Wawancara dengan Wartawan Majalah Forum Sri Raharti dan Tony Hasyim Sayidiman Suryohadiprojo selama ini dikenal sebagai sosok militer yang tegas dan tegar, tapi sekaligus memiliki pemikiran yang luas dan mendalam. Salah satu lulusan terbaik angkatan pertama Akademi Militer ini punya banyak catatan prestasi menonjol. Dialah yang antara lain, sebagai pasukan Siliwangi, ikut menumpas pemberontakan Darul Islam, PRRI/Permesta. Dia pulalah yang ikut membesarkan Lemhannas sampai menjadi lembaga yang berpengaruh. Pemikirannya mengenai ABRI pun tidak pasaran. Banyak kalangan menilainya sebagai kritisi ABRI beraliran ekstrem. Terakhir, Sayidiman menerbitkan buku terbarunya berjudul Kepemimpinan ABRI dalam Sejarah dan Perjuangannya. Dalam buku tersebut ia bercerita dengan lugas mengenai sepak terjang para pemimpin ABRI pada masa perang kemerdekaan hingga masa awal Orde Baru. Ia juga memberikan penilaian satu per satu kepada sosok-sosok pemimpin ABRI. Bagaimana gagasannya mengenai kepemimpinan ABRI masa depan? Apa pendapatnya tentang read more .....
Kompas Online Senin, 11 November 1996 * Sayidiman Luncurkan Buku Jakarta, Kompas Jajaran ABRI harus mewaspadai terjadinya metamorfosa fisik maupun organisasi tentara nasional Indonesia (ABRI) agar semangat kerakyatan bisa terpelihara. Tentara harus kembali ke rakyat dan hidup berbaur dengan rakyat agar mereka bisa mendengarkan segala aspirasi rakyat, termasuk kesenangan dan kegetiran hidup rakyat banyak. Selain itu untuk menghadapi tantangan zaman saatnya ABRI mengkaji ulang doktrin-doktrin serta meredefinisi jati dirinya. Persoalan tersebut mengemuka dalam bedah buku Kepemimpinan ABRI dalam Sejarah dan Perjuangannya karya Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, Sabtu (9/11). Bedah buku saat peluncuran buku terbitan PT Intermasa tersebut menghadirkan pembahas Penasihat Menristek bidang Hankam, Mayjen (Purn) Zaeni Azhari Maulani, Wakil Gubernur Lemhannas Prof Dr Juwono Sudarsono, pengamat sejarah ABRI Dr Salim Said, serta ahli manajemen Prof Dr Wagiono Ismangil. Sejumlah tokoh tampak hadir termasuk mantan Pangkopkamtib Jenderal TNI read more .....
*Sayidiman Launches Book Jakarta, Kompas Online The Armed Forces of the Republic of Indonesia must keep an eye on both the physical and organizational metamorphosis of the national Armed Forces of Indonesia, in order to preserve its populist spirit. The Armed Forces must return to the people and mingle with them in order to be able to hear the aspirations of the people, including the joys and the sorrows of the multitude. Besides that, to face the challenges of the era, the time has come for the Armed Forces of the Republic of Indonesia to study anew their doctrines and to redefine their identity. This issue came to the fore in the critique of the book Leadership of the Armed Forces of the Republic of Indonesia in History and Their Struggle, written by Lieut.Gen. (Ret.) Sayidiman Suryohadiprojo, on Saturday (9/11). The critique of the book at its launching by publisher PT Intermasa, presented the following speakers; Advisor to the Minister for Research & Technology for Defense & Security, Maj.Gen. (Ret.) Zaeni Azhari read more .....
Republika Online , Minggu, 10 Nopember 1996 @Pengantar Red:Pengantar: Buku ini saya tulis untuk generasi muda guna membantu mereka memahami sejarah. Inilah pernyataan Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo mengantar bukunya, kemarin (11/11). Acara peluncuran buku terbaru Sayidiman berjudul Kepemimpinan ABRI dalam Sejarah dan Perjuangannya itu lalu diramaikan oleh bedah buku yang menghadirkan Mayjen TNI (Purn) ZA Maulani, Prof Dr Juwono Sudarsono, Dr Salim Said, dan Prof Dr Wagiono Ismangil sebagai pembahas. Berikut adalah catatan Eep Saefulloh Fatah atas jalannya diskusi. ________________________________________________________________ Tak ada prajurit yang bodoh, hanya ada perwira yang bodoh. Tak ada rakyat yang bodoh, hanya ada pemimpin yang bodoh. Ungkapan ini disitir Prof Dr Juwono Sudarsono untuk menggarisbawahi arti penting kepemimpinan. Diakui oleh Juwono bahwa soal kepemimpinan merupakan soal penting dan krusial saat ini. "Indonesia adalah negara yang paling undermanaged di Asia Tenggara, dan ini tentu punya kaitan read more .....
