Sayidiman Suryohadiprojo, Letjen TNI (Pur)
Pada hari ini 5 Oktober 2008 TNI berumur 63 tahun. Setelah pada 5 Oktober 1945 Badan Keamanan Rakyat (BKR) oleh pemerintah Republik Indonesia ditetapkan menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), maka Negara Republik Indonesia mempunyai tentara resmi. Kemudian melalui perubahan nama, yaitu Tentara Keselamatan Rakyat dan Tentara Republik Indonesia, tentara itu bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sejak semula TNI terdiri dari unsur Darat (TNI-AD), Laut (TNI-AL) dan Udara (TNI-AU) yang semua berdiri sendiri dan seluruhnya dipimpin oleh Panglima Besar TNI (Jenderal Sudirman) dibantu oleh Markas Besar TNI (MBT) dipimpin Kepala Staf TNI Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Setelah Reorganisasi dan Rasionalisasi TNI (RE & RA) pada tahun 1947 MBT berubah nama menjadi Staf Angkatan Perang (SAP) dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Perang. Setelah Panglima Besar Sudirman wafat pada tahun 1950 jabatan Panglima Besar TNI ditiadakan, kemudian setelah 1953 juga jabatan Kepala Staf AP ditiadakan. TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU lebih berdiri sendiri, masing-masing dipimpin seorang Kepala Staf (KS), yang secara bersama membentuk Gabungan Kepala Staf tanpa ada wewenang komando.
Pada tahun 1963 Presiden Sukarno menetapkan setiap Angkatan dipimpin oleh Menteri yang sekali gus menjadi Panglima Angkatan tersebut. Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) diintegrasikan dengan TNI, juga dipimpin Menteri / Panglima POLRI. Semua Menteri / Panglima Angkatan berada di bawah Presiden RI dengan sebutan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Pada tahun 1970 ditiadakan jabatan Menteri / Panglima Angkatan. TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU kembali dipimpin oleh seorang Kepala Staf (KS), sedangkan Polri oleh Kepala Polri (KAPOLRI). Mereka berada di bawah pimpinan Menteri Pertahanan Keamanan merangkap Panglima Angkatan Bersenjata yang dibantu oleh Wakil Panglima Angkatan Bersenjata. Pada tahun 1980 Menteri Pertahanan Keamanan dilepas dari jabatan Panglima ABRI yang kemudian kembali berdiri sendiri tidak di bawah Menhankam. Setelah tahun 1998 Polri dilepaskan dari ABRI untuk berdiri sendiri, sedangkan TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU masing-masing di bawah seorang KS berada di bawah Panglima TNI yang dibantu oleh Staf Umum TNI. Sebutan TNI-ABRI yang digunakan sejak 1963 ditinggalkan dan kembali ke sebutan TNI. Demikian secara singkat perkembangan TNI sebagai organisasi sejak berdirinya pada 5 Oktober 1945.
Sepanjang sejarahnya TNI telah banyak pengalamannya. Dimulai dengan perjuangannya melawan penjajah Belanda serta pendukungnya di luar maupun di Indonesia, TNI mendukung berdirinya Republik Indonesia agar mendapat pengakuan seluruh umat manusia sebagai satu negara yang merdeka dan berdaulat. Perjuangan ini berhasil memaksa penjajah Belanda mengakui kedaulatan bangsa Indonesia pada 27 Desember 1949. Akan tetapi belum mengakui masuknya wilayah Irian Barat sebagai bagian Indonesia. Baru pada tahun 1962 Belanda kembali terpaksa menerima ketentuan bahwa Irian Barat masuk sebagai bagian integral Republik Indonesia. Hal itu pun setelah TNI mengembangkan kekuatannya yang ketika itu dinilai sebagai kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara. TNI sebenarnya sudah siap untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Akan tetapi Belanda kemudian dipaksa agar Irian Barat diserahkan kepada RI tanpa ada pertempuran antara TNI dan militer Belanda.
