Indonesia Kecolongan Lagi

Posted by Admin on Monday, 20 July 2009 | Opini

Sayidiman Suryohadiprojo

Jakarta, 19 Juli 2009

Pada hari Jumat tanggal 17 Juli 2009 bangsa Indonesia mendapat pukulan berupa terjadinya kembali serangan teror di Jakarta. Pada jam 07.47 teroris meledakkan bom di hotel JW Marriott yang pada tahun 2003 sudah pernah diserang kaum teroris. Kemudian pada jam 07.57 bom juga meledak di hotel Ritz-Carlton tetangga hotel Marriott.

Serangan ini menimbulkan kerugian pada bangsa Indonesia berupa jiwa manusia, benda, dana. Yang tidak kalah penting adalah jatuhnya reputasi bangsa dalam pergaulan internasional. Hingga tulisan ini dibuat dilaporkan ada 9 orang yang wafat dan 53 orang korban luka berat dan ringan, termasuk warga negara Asing dan Indonesia.

Dengan sendirinya terjadi kerusakan berat pada dua hotel itu serta lingkungannya. Manchester United yang sebetulnya hari ini mendarat di Jakarta untuk dilawan main oleh Team Nasional pada hari Senin 20 Juli, membatalkan kedatangannya. Hal ini diperkirakan merugikan para sponsor sekitar 50 milyar rupiah. Australia dan beberapa negara lain langsung mengeluarkan travel warning untuk Indonesia yang dapat berakibat pembatasan kedatangan orang asing ke Indonesia, termasuk para investor yang belakangan tertarik pada kemajuan ekonomi Indonesia ketika dunia diliputi Krisis Ekonomi.

Akan makan waktu untuk dapat memperbaiki ini semua. Yang terpenting dalam usaha perbaikan adalah kemampuan Indonesia mengungkapkan tindakan teror ini secara tuntas, menangkap pelaku dan otak gerakan serta menghukumnya setimpal.

Meskipun pada saat tulisan dibuat pihak Polri belum mau menegaskan siapa atau pihak mana yang menjadi sumber teror, namun pada umumnya para ahli intelijen sepakat bahwa pihak lama atau Jemaah Islamiyah yang aktif lagi. Salah satu alasan untuk menunjuk JI adalah kenyataan bahwa ada persamaan pada bom-bom yang meledak dengan bom yang baru diperoleh dalam aksi Polri di Cilacap ketika mengejar Noordin M.Top.

Agak aneh bahwa segera setelah terjadi peledakan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memberikan statement atau pernyataan terbuka resmi di Istana Negara yang antara lain memuat intelijen yang beliau peroleh dari lembaga Intel tentang hal-hal yang tidak bersangkutan dengan peledakan ini dan lebih mengacu kepada Pemilihan Presiden yang lampau. Dengan nada agak emosional beliau nyatakan bahwa telah diadakan latihan menembak oleh sekelompok orang yang beliau sebut teroris dengan menggunakan gambar muka beliau sebagai sasaran tembak, ada seruan kalangan orang untuk memustahilkan pengangkatan beliau kembali sebagai Presiden RI, ada pula yang menyerukan untuk melakukan revolusi. Karena hasil intelijen ini merupakan bagian utama dari pernyataan Presiden, orang cenderung menghubungkan itu dengan peledakan bom yang baru terjadi. Dengan perkataan lain : orang melihat bahwa Presiden melihat ada kemungkinan besar peledakan telah dilakukan oleh orang-orang yang disebut dalam laporan intelijen itu.

Para ahli intel menyatakan bahwa ada perkembangan kemajuan dalam teknik pemboman yang telah terjadi. Pada tahun 2003 pemboman dilakukan di luar hotel J.W.Marriott. Akan tetapi sekarang pemboman dilakukan dalam hotel, bahkan dalam dua hotel ternama. Itu berarti bahwa bom-bom tersebut telah dirakit dalam hotel dengan membawa bahan-bahan peledak sedikit demi sedikit masuk hotel melalui dan menembus sekuriti hotel yang ketat. Dicurigai bahwa pelaku peledakan telah masuk dan menjadi penghuni hotel sejak 15 Juli 2009 dan menyewa kamar 1808 di hotel J.W.Marriott. Ini menunjukkan bahwa para pelaku peledakan sudah jauh lebih canggih dibandingkan masa lalu. Sebab untuk masuk dan mendaftar menjadi penghuni hotel JW Marriott dan Ritz Carlton tentu akan amat mencolok kalau yang dating orang pakai sandal jepit dan pakaian kedodoran. Orang itu tentu sudah harus menampakkan diri sekurang-kurangnya sebagai bagian golongan menengah tengah.

