Indonesia Dalam Dinamika International (1/3)

Posted by Admin on Tuesday, 4 December 2007 | Makalah, Opini

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo

Kondisi Dunia Amat Dinamis

Kondisi dunia dalam abad ke 21 amat dinamis dan makin sukar diprediksi perkembangannya. Hal itu disebabkan oleh perilaku manusia yang makin dipengaruhi oleh materialisme dan perkembangan teknologi. Orang dimana-mana ingin membuat kehidupan yang paling baik bagi dirinya, keluarganya dan kelompoknya, khususnya dalam kesejahteraan lahirnya. Untuk itu ia sanggup melakukan banyak hal; makin kuat orang itu dalam karakternya, mentalnya, kondisi intelektualnya, fisiknya, makin banyak hal yang ia dapat perbuat. Dalam hal ini ia makin dibantu oleh keadaan lingkungannya; makin berkembang lingkungannya dan makin mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, makin banyak bantuan yang ia dapat peroleh untuk melakukan kehendaknya. Ini dapat bersifat hal yang oleh moralitas dinilai baik, tetapi juga dapat merupakan perbuatan yang bertentangan dengan moralitas yang berlaku.

Dalam perkembangan umat manusia tampak dan terasa sekali bahwa hubungan antara bagian dunia satu sama lain makin dekat. Sebab itu kejadian di satu bagian dunia akan berdampak langsung terhadap bagian dunia lain. Kelompok besar yang menghimpun orang di dunia modern adalah negara-bangsa (nation state ). Meskipun pengertian negara-bangsa mengalami perubahan sebagai akibat dari hubungan yang makin dekat itu, namun ia tetap menjadi aktor utama dalam hubungan internasional [1]. Memang negara-bangsa tidak dapat lepas dari makin besarnya pengaruh yang timbul dari segala perkembangan yang terjadi di dunia. Namun adalah tetap negara-bangsa yang memegang peran utama dalam dinamika intrnasional.

Negara-bangsa yang masing-masing mempunyai kepentingan dan kehendaknya sendiri-sendiri melakukan aneka macam perbuatan, baik politik, ekonomi, budaya, sosial, maupun militer, yang mengakibatkan keadaan internasional yang amat dinamis. Akibatnya adalah keadaan yang sukar diprediksi untuk jangka lama, apalagi kalau ada aktor internasional yang amat kontroversial perilakunya.

Indonesia sebagai negara-bangsa harus dapat menempatkan diri secara cerdas, arif dan bijaksana dalam kondisi internasional semacam itu. Apabila kurang mampu, maka pasti akan mengalami dan menghadapi berbagai persoalan sebagai akibat keadaan dunia itu.

Di antara aktor-aktor internasional yang besar perannya dalam dinamika internasional itu Amerika Serikat (AS) adalah aktor paling utama. Sebagai satu-satunya negara adikuasa dengan kekuatan ekonomi, militer dan ilmu pengetahuan serta teknologi yang sukar diimbangi oleh aktor lainnya, AS juga menunjukkan kehendak dan kepentingan kuat yang diperjuangkan secara gigih. Namun karena perbuatan AS itu berakibat kepada aktor lain yang dirasakan merugikan maka timbul reaksi dari yang lain ini. Reaksi ini kemudian juga menambah dinamika internasional.

Selain itu China sebagai satu bangsa tua dengan peradaban tinggi telah bangkit kembali dari tidurnya selama satu abad lebih. Setelah bangun dari tidurnya China melihat bahwa ia harus mengejar banyak ketinggalannya dari dunia Barat. Padahal di masa lalu ketika China sudah menjadi bangsa yang tinggi peradabannya dunia Barat masih pada tingkat masyarakat pemburu hewan. Selain itu China berpenduduk 1300 juta orang yang semuanya juga ingin hidup maju dan sejahtera. Maka kebangkitan China itu berdampak luas sekali kepada dunia internasional.

Sekalipun masih banyak aktor lain yang masing-masing memberikan pengaruhnya terhadap keadaan internasional, namun dapat dikatakan bahwa dua aktor ini yang paling besar pengaruhnya dan menimbulkan juga dampak pada setiap aktor lainnya. Demikian pula Indonesia sangat terpengaruh oleh segala perkembangan yang mereka timbulkan. Ditambah lagi oleh reaksi atau perbuatan mengimbangi dari yang lain terhadap perbuatan AS dan China.

