Mengapa Tidak Ada Tanggungjawab Menteri Dalam Kegagalan Kelistrikan Indonesia

Posted by Admin on Tuesday, 1 December 2009 | Opini

Sayidiman Suryohadiprojo

Jakarta, 22 November 2009

Tanpa harus menjadi seorang teknolog yang mahir adalah jelas sekali bagi siapa pun yang memahami kehidupan modern, bahwa tersedianya tenaga listrik sangat mempengaruhi kehidupan satu bangsa masa kini. Tenaga listrik mempengaruhi sekali usaha bangsa mengusahakan kemajuan dalam berbagai bidang, baik itu kemajuan dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi maupun kemajuan dalam cara hidup bangsa.

Listrik juga amat mempengaruhi usaha bangsa mencapai kesejahteraan yang makin tinggi dan menjamin keamanan nasional yang menegakkan kedaulatan bangsa. Sebab pengaruh dari tersedianya listrik amat mempengaruhi produksi bangsa dalam berbagai macam barang dan jasa yang berakibat pada tingkat kesejahteraan bangsa dan keamanan nasionalnya. Itu sebabnya sering kali tingkat kemajuan satu bangsa diindikasikan dengan menunjukkan jumlah tenaga listrik yang dapat dihasilkannya dan didistribusikan dalam masyarakatnya.

Sekarang terbukti sekali bahwa Indonesia mengalami kegagalan dalam kebijaksanaan kelistrikan yang telah dilakukan pemerintah. Mengapa dapat dikatakan bahwa telah terjadi kegagalan dalam kebijaksanaan yang meliputi politik dan strategi dalam penyelenggaraan kelistrikan di Republik Indonesia.

Pertama, karena masyarakat dalam tahun 2009 mengalami pemadaman yang sering dan menimbulkan kesukaran dalam kehidupan, seperti kesulitan dalam penyediaan air, kesulitan dalam kegiatan rumah tangga seperti kemungkinan belajar untuk anak sekolah. Kedua, pemadaman yang sering dan cukup lama itu menimbulkan kerugian amat luas dalam kehidupan masyarakat dan bangsa. Tidak saja masyarakat harus mengalami pemadaman listrik berjam-jam dengan segala kesulitan yang timbul karenanya, lebih parah lagi adalah bahwa dunia bisnis Indonesia harus mengalami kerugian yang amat besar yang mau tidak mau mempunyai dampak baik lokal maupun nasional.

Pemadaman listrik yang cukup luas ini menunjukkan bahwa kurang ada manajemen nasional yang efektif dan berpandangan jauh. Tidak mustahil bahwa tidak ada penetapan sasaran tentang volume listrik yang harus diproduksi dalam 20 tahun mendatang, dan pada tahun 2009 sudah berapa yang harus tercapai. Andai kata penetapan sasaran itu ada, nampak sekali bahwa strategi pencapaian sasaran itu tidak ditetapkan dan dilaksanakan semestinya. Hal itu antara lain terlihat dalam pembangunan Pusat-Pusat Tenaga Listrik serta penyediaan bahan pembakar seperti batu bara secara kontinu dan memadai. Hal ini menunjukkan kelemahan dalam kebijaksanaan, bukan kesalahan teknis belaka.

Menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia, dunia bisnis di Jakarta dan sekitarnya mengalami kerugian sekitar Rp 100 milyar per hari karena ada pemadaman listrik bergilir. Padahal yang kena pemadaman listrik tidak hanya Jakarta, melainkan semua kota besar di Jawa dan Sumatra (khususnya Medan) yang semuanya telah berkembang menjadi sentra produksi, terutama industri.

Yang terutama terpukul adalah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) karena usaha ini mempunyai daya finansial jauh lebih kecil dari usaha besar. Dengan begitu UKM, di samping sudah harus menghadapi berbagai persoalan dalam berproduksi, terutama yang ditimbulkan oleh terjadinya Krisis Ekonomi Internasional sejak tahun 2008, sekarang harus pula menghadapi persoalan berat karena kurang teraturnya distribusi listrik.

Antara lain dikabarkan bahwa satu pabrik tekstil yang melakukan spinning dengan 80 mesin (jadi termasuk usaha menengah) mengalami kerugian sekitar Rp 900 juta per jam kalau produksinya harus berhenti karena pemadaman listrik. Dengan sendirinya hal demikian sangat menekan daya saing industri tekstil Indonesia, karena selain spinning juga fungsi weaving mengalami kerugian setiap ada pemadaman listrik. Dunia bisnis Indonesia yang sedang menghadapi persaingan berat dari negara tetangga, seperti makin kuatnya ekspor hasil produksi China, benar-benar mengalami ujian berat karena masalah listrik ini.