Ini semua menjadi bahan penting untuk melawan terorisme ini. Sebab tidak cukup bahwa Polri dengan cepat menentukan siapa pelaku peledakan itu dan menangkap serta mengadilinya. Selanjutnya negara dan bangsa Indonesia harus melakukan usaha besar untuk menghabisi semua sumber dan kemungkinan terorisme di masa depan. Kita semua dan tidak hanya Polri dan lembaga Intel harus malu bahwa sekian lama Noordin M.Top tidak dapat ditangkap dan diambil tindakan yang tepat terhadapnya. Sehingga ia dan kawan-kawannya makin luas mengadakan perekrutan dan pencucian otak atau brainwashing terhadap pemuda Indonesia agar mereka mau menjadi korban pemboman bunuh diri atau suicide bombing. Menjadi kewajiban kita semua untuk mengakhiri sejarah terorisme di Indonesia untuk seterusnya.

Untuk itu Kepemimpinan Nasional dan Pemerintah RI harus bergerak nyata dan aktif untuk mempersatukan bangsa dengan sasaran jelas : AKHIRI TERORISME DI INDONESIA !

Dalam hubungan itu sebenarnya Pernyataan Presiden RI pada tanggal 17 Juli 2009 kurang tepat diadakan oleh sebab menimbulkan keragu-raguan dan kemungkinan perpecahan bangsa. Seharusnya Presiden menggerakkan aparat untuk menangkap dan menyelidiki serta menghukum semua yang disebutkan dalam pernyataan itu. Sebab beliau sendiri telah mengatakan bahwa sudah jelas sumber-sumber kejadian itu dan bukan lagi rumor atau perkiraan. Dengan menangkap pelaku kejadian yang disebut dalam pernyataan itu akan jelas siapa mereka dan siapa di belakangnya. Akan juga dapat diketahui bagaimana hubungannya dengan gerakan Jemaah Islamiyah yang selama ini mengganggu bangsa kita secara sangat merugikan.

BIN dan aparat intel lainnya harus meningkatkan performanya. Meskipun tentu faktor teknologi penting dalam peningkatan ini, namun lebih penting adalah faktor manusia. Para pimpinan dan anggota lembaga-lembaga Intel harus lebih berdedikasi dalam pekerjaan, menjalankan usaha yang lebih intensif dan ekstensif sehingga makin luas perolehan informasinya.

Selain itu harus melakukan sekuriti internal negara, khususnya sekuriti personil, yang jauh lebih saksama dari yang sekarang. Mungkin sekali ada kalangan masyarakat yang akan kurang setuju bahwa aparat intel mengetahui banyak tentang diri mereka dan menganggapnya sebagai pelanggaran HAM. Akan tetapi Negara harus dapat membedakan antara kepentingan perorangan yang berlebihan dengan kepentingan masyarakat umum. Tentu privacy tetap kita perhatikan, tetapi hal itu tidak boleh dan tidak dapat berlebihan sehingga merugikan kemampuan unttuk mengawasi masyarakat. Jepang yang setelah Perang Dunia 2 diakui sepenuhnya sebagai negara demokrasi tidak pernah mengabaikan sekuriti internal sehingga kemampuannya melebihi Uni Soviet ketika negara itu masih ada. Hanya cara Jepang sangat canggih dan licin sehingga masyarakat tak merasakan bahwa mereka terus-menerus diawasi.

