Sayidiman Suryohadiprojo
Jakarta, 17 November 2009
Di harian Ibu Kota pagi ini dapat kita baca pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menghadiri Sidang APEC di Singapura sebagai berikut : “Saya tidak ingin kita berlindung di bawah nasionalisme yang sempit. Saya ingin kita bangkit, lebih produktif, kompetitif, dan bersaing dengan yang lain”.
Membaca pernyataan itu ( yang semoga secara tepat dan benar dikutip harian itu) saya jadi tersentak. Mengapa Presiden kita bicara seperti itu, seakan-akan kurang menyadari kondisi sebenarnya bangsanya. Termasuk juga kritiknya yang cukup keras terhadap BUMN yang kurang sehat.
Dari pernyataan itu timbul kesan bahwa Presiden menilai bangsa Indonesia kurang produktif, kurang kompetitif dan kurang mampu bersaing dengan bangsa lain. Terutama BUMN mendapat penilaian demikian. Dan Presiden nampaknya amat mendukung liberalisasi perdagangan untuk para anggota APEC yang meliputi banyak bangsa di Asia dan wilayah Pacific.
Buat kami pejuang kemerdekaan Angkatan 1945 terus timbul tanda tanya apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cukup memahami Pancasila sebagai Dasar Negara RI dan Filsafah Hidup bangsa Indonesia. Sebab kalau cukup memahami, tentu tahu bahwa dalam Pancasila tidak ada pengertian Nasionalisme Yang Sempit. Itu ditegaskan berkali-kali oleh Presiden Sukarno sebagai Penggali Pancasila dan diperkuat oleh Bung Hatta sebagai Wakil Presiden RI. Bung Karno telah menyatakan bahwa Nasionalisme Indonesia berkembang dalam Taman Sari Internasionalisme. Sebab itu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab bergandengan erat dengan Persatuan Indonesia. Nasionalisme yang chauvinistis bukan milik bangsa Indonesia dan itu terbukti dengan jelas sekali sejak bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Hal itu juga selalu dinyatakan oleh bangsa-bangsa lain yang ada hubungan dengan bangsa Indonesia, sebagai pujian.
Mungkin sekali Presiden SBY menyatakan itu dalam rangka hubungan ekonomi bangsa Indonesia dengan bangsa lain, yaitu bangsa Indonesia hingga kini kurang mendukung liberalisasi ekonomi dan khususnya perdagangan internasional yang bebas-terbuka. Akan tetapi hal itu amat salah kalau dihubungkan dengan nasionalisme yang sempit. Melainkan merupakan satu hal yang bersangkutan dengan kemampuan bangsa dalam ekonomi.
Untuk dapat melakukan hubungan ekonomi dengan baik dan harmonis dengan bangsa-bangsa lain dalam sistem ekonomi yang dilandasi liberalisme, satu bangsa harus mempunyai kemampuan memadai. Kalau tidak maka bangsa yang kurang mampu pasti akan di”makan” atau dikendalikan oleh bangsa yang lebih mampu. Memang dalam sistem ekonomi liberal, baik itu dalam lingkungan internasional maupun nasional, berlaku ketentuan bahwa siapa yang kuat dialah yang menang. Dalam cara berpikir liberalisme tidak salah kalau yang lemah menjadi korban yang kuat, malahan yang lemah disalahkan mengapa tidak bisa kuat. Yang lebih tajam lagi adalah pandangan dalam sistem ekonomi liberal bahwa bersifat dan bersikap serakah (greed) adalah mulia. Jadi untuk hidup secara memuaskan dalam sistem ekonomi liberal setiap bangsa harus mengejar kemampuan mengungguli orang dan bangsa lain.
Akan tetapi itu adalah kekurangan yang dihadapi bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa sedang berkembang lainnya. Buat Indonesia kekurangan terutama diakibatkan justru dari kepemimpinan dan manajemen nasional yang kurang cakap dan efektif, termasuk yang dilakukan oleh kepemimpinan nasional yang ada di tangan Presiden SBY selama lima tahun yang lalu. Jadi kalau Presiden SBY menghendaki agar bangsa Indonesia lebih produktif dan kompetitif serta cakap bersaing dengan bangsa lain, itu bukan karena ada nasionalisme sempit di Indonesia, melainkan adalah semata-mata lemahnya kepemimpinan dan manajemen di lingkungan bangsa kita. Dan ini sepenuhnya tanggung jawab kepemimpinan nasional untuk memperbaiki. Bagaikan satu team sepakbola yang memerlukan kepemimpinan dan manajemen untuk dapat mengungguli lawan-lawannya.