AS sebagai sumber utama dinamika internasional.

Sumber utama dinamika internasional itu adalah AS. Setelah Perang Dunia 2 AS sangat berbeda sikapnya dari sebelum perang. Sebelum Perang Dunia 2 AS cenderung mengisolasi diri dari perkembangan dunia. Ketika Eropa sudah terlibat dalam perang karena Jerman menyerang negara-negara Eropa Barat, masyarakat AS seakan-akan acuh terhadap perkembangan itu. Presiden AS waktu itu, Franklin Delano Roosevelt, menyadari bahaya dari sikap isolasionis ini bagi AS. Sebab itu ia hendak membawa AS turut dalam perang dengan berpihak kepada Inggeris yang tinggal sendirian menghadapi Jerman yang telah berhasil menguasai seluruh daratan Eropa Barat. Roosevelt sadar bahwa kekalahan Inggeris akan menempatkan Jerman sebagai kekuatan besar di Eropa yang sukar ditandingi AS waktu itu. Akan tetapi rakyat AS tidak mau perang. Roosevelt baru berhasil mengajak bangsanya turut perang ketika Jepang menyerang Pearl Harbor pada tanggal 8 Desember 1941. Bangsa AS dibangunkan oleh serangan itu dan dengan penuh semangat masuk medan perang berpihak Inggeris dan sekutunya melawan Jepang, Jerman dan Italia.

Setelah turut perang bangsa AS mencurahkan segenap potensinya yang besar untuk mencapai kemenangan perang. Maka terjadi perkembangan kekuatan bangsa AS dan khususnya industrinya yang tidak pernah dialami sebelumnya. Industri AS yang besar dan kuat itulah yang membawa kemenangan tidak hanya bagi AS sendiri, tetapi juga bagi seluruh sekutu Barat dan bahkan Uni Soviet yang sejak 1941 juga diserang Jerman dan berperang di pihak Inggeris-Amerika.

Namun industri AS yang besar tidak hanya menjadi sebab kemenangan perang Sekutu. Ia juga menjadi sebab peningkatan kesejahteraan rakyat AS yang kuat. Rakyat AS menjadi lebih kaya dari sebelum perang sebagai dampak membesarnya industri AS. Bangsa AS bahkan menjadi terkaya di dunia.

Setelah Perang Dunia 2 selesai dengan sendirinya masyarakat AS ingin melanjutkan momentum kesejahteraan yang kuat itu. Harus ditemukan kegiatan lain yang dapat menyerap hasil industri AS itu. Maka dibuatlah Rencana Marshall unuk membantu pembangunan kembali negara-negara Eropa Barat yang hancur dalam perang. Bahkan Jerman Barat yang bekas musuh AS tetapi setelah perang memihak AS, dan menjadi Republik Federasi Jerman, memperoleh bantuan. Demikian pula Jepang, bekas musuh AS di kawasan Pasifik, mendapat bagian dari bantuan itu. Namun produksi industri barang konsumsi ternyata tidak cukup untuk memelihara momentum kesejahteraan. Hanya produksi industri pertahanan berupa peralatan dan senjata cukup berharga untuk memelihara momentum kesejahteraan AS itu. Maka terjadinya konfrontasi dengan Uni Soviet yang tadinya sekutu AS dalam Perang Dunia 2 merupakan peluang emas bagi tetap terpeliharanya industri pertahanan. Sebab itu ada yang berspekulasi bahwa konfrontasi itu sengaja diciptakan demi memelihara momentum kesejahteraan AS.

Sekalipun konfrontasi dengan Uni Soviet tidak menjadi perang terbuka, namun Perang Dingin pun memerlukan kekuatan penangkal berupa kekuatan pertahanan yang besar dan canggih. Inilah yang memungkinkan momentum kesejahteraan AS terpelihara.