Setelah tahun 1950 TNI giat melaksanakan operasi untuk mengatasi berbagai masalah keamanan dalam negeri. Ada operasi untuk mengatasi sisa-sisa kekuasaan Belanda yang tidak mau tunduk kepada RI, seperti pemberontakan APRA di Jawa Barat, pemberontakan Andi Aziz di Makassar, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon. Selain itu ada pemberontakan Darul Islam atau DI/TII di Jawa Barat dan Jawa Tengah karena Kartosuwiryo dan pendukungnya tidak mau di bawah RI dan membentuk Negara Islam Indonesia. Hal ini belum selesai terjadi Pemberontakan PRRI/Permesta yang diadakan oleh beberapa daerah untuk melepaskan diri dari kekuasaan RI dengan dibantu Amerika Serikat dan Inggeris. Dan akhirnya pemberontakan G30S/ PKI pada tahun 1965 yang merupakan ulangan dari pemberontakan komunis pada bulan September 1948 ketika bangsa Indonesia sedang repot menghadapi Belanda. Semua masalah keamanan dalam negeri ini yang bermaksud mengurangi atau meniadakan kedaulatan negara RI telah diselesaikan TNI dengan sukses.
Namun TNI juga mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan. Ketika Indonesia pada tahun 1963 melakukan Konfrontasi terhadap Malaysia, TNI kurang mampu untuk mendukung usaha politik luar negeri itu secara memuaskan. Hal kedua yang kurang memuaskan adalah kekurangberhasilan TNI untuk mengakhiri perlawanan gerilya Fretilin di Timor Timur setelah Indonesia pada tahun 1975 mengintegrasikan daerah itu sebagai satu provinsi di RI. Kekurangberhasilan Konfrontasi dapat diakhiri tanpa RI harus mengalami kemunduran. Akan tetapi di Timor Timur kekurangberhasilan berakibat lepasnya Timor Timur dari Indonesia karena ada dukungan internasional.
Pengalaman TNI lain yang penting adalah kegiatan TNI sebagai kekuatan sosial politik sejak tahun 1959 hingga 1998. Berdasarkan proses terbentuknya TNI yang unik dari satu levee en masse pada tahun 1945, maka dalam TNI berkembang sikap bahwa TNI tidak saja satu kekuatan militer yang mendukung pemerintah RI dalam bidang pertahanan, melainkan TNI juga satu kekuatan sosial politik yang bersama-sama seluruh bangsa Indonesia berjuang mewujudkan Tujuan Nasional, yaitu terwujudnya Masyarakat Adil, Maju dan Sejahtera berdasarkan Pancasila. Sikap itu dinamakan Dwi Fungsi TNI.
Oleh Presiden Sukarno hal ini dimanfaatkan untuk membubarkan Konstituante pada tahun 1959 karena tak kunjung mencapai kesepakatan dalam membentuk Undang-Undang Dasar. Dan mengembalikan Undang Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi RI yang sah. Bung Karno kemudian menyelenggarakan Demokrasi Terpimpin dan dalam sistem politik itu TNI mendapat peran yang penting sebagai kekuatan politik. Sebelumnya Presiden Sukarno telah menggunakan perwira-perwira TNI untuk mengambil alih perusahaan Belanda. Penugasan anggota TNI dalam berbagai fungsi non-militer, baik di bidang politik maupun ekonomi dan juga kebudayaan, kemudian diberi sebutan fungsi kekaryaan TNI.
Setelah diakhirinya pemberontakan G30S/PKI dan naiknya Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI fungsi kekaryaan makin diperluas perannya. Di hamper semua bidang kehidupan bangsa ada anggota TNI dikaryakan. Maka pada satu saat fungsi kekaryaan yang tadinya bersifat produktif ketika kepemimpinan sipil memang kurang mampu menghadapi tekanan PKI dan sekutunya, berubah menjadi kurang disukai masyarakat karena dirasakan kekuasaan TNI sebagai kekuatan non-pertahanan terlalu luas. Sedangkan kaum sipil makin mampu untuk menjalankan berbagai fungsi dalam masyarakat. Dianggap bahwa Presiden Soeharto menggunakan Dwifungsi TNI untuk memperkuat dan melanggengkan kekuasaannya di Indonesia. Maka ketika Presiden Soeharto mengundurkan diri dari kekuasaan, masyarakat menuntut agar peran TNI dikembalikan kepada fungsi militernya. Pimpinan TNI kemudian mengadakan Reformasi TNI yang intinya adalah mengembalikan TNI sebagai kekuatan pertahanan saja, meninggalkan peran dalam bidang non-militer baik di politrik, ekonomi dan lainnya. Hal ini membawa perubahan besar dalam TNI, terutama dalam sikap mentalnya.