Maka kalau ada negara sedang berkembang mampu hidup dalam sistem ekonomi internasional yang liberal, seperti Malaysia atau mungkin Thailand, itu adalah karena ada kepemimpinan dan manajemen bangsanya yang cukup efektif sehingga sekalipun belum sekuat bangsa industri maju, tapi tidak mudah di”makan” oleh bangsa kuat itu. Malahan Singapore berhasil berkembang dari negara Dunia Ketiga pada tahun 1965 menjadi negara Dunia Pertama pada akhir Abad ke 20.
Menjadi Dasar Negara RI bahwa di Republik Indonesia harus ada keadilan sosial bagi seluruh Raykat Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pancasila. Hal itu ditegaskan pula oleh fasal 33 UUD 1945 ketika konstitusi bangsa kita itu belum di-amandemen secara kurang tanggung jawab oleh kaum politikus yang kurang setia kepada Pancasila. Sebab itu pada dasarnya bangsa Indonesia tidak setuju dengan liberalisme, individualisme dan kapitalisme sejak kita menjalankan perjuangan nasional. Para Pemimpin dan Pendiri Bangsa Indonesia, khususnya Bung Karno dan Bung Hatta, selalu mengatakan bahwa dalam liberalisme, individualisme dan kapitalisme yang lemah jadi korban dan mangsa yang kuat, sehingga amat bertentangan dengan nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Dalam pandangan Pancasila segala kekayaan bumi Indonesia harus diabdikan kepada kepentingan seluruh bangsa dan rakyat Indonesia, dan tidak boleh menjadi keuntungan semata-mata bagi segolongan kecil bangsa kita, apalagi bangsa lain. Sebab itu dalam sistem ekonomi berdasar Pancasila peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) amat penting di samping Koperasi dan Swasta, karena harus dapat mewujudkan kepentingan rakyat banyak untuk menguasai kekayaan bumi Indonesia. Adalah kewajiban kepemimpinan nasional untuk menjadikan BUMN usaha ekonomi yang andal dan mampu berhadapan secara efektif dengan perusahaan swasta, terutama mampu menghadapi perusahaan asing baik swasta maupun yang milik negara. Cukup banyak bukti bahwa BUMN dapat menjadi badan usaha yang kuat, sebagaimana dapat kita lihat di Perancis, Spanyol dan Singapore. Mereka menjadi kuat dan andal karena memang dikelola dan dipimpin secara baik oleh pimpinan negara dan bangsanya. Jadi kalau Presiden SBY meremehkan, dan karena itu justru tidak memperkuat, BUMN, maka itu menandakan kurangnya pemahaman dan kesadaran terhadap Pancasila Dasar Negara RI. Kalau toh dinilai bahwa manajemen satu BUMN kurang sukses, maka menjadi kewajiban pimpinan nasional untuk memperbaiki itu dan bukan untuk meremehkannya.
Melihat keadaan demikian, maka menjadi kewajiban kita untuk mengingatkan Presiden SBY dan seluruh kepemimpinan nasional bahwa Dasar Negara RI dan Pandangan Hidup Bangsa Indonesia masih Pancasila, bukan liberalisme, individualisme dan kapitalisme. Kalau ini mau dirobah maka harus ada persetujuan dari seluruh bangsa Indonesia. Maka kalau sekarang secara resmi masih diakui Pancasila sebagai Dasar Negara RI, tetapi kepemimpinan dan manajemen nasional dilakukan dengan dasar liberalisme, individualisme dan kapitalisme, itu merupakan sikap dan perbuatan yang munafik dan bertentangan dengan kepentingan bangsa. Kita selalu menyerukan agar tidak ada sikap dan tindakan yang berbau liberalisme dan neo-liberalisme di Indonesia, khususnya dalam pengelolaan ekonomi nasional. Sebab masih ada kesangsian terhadap kesediaan para pengelola ekonomi nasional untuk tidak menerapkan dasar liberalisme dan neo-liberalisme, mereka suka sekali gunakan alasan bahwa lingkungan internasional dikuasai oleh paham liberalisme, individualisme dan kapitalisme.