Dwight Eisenhower, panglima perang AS dalam Perang Dunia 2 yang kemudian menjadi presiden AS mengatakan bahwa telah terbentuk satu military industrial complex .[2] Industri pertahanan yang besar tidak hanya bermanfaat bagi pemilik atau pemodal industri itu, melainkan seluruh masyarakat AS turut menikmati dampaknya. Sebagai contoh, antara tahun1940 dan 1996 AS telah membelanjakan untuk perkembangan, percobaan dan pembuatan senjata nuklir saja sekitar AS$ 4.500 milyar.[3]

Namun ketika Perang Dingin selesai timbul masalah bagi AS. Dengan lenyapnya Uni Soviet dan blok komunis sebagai ancaman, sukar ada alasan untuk mengajukan anggaran pertahanan yang besar kepada Kongres. Maka untuk justifikasi anggaran pertahanan besar AS harus menciptakan kondisi internasional yang sesuai.

Mulai tahun 1970-an di AS berkembang pandangan politik yang disebut neo-konservatif. Kaum neo-konservatif berpendapat bahwa AS harus merebut hegemoni dunia. Hegemoni AS atas dunia adalah kewajiban moral bagi bangsa AS, kata mereka. Hegemoni dunia juga perlu untuk menjamin suplai minyak bagi AS yang sangat diperlukan segala aspek kehidupan masyarakat AS, khususnya sebagai sumber energi untuk mendukung industri AS yang besar. Sekalipun di bumi AS sendiri terdapat banyak potensi minyak, tetapi para pemimpin AS menjadikan itu cadangan untuk masa depan. Sedangkan sekarang suplai minyak harus diusahakan semaksimal mungkin dari luar negeri. Karena bangsa-bangsa lain juga memerlukan suplai minyak tidak sedikit, terutama negara-negara industri dan khususnya China yang sedang bangkit sebagai negara industri baru, maka terjadi persaingan kuat untuk menjamin suplai minyak. Sebab itulah AS harus merebut hegemoni dunia.

Kaum neo-konservatif berpeluang memperkuat posisinya dalam pemerintah AS ketika Ronald Reagan menjadi presiden AS. Posisi menjadi makin kuat dengan naiknya George W.Bush sebagai presiden. Ini sangat memperkuat usaha AS merebut hegemoni dunia. Untuk memberikan alasan politik bagi sikap agressif itu politik luar negeri AS mengusung paham perlunya demokrasi dan hak azasi manusia berlaku dalam kehidupan seluruh umat manusia. Sikap agressif ini dilakukan dengan cara damai kalau itu dapat mencapai tujuannya. Akan tetapi juga menggunakan cara kekerasan kalau cara damai tidak membawa hasil memuaskan.

Namun sikap agressif itu menimbulkan reaksi pada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Antara lain reaksi kuat terjadi pada Usama bin Laden, seorang Arab Saudi kaya dan pejuang yang dalam Perang Dingin bersama CIA melawan Uni Soviet di Afghanistan. Usama menjadi marah terhadap AS yang ia anggap menghina bangsa dan tanah leluhurnya Arab Saudi ketika AS menempatkan pasukan militernya di sana dalam melakukan Perang Teluk pada tahun 1990. Untuk melawan AS ia mengumpulkan semua pejuang Muslim yang telah berjuang bersamanya di Afghanistan dan menamakan organisasinya Al Qaeda. Dengan cara perlawanan teror Al Qaeda berusaha merugikan kepentingan AS di mana-mana. Usahanya yang paling spektakuler adalah serangan 11 September 2001 terhadap World Trade Center di New York dan Pentagon di Washington DC. Baru sekali ini dalam sejarahnya yang panjang AS mendapat serangan di buminya sendiri[4].