Lembaga Intel juga harus berusaha menerapkan taktik perembesan atau infiltrasi ke dalam tubuh organisasi yang mengancam bangsa. Hal ini menuntut sikap dan cara kerja para pimpinan intel yang jauh lebih canggih dan cerdas. Serta mampu melakukan pendidikan kepada orang untuk menjadi agen atau mole yang efektif dalam tubuh lawan. Bandingkan dengan keberhasilan intel Uni Soviet memasuki organisasi intel Inggeris yang terkenal tinggi mutunya. Toh Inggeris mengalami bahwa pimpinan MI 6 ada di tangan agen Soviet selama bertahun-tahun, yaitu Kim Philby. Itu baru berakhir bukannya karena orangnya ditangkap Inggeris, melainkan melarikan diri ke Uni Soviet setelah menyadari bahwa posisinya makin gawat. BIN pun harus sanggup melakukan hal demikian, khususnya sekarang ke dalam tubuh Jemaah Islamiyah yang jelas-jelas selalu mengancam bangsa Indonesia dan Pancasila.

Untuk menjadikan kegiatan Intelijen di Indonesia lebih bermutu dan bermanfaat NKRI harus secepat mungkin melahirkan UU Intelijen. Pemerintah harus dapat mempengaruhi DPR dan elit politik agar undang-undang itu lekas terbit.

Kepolisian RI atau Polri harus meningkatkan mutunya, khususnya mutu personilnya. Tentu peningkatan mutu memerlukan peningkatan teknologi, tetapi itu masih di bawah prioritas mutu personil. Berbagai hal harus dilakukan agar personil Polri benar-benar bersemangat tinggi, berdedikasi dalam bekerja dan selalu berusaha menjalankan pekerjaan secara bermutu. Hal ini sudah lama dikonstatir, termasuk oleh Pak Hoegeng sendiri ketika masih menjadi Ka Polri, sebelum dan sesudahnya. Pemerintah harus membantu pimpinan Polri untuk mencapai hal itu dengan berbagai tindakan. Juga masyarakat harus mendukung pekerjaan Polri. Akan tetapi untuk itu di pihak lain Polri harus merebut kepercayaan masyarakat dan justru tidak boleh merasa berada di atas masyarakat. Sebagaimana TNI harus diliputi oleh Sikap Territorial, yaitu TNI selalu Dekat dan Bersatu dengan Rakyat, demikian pula Polri harus mengembangkan doktrin serupa. Kalau tidak mau belajar dari TNI mengenai hal ini, sebaiknya Polri melihat dan mempelajari bagaimana kedekatan Polisi Jepang dengan rakyatnya.

Meskipun sejak Reformasi TNI dijauhkan dari masalah keamanan dalam negeri yang dijadikan arena Polri, dengan TNI membantu bila diminta, namun sebenarnya sikap demikian adalah pandangan yang kurang memahami perkembangan cara berperang masa kini. Di masa kini Serangan Terbuka satu negara terhadap negara lain hanya dilakukan kalau yakin benar bahwa serangan itu dapat menghasilkan pencapaian Tujuan Politik secara cepat dan dengan risiko wajar. Sekarang negara yang menjadi sasaran akan lebih dulu diserang dengan Serangan Tak-Konvensional. Dalam cara berperang demikian digunakan berbagai cara serangan yang terselubung, seperti Serangan Intel, Serangan Teror, Serangan Ekonomi, Serangan Budaya, Serangan Komunikasi, dan cara serangan lainnya yang dapat menghasilkan pencapaian Tujuan Politik dengan risiko terendah, dan jauh lebih murah dari pada Serangan Terbuka. Uni Soviet, satu negara adikuasa telah runtuh tanpa ada Serangan Terbuka. Seluruh aparat militer Soviet, termasuk kekuatan nuklirnya, masih utuh tak terpakai. Tetapi negaranya runtuh dan berakhir kekuasaan rezin komunis. Inilah contoh Serangan Tak-Konvensional yang sekarang lebih banyak terjadi. Bahwa Presiden George W.Bush melakukan serangan terbuka terhadap Irak menunjukkan (Maaf !) kebodohan dan keserakahannya dan golongannya Neo-Kon, sebab AS tidak mencapai apa yang diinginkan dalam waktu cepat serta telah membayar mahal sekali.