Memang bangsa Indonesia tidak dapat mengharapkan bahwa dalam lingkungan internasional digunakan dasar-dasar Pancasila, terutama karena keunggulan dunia Barat sejak berakhirnya Perang Dingin pada akhir abad ke 20. Akan tetapi hal itu tidak boleh dan tidak perlu menjadi halangan bagi bangsa kita untuk menjaga kelangsungan hidupnya (survival). Malahan harus dapat menunjukkan bahwa dengan sistem ekonomi Pancasila kita dapat bersaing dengan sukses serta mengungguli bangsa lain yang lain sistem ekonominya. Dengan begitu kita justru akan dapat mempengaruhi bangsa lain, terutama negara-negara Dunia Ketiga, untuk juga mengadopt sistem Pancasila.
Bahwa Manusia Indonesia tidak selalu kalah dengan bangsa lain, termasuk bangsa Barat yang lebih maju, sudah acap kali kita buktikan dalam dunia pendidikan. Ketika pemuda dan pemudi Indonesia sekolah di perguruan tinggi di Eropa dan Amerika dalam segenap bidang pengetahuan tidak jarang orang kita unggul secara menonjol terhadap peserta Eropa dan Amerika. Oleh sebab itu tidak ada halangan untuk dapat bersaing secara sukses dalam bidang ekonomi internasional.
Yang kita perlukan adalah kepemimpinan dan manajemen yang mampu menggerakkan segenap sumberdaya bangsa, baik manusia, alam maupun lainnya, menjadi kekuatan nyata. Kita semua dan bahkan bangsa lain tahu betapa besar dan banyak potensi yang ada di Indonesia, baik sumberdaya maupun posisi geostrategi, untuk digerakkan menjadi kekuatan nyata. Sayangnya, hingga kini kita belum berhasil membentuk kepemimpinan dan manajemen, khususnya pada tingkat nasional, yang sanggup dan mampu membangun INDONESIA INCORPORATED , apalagi dengan dasar Pancasila yang sesuai dengan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Inilah Persoalan kita, dan bukan soal Nasionalisme Sempit !
Betul pak Sayidiman,
Saya sendiri tanda-tanya tentang ”Nasionalisme Yang Sempit” itu muncul darimana, definisi dan implementasinya bagaimana.
Dari pengamatan saya terhadap fakta2 yang ada, sepertinya ungkapan tsb khusus untuk di NKRI saja. Artinya apakah mereka orang Amerika, Arab, China dsb, setelah di NKRI boleh ‘merasa’ memiliki apa saja yg ada disini, dan supaya lebih tersamar buru2 berganti-nama dg berbagai nama/KTP/Paspor.
Contoh: Anggoro, Djoko, Hartono dsb…
Nanti kembali kenegaranya masing2 menggunakan nama aslinya. Dengan demikian intelijen/interpolpun kesulitan menangkap
Saya kira inilah yang disebut ”NASIONALISME-GLOBAL”. Menurut mereka/ybs…
Menurut saya, ini ”NASIONALISME-BARBAR”
Terima kasih pak Sayidiman,
Salam…
Bpk Sayidiman yang saya kagumi dan cintai , sebagai anak bangsa kami ingin sekali mendapat warisan kebangsaan yang tanpa lelah bapak selalu memberi pencerahan pada kami .sekali lagi ijinkan kami untuk memberikan warisan yang bapak tulis ini kepada sesama anak bangsa , kami berdoa agar bapak selalu sehat wal afiat , Bangsa ini telah berada dipersimpangan jalan ketika elit dan pemimpin sudah tidak bisa lagi menunjukan arah kemana yang akan dituju , setiap hari rakyat disugui ketidak pastian dan saling menghujat dan membohongi rakyat.
Sdr Prihandoyo Kuswanto, Terima kasih atas komentar Anda. Sekarang yang penting, marilah kita tidak terbawa oleh arus lemah dan melemahkan itu. Marilah kita yakin akan jalan yang harus kita jalani sehingga bangsa kita, keluarga kita dan kita sendiri selamat dan mencapai tujuan kita yang mulia. Saya harap Anda tetap tegar dan tidak gentar menghadapi keadaan yang serba aneh ini, sambil selalu memelihara optimisme perjuangan kita. Wassalam,
Sayidiman S
Yth Sdr. Pranggono,
Terima kasih atas komentar Sdr terhadap tulisan saya. Wassalam,
Sayidiman S.
Bapak Sayidiman yang saya cintai. Saya sangat bisa memahami keprihatinan Bapak, akan kepemimpinan nasional kita. Dalam Koran Tempo hari ini 23 Nov.2009, saya baca headline “Soal Cak Nur, Kapolri Salahkan Anak Buah”. Saya hanya bisa ngelus dada sambil berucap” Beginikah mutu Jenderal sekarang?” Ya Tuhan ampunilah dia karena dia tidak tahuy yang dia perbuat.