Namun peristiwa itu justru menguntungkan kaum neo-kon untuk mengajak bangsa AS bersikap agressif. Presiden George W. Bush dan kawan-kawannya neo-kon berhasil membangkitkan rasa patriotisme yang kuat pada bangsanya dengan alasan membalas penghinaan yang telah terjadi terhadap AS. Bush menyatakan Perang terhadap Teror dan membawa AS menyerang Afghanistan yang dituduh menyembunyikan Usama bin Laden dan melindungi Al Qaeda. Itu tidak cukup bagi mereka, setelah itu AS juga menyerang Irak secara unilateral tanpa persetujuan PBB. Alasannya Irak membuat senjata destruksi massal nuklir yang tidak sah dan mempunyai peran membantu Al Qaeda dalam serangan 11 September 2001. Namun kemudian alasan itu sama sekali tidak terbukti. Memang alasan itu dicari-cari, sebab motif utama serangan adalah penguasaan minyak Irak yang besar volumenya. Selain itu untuk memperkuat posisi AS di Timur Tengah. Sekalipun banyak negara tidak setuju dengan tindakan AS dan hanya Inggeris dan negara-negara yang amat setia pada AS yang turut bergabung, namun AS tetap yakin akan kebenaran usahanya. Sekarang setelah menduduki Irak alasannya adalah membuat Irak negara demokrasi yang akan memelopori demokratisasi Timur Tengah. Pasti serangan terhadap Irak juga dilandasi kepentingan untuk memperkuat posisi Israel di Timur Tengah, karena kaum neokon sangat dekat dengan Israel. Dalam pikiran neokon serangan AS harus meluas ke Iran dan Suriah untuk menguasai Timur Tengah yang kaya minyak. Penguasaan Timur Tengah memberikan landasan pula bagi AS untuk memperkuat posisinya di wilayah Asia Tengah yang juga kaya minyak. Meskipun ternyata serangan AS ke Irak tidak menghasilkan kondisi sebagaimana diharapkan dan AS malahan menjadi terjirat oleh kekacauan dan kekerasan tiada henti di Irak serta jatuhnya korban prajurit AS sampai 3000 orang lebih, tetapi AS sama sekali tidak kapok dan tetap bersikap agressif terhadap Iran dan bagian lain Timur Tengah. Tidak ada usaha serieus untuk menyelesaikan Masalah Palestina secara adil karena AS memang berpihak kepada Israel. Dengan sendirinya sikap AS demikian mengundang reaksi banyak pihak dan tidak hanya bangsa-bangsa Timur Tengah. Sekalipun pada tahun 2007 AS mengadakan konferensi Annapolis yang katanya akan memecahkan Masalah Palestina, namun banyak pihak menyangsikan adanya hasil yang memuaskan semua pihak.

Ambisi hegemoni AS tidak terbatas pada kawasan Timur Tengah. Banyak kalangan di AS menilai bahwa pencapaian hegemoni itu menghadapi tantangan negara lain. Yang diperkirakan akan merupakan saingan dan hambatan utama adalah China yang sejak tahun 1980-an makin berkembang sebagai kekuatan ekonomi yang andal. China pada pertengahan abad ke 21 diperkirakan bisa menyamai atau bahkan melampaui AS sebagai kekuatan ekonomi dan dengan itu mungkin juga politik dan militer. Sebab itu AS mulai ancang-ancang terhadap kemungkinan itu.

Namun adanya China yang makin kuat dan sebagai kemungkinan ancaman juga menguntungkan kaum military industrial complex AS. Dengan begitu ada alasan untuk menyiapkan kekuatan pertahanan yang besar. Jauh lebih besar dari pada hanya menghadapi Al Qaeda dan terorisme internasional. Atas dasar itu Pentagon dapat membuat anggaran pertahanan yang besar untuk diajukan dan disetujui Kongres. Industri pertahanan yang luas tetap terpelihara dan bahkan dapat berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi.

Persiapan menghadapi kemungkinan China sebagai ancaman atau hambatan mengharuskan AS menjalankan politik luar negeri yang terus aktif untuk memperkuat posisinya. Hal itu berpengaruh kepada perkembangan Asia Tenggara dan Asia Timur pada umumnya.

Di Asia Tenggara ia harus usahakan agar pengaruh China tidak makin luas mengingat banyaknya penduduk keturunan China yang tinggal di kawasan itu. Ditambah lagi dengan makin kuatnya usaha ekonomi China, baik perdagangan maupun investasi.