Maka pada tahun 2008 ketika TNI berumur 63 tahun TNI perlu memantapkan diri dan lambat laun keluar dari berbagai keraguan sebagai akibat kekurangberhasilan Timor Timur dan Fungsi Kekaryaan yang dikecam kuat sekali. TNI perlu memantapkan diri dalam berbagai aspek yang menjadi identitasnya, yaitu TNI sebagai tentara nasional, TNI sebagai tentara professional, TNI sebagai tentara rakyat dan TNI sebagai tentara pejuang.
TNI sebagai Tentara Nasional sebenarnya sudah cukup mantap dalam arti bahwa TNI bukan tentara satu golongan tertentu atau tentara daerah tertentu, melainkan TNI adalah tentara milik dan berjuang untuk seluruh bangsa Indonesia dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun demikian hal ini dapat makin dimantapkan dengan sikap TNI dan para anggotanya yang dekat dengan seluruh rakyat Indonesia di mana mereka berada. Dan tidak dipersepsikan atau dirasakan oleh sebagian rakyat bahwa TNI menempatkan diri sebagai kekuatan yang hanya mendukung bagian tertentu bangsa kita. Justru ketika bangsa Indonesia sedang gila demokrasi atau sangat berlebihan mengejar demokrasi tuduhan dan persepsi demikian terhadap TNI mudah terjadi. Ditambah lagi oleh kenyataan adanya mantan anggota TNI turut terjun dalam mengejar jabatan-jabatan politik, baik sebagai Presiden RI, Wakil Presiden maupun Kepala Daerah dan anggota DPR serta DPRD. Dilihat dari sudut itu adalah lebih bijaksana kalau untuk sementara TNI tidak ikut dalam Pemilihan Umum. Meskipun sebagai warga negara setiap anggota TNI mempunyai hak azasi untuk turut dalam Pemilu, namun untuk sementara selama masyarakat Indonesia belum mantap sikapnya lebih arif bijaksana TNI tidak turut dalam Pemilu.
TNI sebagai Tentara Profesional menghadapi banyak pekerjaan. Sebab kondisi internasional dan dalam negeri masih terus saja penuh kemungkinan konflik yang dapat mengarah pada konflik bersenjata, termasuk antar-negara. Untuk mencegah hal yang merugikan Indonesia maka negara RI perlu membangun Daya Tangkal yang effektif sehingga terwujud persepsi bahwa pihak yang mengganggu bangsa Indonesia dalam bentuk apa pun juga akan mengalami pukulan dan kerugian besar. TNI punya tempat dan peran penting dalam pembentukan Daya Tangkal itu.
Untuk itu TNI harus dapat menyusun diri dan mewujudkan kemampuan yang dapat menimbulkan persepsi bahwa setiap gangguan fisik dari negara atau pihak lain terhadap Indonesia dapat dikalahkan TNI melalui operasi konvensional di darat, laut dan udara. Hal ini berlaku terhadap semua negara di keliling kita selain terhadap satu kekuatan militer adikuasa. Karena kekuatan militer adikuasa (military superpower) mempunyai keunggulan fisik yang sukar kita tandingi dalam waktu 20 tahun mendatang, maka terhadap itu TNI harus menunjukkan kemampuan operasi konvensional serta operasi non-konvensional berupa operasi wilayah dengan titik berat pada kemampuan operasi non-konvensional.
Kemampuan operasi konvensional untuk mengalahkan setiap agressi pihak lain memerlukan peningkatan kemampuan TNI yang cukup besar, tapi dapat diwujudkan dalam masa 20 tahun dengan manajemen nasional yang efektif. Itu berarti bahwa Pemerintah dan DPR harus juga berperan dengan secara kongkrit mendukung TNI dalam membangun kemampuan itu. Namun kemampuan konvensional saja sukar untuk menjadi Daya Tangkal terhadap negara adikuasa. Untuk itu di samping kemampuan konvensional diperlukan kemampuan non-konvensional. Terlebih lagi untuk itu diperlukan pembangunan masyarakat yang jauh lebih terarah dan intensif, dengan terutama memperkuat kondisi rakyat melalui semboyan Rakyat Sejahtera Negara Kuat.