Oleh sebab itu dalam menghadapi masa kini dan masa depan seluruh kemampuan bangsa harus dapat dimanfaatkan untuk menjamin kedaulatan dan kelangsungan hidup Negara, termasuk TNI. Namun untuk penggunaan yang tepat dan cerdas dari seluruh unsur bangsa untuk menghadapi berbagai ancaman, tantangan dan gangguan sebaiknya dibentuk Dewan Keamanan Nasional dengan diketuai Presiden RI serta anggotanya terdiri para menteri, dan adanya Sekjen DKN yang terus mengawasi pelaksanaan semua keputusan Dewan. Dengan begitu DKN dapat menetapkan secara tepat, cerdas dan terkoordinasi bagian mana dari kemampuan bangsa yang digerakkan menghadapi ancaman atau tantangan tertentu. Dengan begitu ditiadakan berbagai wilayah kelabu atau gray areas dalam kewenangan berbagai badan pemerintah RI. Maka tidak mustahil bahwa TNI sudah harus digerakkan sekalipun belum ada permintaan bantuan dari Polri, karena hal itu diputuskan DKN.

Dalam menghadapi terorisme yang terutama penting dari TNI adalah organisasi territorialnya. Org Terr TNI sudah banyak sekali manfaatnya selama sejarah kemerdekaan dan perjuangan bangsa. Akan tetapi sejak Reformasi oleh kalangan tertentu hendak di-eliminasi karena dituduh sebagai badan yang meneguhkan kekuasaan TNI atas masyarakat. Memang dalam tahun-tahun terakhir pemerintahan Presiden Soeharto Org Terr telah disalahgunakan untuk meneguhkan kekuasaan Presiden dengan bantuan TNI. Akan tetapi yang salah bukan Org Terr melainkan yang menggunakan secara salah. Hendaknya sekarang Org Terr dibangun kembali dengan dasarnya yang murni, yaitu sebagai aparat untuk menjamin persatuan TNI dengan Rakyat. Dengan cara bekerja Org Terr yang tepat maka segala gerak gerik yang ada dalam masyarakat dapat diketahui. Andai kata organisasi RT dan RW kita serta Org Kelurahan sudah dapat berfungsi secara kongkrit dalam mengawasi masyarakat, sebagaimana terjadi dalam RT/RW di nmasyarakat Jepang, peran Org Terr untuk pengawasan masyarakat kurang diperlukan dan Org Terr dapat lebih menitikberatkan pada fungsinya untuk ketahanan masyarakat. Namun sekarang hal itu masih kurang sekali ada.

Dengan uraian di atas bangsa Indonesia akan lebih mampu menghadapi berbagai Serangan Tak-Konvensional dari luar, khususnya berupa Serangan Teror. Mungkin sekali masih ada hal-hal yang belum disebutkan di sini, hal mana tentu baik untuk ditambahkan. Yang utama adalah Kepemimpinan Nasional harus mempersatukan seluruh bangsa Indonesia untuk memenangkan perjuangan menghadapi Teror, termasuk semua partai dan organisasi politik yang ada. Serta membuat keputusan dan melakukan tindakan-tindakan secara tepat waktu serta tegas agar Teror dapat dikalahkan.

Setiap Serangan terhadap bangsa Indonesia hakikatnya merupakan satu tindakan politik, demikian pula serangan teror oleh Jemaah Islamiyah. Perlu disadari oleh kita semua bahwa berbagai serangan teror menimbulkan gangguan dan kerugian jiwa, benda pada bangsa kita. Namun betapa pun hebatnya gangguan itu serta kerugian yang kita alami, selama bangsa Indonesia tidak dapat ditaklukkan dan menyerah pada penyerang, serangan teror itu tidak mungkin mencapai Tujuan Politiknya. Republik Indonesia akan tetap ada selama kita pertahankan dan tidak akan pernah digantikan oleh satu Khalifah Islam Asia Tenggara sebagaimana dikehendaki Jemaah Islamiyah. Hanya kalau kita menyerah karena tak tahan terhadap serangan teror itu dan memungkinkan kaum teror mendirikan Khalifah tersebut, mereka dapat mencapai Tujuan Politiknya. Ini satu hal yang tidak akan dan tidak mungkin terjadi selama bangsa Indonesia bersatu padu dan mengerahkan kehendak menjamin NKRI selanjang zaman.

RSS feed | Trackback URI

Comments »

No comments yet.

Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post