Di Asia Timur AS memanfaatkan perkembangan di Korea Utara yang sedang membangun kemampuan nuklirnya. Keberhasilan Korea Utara membuat senjata nuklir menimbulkan reaksi di Jepang yang merasa terancam oleh Korea Utara yang juga sudah menunjukkan kemampuan peluru kendali yang mampu mencapai kepulauan Jepang. Dengan begitu dapat dihindarkan bahwa Jepang menjauh dari AS. Hal itu terjadi ketika ada persaingan ekonomi yang keras antara dua negara itu. Sedemikian kerasnya sampai ada yang mengkhawatirkan terjadinya perang ekonomi antara AS dan Jepang. Ancaman yang datang dari Korea Utara oleh Jepang membawanya untuk memperkokoh hubungan militernya dengan AS. Hal ini ditambah lagi karena China dinilai makin memperkuat militernya.

Perubahan politik di Jepang di bawah pimpinan perdana menteri Shenzo Abe bermaksud membawa Jepang menjadi “negara normal” dengan meninggalkan ketentuan UUD 1949 yang pasifis. Ini telah dimulai dengan meresmikan adanya kementerian pertahanan sebagai pengganti direktorat jenderal urusan pertahanan di dalam kantor perdana menteri. Meskipun hal ini dalam kenyataan hanya perubahan nama saja, namun mengakibatkan perubahan politik yang cukup drastis. Apalagi kalau PM Abe mampu mengubah sebutan Angkatan Bela Diri (Self Defense Forces) menjadi Angkatan Perang. Perubahan demikian akan mempunyai akibat politik karena China pasti akan menuduh Jepang mengadakan militerisasi. Kalau perkembangan demikian dapat menjauhkan Jepang dari China, maka akan besar manfaatnya bagi kepentingan AS. Akan tetapi Shinzo Abe tidak lama menjadi PM Jepang. Kaum oposisi berhasil memperkuat diri dan merebut keunggulan dalam Majelis Tinggi. Kemudian mereka berhasil menolak usaha Abe memperpanjang peran Jepang di Afghanistan yang terutama merupakan bantuan logistik minyak kepada kekuatan militer AS dan sekutunya yang beroperasi di negara itu. Penolakan oposisi memaksa Shinzo Abe mengundurkan diri dan digantikan Yasuo Fukuda (putera almarhum Takeo Fukuda, tokoh LDP yang menjadi PM Jepang di tahun 1970-an). PM Fukuda bermaksud untuk menggolkan undang-undang yang memungkinkan Jepang melanjutkan perannya di Afghanistan. Namun perkembangan ini merenggangkan Jepang dari AS, hal mana tampak dalam kunjungan PM Fukuda ke AS pada bulan November tahun ini. Apakah perkembangan ini tanda masyarakat Jepang ingin lepas dari kungkungan AS atau sekedar satu move oposisi untuk kepentingan politik sesaat, masih harus dibuktikan dalam perkembangan kemudian. Namun nampaknya Jepang masih merasa perlu adanya alliansi pertahanan yang kuat dengan AS untuk menghadapi China.

Keberhasilan AS menjadikan India sebagai sekutu strategis merupakan sukses diplomasi yang amat penting. India di masa lalu tidak pernah dekat dengan AS, bahkan sebaliknya dalam masa Perang Dingin India dekat sekali dengan Uni Soviet, meskipun India bukan negara komunis. Maka kalau sekarang AS dapat menjadikan India sekutu dalam Aliansi Strategis, itu benar-benar satu sukses diplomasi yang menonjol. Apalagi India menjadi negara yang makin maju dalam perkembangan ekonominya dan penduduknya melampaui 1000 juta orang, sehingga menyamai perkembangan China. Lagi pula posisi geografis India di selatan China serta hubungan yang kurang mesra antara dua bangsa tetangga itu di masa lalu, itu semua merupakan asset bagi usaha hegemoni AS. Dengan begitu AS mengepung China dalam satu containment policy yang menguntungkan posisinya.