SUARA PEMBARUAN DAILY 11 September 1996 Pengertian kepemimpinan dalam TNI baru ada sekitar 1953, yakni sejak sejumlah perwira TNI menempuh pendidikan militer di Amerika Serikat. Tetapi kepemimpinan sebagai tindakan dan perbuatan sesungguhnya sudah ada sejak berdirinya Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berubah namanya menjadi TKR, TRI, dan akhirnya TNI (halaman 1 dan 8). Ketiadaan pengertian kepemimpinan seperti disebut di atas sebelum tahun 1953 merupakan ”warisan” dari Belanda yang cukup lama menjajah Indonesia. Menurut Sayidiman Suryohadiprojo, di lingkungan Belanda pengertian kepemimpinan (kurang lebih sama dengan leiderschap) adalah satu kemampuan manusia yang diperoleh dari lahir, bukan karena mendapat pendidikan tertentu. Hal itu menyebabkan di kalangan masyarakat Belanda, termasuk di lingkungan militernya, tidak banyak dibicarakan tentang kepemimpinan. Pengertian kepemimpinan yang lebih lengkap baru mulai tumbuh di kalangan masyarakat Belanda dan militernya jauh setelah Perang Dunia II usai, saat read more .....
”Yang Dipilih Hanya Orang Kepercayaan” Jawa Pos, 12 Agustus 1996 Jakarta, JP.- Munculnya generasi baru ABRI yang menduduki jabatan-jabatan strategis memunculkan pula beberapa penafsiran. Ada yang menganggap regenerasi kali ini berjalan di luar tradisi ABRI, karena nuansa politiknya yang lebih kental. Beberapa bintang muda yang melesat adalah Brigjen Johny Lumintang (Akmil 70), Brigjen Soesilo Bambang Yudhoyono (Akmil 73), dan Brigjen Syafri Syamsuddin MBA (Akmil 74). Mereka inilah yang diperkirakan akan mengendalikan kepemimpinan ABRI di masa depan. Jenderal-jenderal muda itu memang menyalip banyak pendahulunya yang lebih senior. Mereka yang lulusan Akmil 66, 67, 68, 69, masih mandek, kecuali Mayjen TNI Agum Gumelar yang kini bersama generasi baru itu mendapatkan posisi panglima Kodam VII/Wirabhuana. Pengamat militer dan mantan Deputi KSAD dan Gubernur Lemhannas Letjen (pur) Sayidiman Suryohadiprojo mempunyai pandangan tersendiri mengenai fenomena baru ini. Berikut petikan read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo SUDAH lama kita mendengar seruan dari banyak kalangan di Indonesia agar ABRI tak saja menjadi dinamisator dan stabilisator masyarakat, melainkan juga demokratisator. Mereka yang mendambakan terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis berpendapat bahwa ABRI dapat memberikan sumbangan penting untuk itu, sekaligus menjamin bahwa yang terbentuk adalah masyarakat berdasarkan demokrasi Pancasila dan bukan demokrasi lain. Seruan demikian menunjukkan adanya kepercayaan bahwa peran ABRI masih besar dalam pembentukan bangsa. Ada juga kalangan yang sama sekali tak percaya kepada peran ABRI selain sebagai kekuatan pertahanan keamanan (hankam). Akan tetapi, tampaknya masih lebih banyak yang cukup realistis dalam menilai keadaan di Indonesia dan karena itu tak menutup mata terhadap pengaruh ABRI dalam masyarakat. Salah satu prasyarat bagi masyarakat demokratis adalah berlakunya kekuasaan hukum, juga dalam sistem demokrasi Pancasila. Tanpa kekuasaan hukum, semua pihak yang kuat yang berkuasa, seperti yangkuat read more .....