TNI sebagai Tentara Rakyat adalah penting bagi kekuatan bangsa dalam segala bidang yang sekarang nyata sekali tidak dikehendaki beberapa kelompok bangsa kita sendiri, karena kepentingan mereka yang berbeda dan bertentangan dengan kepentingan nasional Indonesia.
TNI sebagai Tentara Rakyat harus mewujudkan makin banyaknya rakyat yang terbiasa menjadi anggota TNI melalui sistem Wajib Militer maupun Kekuatan Cadangan. Sudah amat jauh waktunya Indonesia mempunyai dua sistem itu yang di negara lain dianggap hal biasa. Akan tetapi di Indonesia, terutama setelah Reformasi 1998, dianggap hal yang merugikan bangsa.
Juga kuatnya kehendak sementara orang Indonesia untuk menghapuskan organisasi dan fungsi Territorial TNI menunjukkan kehendak agar TNI tidak atau kurang dekat dengan Rakyat. Padahal ini semua penting sekali bagi pembangunan Daya Tangkal yang perlu dipunyai Indonesia untuk mengamankan segala usaha pembangunan dan kemajuan yang telah diwujudkan dan yang akan terus dikejar. Orang itu menghendaki TNI dibenci Rakyat agar kepentingannya dapat terwujud. Kepentingan mereka adalah sama atau mendukung kepentingan bangsa atau pihak lain. Sebab itu TNI harus terus secara konsisten membangun identitasnya sebagai Tentara Rakyat.
TNI sebagai Tentara Pejuang diperlukan bangsa Indonesia agar dalam sepak terjangnya TNI dan anggotanya selalu tidak kenal menyerah dan terus berjuang mewujudkan kepentingan bangsa. Sikap dan sifat TNI demikian akan menular kepada seluruh masyarakat, apalagi kalau TNI dapat mewujdukan diri sebagai Tentara Rakyat.
Bangsa Indonesia yang pejuang akan menjadi kekuatan yang mampu mengimbangi setiap kekuatan lain dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam ekonomi, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi dan lainnya. Akan tetapi karena TNI berideologi Pancasila maka TNI sebagai Tentara Pejuang adalah juga berjuang memelihara kondisi damai dan sejahtera. Juga bangsa Indonesia yang pejuang akan sanggup berkompetisi secara gigih dengan bangsa lain, tetapi selalu menjunjung tinggi persahabatan dan perdamaian. TNI sebagai Tentara Pejuang akan menjauhkan bangsa Indonesia dari berbagai sifat melemahkan yang timbul dari kondisi alam Indonesia yang serba murah dan mudah dan cenderung memanjakan manusia Indonesia. Sebaliknya justru membangun kekuatan kehendak (willpower) untuk memanfaatkan segala kemurahan yang diberikan Tuhan kepada bangsa Indonesia untuk menjadikan seluruh Rakyat Indonesia makmur, maju dan sejahtera.
Ketika TNI sekarang berumur 63 tahun semoga TNI dan terutama unsur pimpinannya makin bergiat dan menguatkan komitmennya untuk menjadikan TNI sebagai Tentara Nasional, Tentara Profesional, Tentara Rakyat dan Tentara Pejuang yang nyata dan efektif.
DIRGAHAYU TNI !
Salam Sejahtera…
Bagaimana pendapat Pak Sayidiman sekiranya Kowilhan dihidupkan kembali ? Saya berpandangan bahwa keberadaan kodam lebih berat pada matra darat, sementara pengawalan wilayah tidak semata pada batas geografi saja.
Pak Sharif Dayan, terima kasih atas pertanyaan Anda yang berarti Anda membaca tulisan saya. Kalau Anda baca buku saya Si Vis Pacem Para Bellum Membangun Pertahanan Negara yang Modern dan Efektif Bab IX , Anda akan lihat bahwa saya memang ingin ada KOWILHAN yang sifatnya antar-angkatan. Akan tetapi mungkin para penyelenggara pertahanan negara sekarang sedang fokus kepada aspek keuangan yang serba sukar bagi Pemerintah untuk mendukung TNI. Sekali lagi terima kasih. Wassalam, Sayidiman S