Sebagaimana telah diuraikan, hubungan AS dengan Iran makin tegang dan diberitakan dapat berkembang menjadi serangan AS terhadap Iran. Satu serangan invasi AS terhadap Iran dapat berpengaruh luas sekali kepada dunia. Memang AS berkepentingan sekali menundukkan Iran dan mendudukkan pimpinan di negara itu yang tunduk atau bersahabat dengan AS. Hal itu penting bagi keamanan Israel tetapi juga AS. Akan tetapi serangan AS terhadap Iran, baik dilakukan sendiri atau bersama Israel, pasti akan dibalas Iran, antara lain dengan menggunakan minyak sebagai senjata penting. Suplai minyak dari Iran yang penting bagi China dan Eropa akan terganggu. Apalagi kalau Iran mengganggu suplai minyak negara-negara Teluk dan Saudi yang dibawa melalui Selat Hormuz, maka suplai minyak ke Jepang dan AS sendiri akan terganggu. Harga minyak dunia tidak mustahil akan naik sampai AS $ 100 per barrel atau bahkan lebih tinggi lagi sebagaimana dinyatakan Hugo Chavez , presiden Venezuela, dalam rapat OPEC pada bulan November 2007 di Saudi Arabia. Ia mengatakan bahwa harga minyak akan mencapai AS $ 200 per barrel kalau AS menyerang Iran atau Venezuela. Kalau hal itu terjadi akan merupakan satu kondisi yang fatal bagi banyak negara. Padahal sama sekali tidak pasti bahwa serangan AS, sekalipun bersama Israel, akan mencapai tujuannya di Iran. Mungkin perang konvensionalnya akan menang, seperti di Irak pada tahun 2003, tetapi apa yang terjadi selanjutnya jauh dari pasti. Juga sukar diprediksi bagaimana sikap Russia, Eropa dan China terhadap serangan demikian. Inggeris, sekutu setia AS, telah menyatakan tidak akan ikut AS menyerang Iran.

Pada tahun 2008 di AS akan ada pemilihan Presiden dan besar kemungkinan akan dimenangkan Partai Demokrat. Menjadi pertanyaan apakah Presiden baru akan melanjutkan politik presiden George W. Bush dan kaum neo-konservatif yang telah menghasilkan keadaan AS dewasa ini. Waktu ini kaum Demokrat yang duduk di Congress menolak setiap usaha Bush untuk memperpanjang kehadiran tentara AS di Irak. Menjadi pertanyaan apakah mereka akan terus bersikap demkian kalau memegang kekuasaan, demikian pula sikap mereka terhadap masalah Iran. Sebab kepentingan penguasaan suplai minyak untuk AS tidak hanya dianut kaum Republik, tetapi juga menjadi sikap kaum Demokrat. Padahal masalah Iran hakekatnya adalah masalah penguasaan minyak, sebagaimana juga invasi AS ke Irak.

China juga menjadi sumber dinamika internasional

Perkembangan China sebagai kekuatan ekonomi merupakan sumber dinamika internasional yang kuat sekali. Ekspornya yang besar berupa barang-barang yang relatif rendah harganya mempengaruhi seluruh dunia, termasuk masyarakat AS. Barang-barang yang diproduksi dan diekspor China makin lama makin luas jenis dan variasinya. Juga tingkat teknologinya makin tinggi, sehingga makin memojokkan produsen saingannya di mana-mana. Sebentar lagi mobil buatan China akan masuk pasar dunia. Kalau China dapat mengulangi apa yang dilakukan Jepang pada tahun 1970-an, maka sukar kita perkirakan apa yang akan terjadi dalam persaingan otomotif dunia. Hal ini tentu akan menguntungkan kaum konsumen, khususnya di negara sedang brkembang. Akan tetapi bagaimana dampaknya pada kaum pemodal sukar diprediksi. Apalagi kalau China makin memasuki teknologi tinggi seperti pesawat terbang komersial dan lainnya.

