Oleh Sayidiman Suryohadiprojo
Ada sifat bangsa Indonesia yang menghambat kemajuan dan perkembangan dirinya. Yang dimaksudkan dengan sifat bangsa adalah gejala yang terdapat secara umum pada satu bangsa atau merupakan sifat mainstream bangsa. Tidak mustahil ada warga bangsa yang sifatnya berbeda, tetapi karena jumlah mereka merupakan minoritas sekali, maka sifat mereka tidak berpengaruh kepada sifat bangsa secara keseluruhan.
Salah satu sifat bangsa Indonesia yang amat merugikan kemajuannya adalah kebiasaan umum melakukan perbuatan dan tindakan yang amat berbeda atau bahkan bertentangan dengan ucapan dan pernyataan. Ada dunia yang berlainan antara dunia perbuatan dengan dunia ucapan. Sikap demikian dianggapnya sebagai barang biasa.
Sifat itu amat merugikan kehidupan bangsa. Orang beranggapan bahwa dengan ucapan atau pernyataan persoalan terpecahkan. Atau orang percaya bahwa dengan menyatakan sesuatu dengan sendirinya akan terjadi hal yang diucapkan itu. Orang tidak sadar bahwa diperlukan perbuatan untuk menciptakan perubahan pada keadaan lama. Berapa banyak orang yang berteriak tentang jahatnya korupsi dan merasa gagah dengan teriakan itu. Ia pikir keadaan akan berubah karena teriakan itu. Dalam era Reformasi banyak orang bicara tentang pentingnya moralitas bangsa, tetapi mereka sendiri tidak pernah berbuat sesuai dengan moralitas yang tinggi.
Sebelum Reformasi
Akan tetapi, sifat demikian sudah berlangsung jauh sebelum reformasi. Di masa Presiden Soekarno pun sering terjadi sloganisme yang dalam kenyataan justru melemahkan bangsa kita. Pada tahun 1945 telah ditegaskan Pancasila sebagai Dasar Negara RI dan Weltanschauung atau pandangan hidup bangsa Indonesia. Akan tetapi, dalam kenyataan Pancasila tidak pernah diusahakan menjadi kenyataan dalam kehidupan bangsa. Malahan justru dilanggar ketika digunakan sistem politik dan ekonomi yang tidak sesuai dengan Pancasila. Juga dalam pemerintahan Presiden Soeharto dikatakan bahwa Orde Baru hendak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam ucapan dan bahkan dalam konsep tertulis semua serba bagus. Akan tetapi kenyataan berbeda sekali dari ucapan dan konsep.
Sifat ini tidak hanya menyangkut hal-hal yang muluk seperti Pancasila dan UUD 1945, tetapi juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Seperti sukarnya orang menjalankan tertib lalu lintas, padahal di mana-mana orang bicara tentang pentingnya disiplin sosial. Makin banyak orang menjalankan ritual agama yang seharusnya membuat orang lebih baik budi pekerti dan akhlaknya. Akan tetapi dalam kenyataan korupsi tidak berkurang, bahkan dalam era Reformasi lebih meluas. Di mana-mana orang yang kaya raya dielu-elukan, padahal sangat tidak jelas dari mana kekayaan orang itu.
Maka tidak mengherankan kalau kondisi bangsa tetap kacau dan kemajuan amat seret. Apalagi dalam Reformasi orang makin banyak bicara tanpa ada tindakan dan perbuatan yang sepadan.
Sifat bangsa yang negatif ini disebabkan antara lain karena kurang kuatnya daya kehendak (willpower) pada bangsa kita. Otak yang cerdas dapat menghasilkan konsep yang ulung. Akan tetapi karena kurang adanya daya kehendak yang kuat, maka tidak ada dorongan untuk menjadikan konsep itu satu kenyataan baru.
Ada yang mengatakan bahwa kurang kuatnya daya kehendak disebabkan oleh faktor geografi. Hidup di wilayah sepanjang khatulistiwa dengan iklimnya yang panas, menjadikan bangsa kita kurang energik. Berbeda dengan bangsa-bangsa yang tinggal di wilayah dengan iklim dingin. Terbiasa berjuang melawan alam yang dingin dan kejam membuat bangsa-bangsa seperti Korea, berdaya kehendak keras dan kuat.
Prestasi Cemerlang
Akan tetapi teori geografi itu tidak terbukti penuh secara historis. Terbukti bahwa di masa lampau bangsa Indonesia dapat menghasilkan prestasi cemerlang seperti Candi Borobudur. Baik pendirian Borobudur dengan menumpuk-numpuk batu tanpa semen sebagai perekat maupun membuat tatahan lukisan di atas batu yang panjang sekali, jelas memerlukan daya kehendak dan energi kuat. Prestasi itu menjadikan Borobudur salah satu keajaiban dunia. Tidak mungkin tercipta Borobudur tanpa kekuatan daya kehendak yang tinggi.
Sebab itu perlu menjadi pertanyaan bagi pakar psikologi sosial, mengapa bangsa Indonesia sekarang kurang daya kehendak dan kurang ada dorongan untuk berbuat sesuai dengan pikiran atau ucapannya. Kalau tidak ada perubahan yang cukup memadai dalam sifat bangsa yang negatif ini, sukar diharapkan bangsa Indonesia mencapai kemajuan dan kesejahteraan yang diidam-idamkan. Potensi kekayaan alam yang melimpah dan sebenarnya sangat memberikan kemungkinan untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat banyak, tidak akan tergarap secara memuaskan. Kecuali kalau yang melaksanakan penggarapan itu minoritas yang tidak terkena sifat negatif itu. Akan tetapi hal demikian akan kembali mengundang pertentangan karena mayoritas merasa didominasi minoritas, terlebih lagi kalau dalam minoritas itu terdapat banyak keturunan asing. Akan tetapi lebih celaka lagi kalau yang memanfaatkan kekayaan alam kita justru bangsa lain, seperti sekarang sudah terjadi dengan potensi kelautan kita.
Sebab itu, pemilihan pimpinan nasional pada tahun 2004 sangat penting. Dapatkah terpilih Presiden dan Wakil Presiden yang bersedia dan mampu memicu perubahan besar dalam psikologi sosial kita? Kita patut berdoa kepada Tuhan semoga hal itu akan terjadi, karena itulah yang dapat diharapkan memicu perkembangan Indonesia menjadi bangsa yang maju dan sejahtera, sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dulu maju. Kalau hal itu tidak terjadi, maka dapat diperkirakan bahwa bangsa Indonesia akan terus hidup dalam kemiskinan dan kebodohan bagi mayoritas rakyatnya.
Source : http://www.suarapembaruan.com/News/2003/11/16
No comments yet.