membawa cara berpikirnya sesuai dengan kehendak AS. Sekembalinya di negaranya mereka didorong untuk mempraktekkan apa yang telah dipelajari di AS serta menyebarkan paham itu di lembaga pendidikan negaranya.

Hal serupa terjadi di Asia, termasuk Indonesia. Malahan John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hitman menggambarkan hal yang lebih keji. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana reaksi kita dan khususnya kaum ekonom Indonesia, terutama yang memperoleh pendidikan di AS. Di Amerika Latin banyak bangsa yang bereaksi menentang kehendak AS, sekalipun golongan yang pro-Amerika semula merebut posisi yang penting. Pada waktu ini sudah ada 5 negara Amerika Latin yang menunjukkan tentangannya terhadap AS dengan memilih kaum sosialis sebagai pimpinannya, termasuk Venezuela, Brazil, Argentina, Bolivia dan Chili.

Bagi Indonesia jalan terbaik adalah kalau kaum ekonom dengan didukung kaum politik, militer dan budayawan dapat membangun sistem ekonomi seperti dikehendaki UUD 45 fasal 33. Para pakar ekonomi harus menghasilkan konsep sistem ekonomi itu dan menjadikannya satu kenyataan. Keberhasilan usaha itu sangat tergantung kepada kemampuan mewujudkan kehendak menjadi kenyataan atau realitas. Tidak cukup hanya berbicara dan berwacana belaka seperti hingga kini berlangsung. Hanya dengan menunjukkan eksistensi sistem ekonomi yang dapat berfungsi efektif dalam mengusahakan kesejahteraan rakyat banyak kita dapat menolak masuknya neoliberalism.

Dalam usaha mewujudkan sistem ekonomi itu kiranya kita tidak boleh bersikap sempit dan kurang fleksibel. Kita tidak dapat bersikap fundamentalis dan menolak kenyataan-kenyataan seperti adanya peran pasar. Namun peran pasar disubordinasikan kepada tujuan umum, yaitu menciptakan kesejahteraan rakyat banyak. Sebagai perbandingan kita melihat bahwa dalam ekonomi Jepang yang sering dinilai berhaluan kapitalis, peran pemerintah melalui pemberian administrative guidance kepada dunia usaha amat penting. Toh perkembangan ekonomi Jepang tidak kalah dari negara yang menganut paham neoliberalisme seperti AS dan Inggeris, terutama dalam perwujudan kesejahteraan rakyat banyak. Juga China menyatakan bahwa paham yang dilaksanakan adalah social market economy yang di satu pihak memberikan peran penting kepada pasar tetapi peran pemerintah tidak kalah pentingnya.

Namun sekali lagi, yang penting bukan berwacana tetapi memberikan bukti keberhasilan. Jepang dan China diperhatikan pendapatnya karena mereka berhasil mewujudkan kemajuan dalam ekonominya dengan daya saing tinggi yang menimbulkan kesulitan bagi negara-negara dengan sistem neoliberalisme. Maka Indonesia juga hanya akan diperhatikan kalau kita berhasil mewujudkan kondisi masyarakat yang ekonominya mendatangkan kesejahteraan umum serta mendukung satu kekuatan nasional yang andal. Kita berharap semoga Tim Ekonomi pemerintahan SBY mampu melaksanakannya.

RSS feed | Trackback URI

Comments »

No comments yet.

Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post