Namun perkembangan ekonomi China , khususnya industri, mengakibatkan keperluan energi yang jauh lebih banyak. China makin berkepentingan dengan suplai minyak dari seluruh dunia mengingat besarnya volume yang diperlukan. Hal ini akan terus terjadi secara meningkat hingga pertengahan abad ke 21. Untuk itu sudah tampak usaha China mendekati pensuplai minyak di seluruh dunia. Makin besarnya cadangan valuta asing yang diperoleh dari perdagangan internasional yang makin besar memungkinkan China datang ke mana-mana sebagai investor atau pendukung. Cadangan valuta asing sebesar AS $ 825,6 milyar pada tahun 2005 hanya dikalahkan Jepang. Sebab itu China bergerak aktif ke segala penjuru dunia untuk menjamin suplai minyaknya. Termasuk ke Amerika Latin yang para pemimpinnya makin memusuhi AS. Dengan begitu China memasuki kepentingan AS yang penting sekali yang sudah sejak abad ke 19 dicanangkan, yaitu dominasi AS atas Western Hemisphere atau Benua Amerika Utara dan Selatan. Ketegangan AS dan China makin kuat. Juga hubungan China yang makin erat dengan banyak negara Afrika pensuplai minyak, seperti Nigeria dan bahkan Sudan, amat merisaukan AS. Dilihat dari sudut itu sukar diprediksi apa yang dilakukan China kalau AS menyerang Iran, karena China amat berkepentingan dengan suplai minyak yang berasal dari Iran.

Dengan kekayaan yang makin meningkat dan bertambahnya kemajuan orang China dalam teknologi, maka China juga makin memperkuat kemampuan militernya. Yang paling spektakuler adalah kemampuan yang baru didemonstrasikan ketika China dapat meruntuhkan satelit dengan hasil baik pada bulan Januari 2007. Hal ini secara langsung terasa dampaknya bagi AS yang banyak sekali aspek kehidupannya tergantung dari satelit yang ditempatkan di orbit Bumi. Tetapi terutama hal itu menunjukkan tantangan bagi kekuatan pertahanan AS. Pada bulan Maret 2007 pimpinan China menyatakan tekadnya untuk meningkatkan kemampuan militernya. Kekuatan militer China akan dibawa memasuki kemampuan “perang informative”, kata perdana menteri Wen Jiao Bao. Dengan sendirinya hal demikian juga memperkuat tekanan terhadap Taiwan. Ini semua makin meningkatkan ketegangan antara China dan AS yang masih tetap mengusahakan hegemoninya atas dunia.

Menjadi pertanyaan bagaimana perkembangan hubungan China dengan Jepang setelah Jepang makin menjadi “negara normal”. Ditambah lagi dengan segala hal yang yang mungkin terjadi di jazirah Korea, yaitu apakah akan ada unifikasi Korea atau sebaliknya peningkatan permusuhan antara kedua Korea. Kalau terjadi unifikasi Korea, kemungkinan besar negara baru itu akan jauh dari Jepang dan juga makin jauh dari AS. Logikanya, ia akan lebih dekat ke China. Tetapi kalau terjadi peningkatan permusuhan antara Korea Selatan dengan Korea Utara, maka AS dapat memperkuat posisinya di Korea Selatan yang merugikan posisi China. Apakah karena itu China akan terpaksa memperkuat Korea Utara, seperti pada tahun 1951, menjadi pertanyaan. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kedua Korea makin dekat setelah Korea Utara bersedia meninggalkan proyek senjata nuklirnya. Tidak mustahil bahwa perkembangan ini mengarah kepada penyatuan kembali Korea mengingat kuatnya rasa patriotisme orang Korea, baik di Utara maupun Selatan. Pasti mereka menginginkan adanya negara Korea yang kuat dan bersatu dan makin mampu menghadapi baik China maupun Jepang atau AS berdasarkan kepentingan Korea semata.

Eropa dan Russia sebagai sumber dinamika internasional

Makin lama Eropa makin memainkan perannya sendiri, lepas dari AS. Mungkin sekali Inggeris masih berusaha agar Eropa masih kuat ikatannya dengan AS, hal mana menjadi kepentingannya untuk dapat mengurangi peran dominan dari duet Jerman-Perancis. Akan tetapi politik hegemoni AS yang dirintis kaum neokon dan dilaksanakan presiden George W.Bush makin menjauhkan Eropa dari AS. Sedangkan di Inggeris sendiri makin banyak orang yang mengecam sikap perdana menteri Tony Blair yang dinilai terlalu dekat atau bahkan mengekor kepada presiden Bush. Meskipun begitu, sekalipun George Brown sebagai pengganti Tony Blair tidak sedekat pendahulunya dalam sikapnya terhadap AS, ia tidak akan menjauhkan Inggeris dari AS. Demikian pula di Eropa terjadi perkembangan yang berbeda arah dari sebelumnya. Dua pimpinan pemerintahan baru, yaitu Angela Merkel sebagai PM Jerman maupun Nicolas Sarkozy sebagai Presiden Perancis, nampaknya mengubah sikap pendahulu mereka terhadap AS. Dua pimpinan baru ini menunjukkan langkah-langkah nyata membawa negaranya lebih dekat kepada AS. Bahkan pernyataan Sarkozy terhadap Iran dinilai banyak pihak sebagai ancaman, hal mana tentu amat menyenangkan bagi AS dan Israel.

Namun demikian, karena Eropa juga sangat berkepentingan dengan suplai minyak Timur Tengah, maka mereka akan mengusahakan agar keadaan kawasan itu makin damai. Itu sebabnya Inggeris pun tidak mendukung AS kalau ia menyerang Iran. Eropa juga hendak mengusahakan penyelesaian Masalah Palestina yang disadarinya menjadi kunci perdamaian Timur Tengah. Hal ini makin penting bagi Eropa setelah terbukti adanya perilaku Russia yang menggunakan suplai gas dan minyaknya sebagai leverage politik.

Eropa belum banyak artinya sebagai kekuatan pertahanan. Akan tetapi sebagai kekuatan ekonomi Eropa dapat berpengaruh besar kepada perkembangan dunia. AS akan sangat terpukul, umpamanya, kalau dunia beralih dari penggunaan dollar AS ke mata uang Euro.

Russia di timur Eropa dilihat dari sudut geografi maupun kultural adalah bagian Eropa. Akan tetapi dalam kenyataan politik dan ekonomi, Russia masih merupakan kekuatan tersendiri. Potensi Russia yang besar dalam berbagai komoditi, khususnya gas dan minyak bumi, memungkinkannya menjalankan perannya sendiri. Kekuatan militer sebagai warisan Uni Soviet mungkin tidak cukup untuk membuatnya adidaya militer, tetapi tetap ada potensi untuk berkembang ke arah itu kalau kondisinya, khususnya ekonomi, memungkinkan.

Meskipun Russia bukan anggota Uni Eropa, namun hubungannya dengan Jerman cukup dekat. Demikian pula nampak pendekatan antara Perancis dengan Russia. Dapat dilihat bahwa hubungan Russia dengan AS menjadi kurang akrab. Nasionalisme Russia menguat dengan perkembangan ekonominya dan posisinya yang makin penting dalam suplai minyak. Sebab itu Russia sangat gusar karena AS membuat posisi atau bahkan pangkalan militer di negara Asia Tengah yang dulu bagian Uni Soviet dan merupakan sumber minyak yang cukup penting. Juga usaha AS agar makin banyak negara Eropa Timur masuk NATO, padahal dulu mereka sekutu Uni Soviet dalam Pakta Warsawa, amat merisaukan Russia. Ucapan presiden Putin yang amat tajam terhadap AS pada bulan Februari 2007 ini membuat orang berpikir apakah akan ada lagi perang dingin, tetapi sekarang antara Russia dan AS.

Akan tetapi yang paling menentukan adalah hubungan Russia dengan China, karena berpengaruh langsung terhadap ambisi AS. Kalau dengan kekayaan uangnya China menjadi pembeli besar dari berbagai komoditi Russia, seperti minyak dan gas serta teknologi militer, maka akan bertambah dekat hubungan Russia-China. Maka timbul persoalan geo-politik klassik, yaitu Daerah Jantung Eropa-Asia (Eurasian Heartland) berhadapan dengan dunia maritim yang diwakili AS. Kalau betul China dapat mendekatkan Afrika dengan kepentingannya, maka Pulau Dunia (World Island) bersatu. Keadaan yang tidak mudah bagi AS.


[1] Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, (New York : Simon & Schuster, 1996) hal.21.

[2] Chalmers Johnson, Republic or Empire, Harper’s Magazin 2007

[3] Ibid.

[4] Serangan Jepang terhadap Pearl Harbor pada 8 Desember 1941 memang serangan terhadap wilayah AS, tetapi kepada bagian kepulauan Hawaii dan tidak kepada satu bagian mainland AS.

RSS feed | Trackback URI

Comments »

No comments yet.

Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post