Menurut pimpinan KADIN Indonesia akibat buruk itu tidak hanya terbatas pada produksi, tetapi menyangkut hal-hal lain, seperti ketenagakerjaan. Bagaimana dapat dikurangi jumlah pengangguran kalau terbatasnya tenaga listrik membuat calon investor amat ragu membangun industri baru di Indonesia. Malahan sebaliknya ada perusahaan yang makin terjepit kemampuan keuangannya sehingga harus tutup. Jadi bukannya terwujud penciptaan kerja baru, tetapi yang ada malahan berkurang. Dan masalah pengangguran ini jelas bukan soal kesejahteraan belaka, melainkan juga berdampak pada keamanan nasional.

Hal ini berarti bahwa kesejahteraan dan keamanan nasional, atau Ketahanan Nasional Indonesia sedang mengalami kesulitan yang disebabkan oleh kegagalan dalam kebijaksanaan listrik pemerintah Indonesia. Hal ini adalah kegagalan kebijaksanaan pemerintah dan bukan kegagalan perusahaan listrik, karena luasnya akibat dari kekurangan tersedianya tenaga listrik bukan disebabkan semata-mata oleh fungsi teknik Perusahaan Listrik Negara (PLN) atau perusahaan lain, baik itu BUMN atau swasta.

Karena pentingnya faktor listrik dalam kehidupan masa kini, maka sejak semula kelistrikan di Republik Indonesia merupakan tanggung jawab Pemerintah. Untuk itu satu kementerian atau departemen ditetapkan untuk mengurus kelistrikan nasional, yaitu sekarang Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM).

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bahwa dalam kegagalan kelistrikan ini seakan-akan tidak ada pertanggungjawaban yang harus dilakukan pimpinan Departemen, yaitu Menteri ESDM. Segala akibat kegagalan nampak dibebankan pada direksi PLN belaka. Bahwa direksi PLN sebagai perusahaan yang dibebani pengurusan produksi listrik harus memikul tanggungjawab adalah jelas. Akan tetapi itu adalah tanggungjawab teknis, sedangkan faktor teknis adalah semata-mata pelaksana dari politik dan strategi yang ditetapkan Pemerintah. Maka seharusnya Menteri ESDM memikul tanggungjawab politik dan strategi dalam kegagalan kebijaksanaan kelistrikan ini.

Sering orang mengatakan bahwa dalam ketatanegaraan Indonesia seorang menteri adalah pembantu Presiden. Menteri memang pembantu Presiden, tetapi pembantu yang bertanggungjawab atas pelaksanaan fungsi yang mengurus salah satu bidang yang dihadapi Pemerintah secara keseluruhan. Sebab itu seorang menteri adalah Pejabat Negara dan bukan termasuk kategori Pegawai Negeri. Karena itu seorang menteri tidak hanya bertanggungjawab kepada Presiden, tetapi sebagai Pejabat Negara juga bertanggungjawab kepada Rakyat.

Menteri ESDM yang harus bertanggungjawab atas kegagalan dalam kebijaksanaan kelistrikan ternyata sudah menduduki jabatan itu sejak tahun 2000, yaitu duduk sebagai Menteri ESDM dalam pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid, Presiden Megawati Sukarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga tahun 2009. Dalam waktu 10 tahun itu ada kesempatan panjang untuk menetapkan politik dan strategi kelistrikan. Namun anehnya, hingga kini tidak pernah ada berita bahwa Menteri tersebut harus mempertanggungjawabkan kegagalan kelistrikan yang telah terjadi. Malahan ironinya, Menteri ESDM tersebut dipilih kembali untuk menduduki fungsi menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II yang dibentuk pada tahun 2009. Itu berarti bahwa ia dinilai berhasil atau sukses sebagai Menteri ESDM. Hanya sekarang tidak ditetapkan sebagai Menteri ESDM, melainkan Menteri Pertahanan. Hal ini bertentangan sekali dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa ia hanya memilih orang-orang dengan track record yang baik untuk menjadi menteri dalam Kabinet baru ini.

Tidak adanya sikap yang lugas terhadap faktor tanggungjawab yang harus dilakukan seorang menteri amat menurunkan mutu dan efektivitas manajemen nasional. Kalau menteri hanya dianggap sebagai pembantu Presiden tanpa tanggungjawab sebagai Pejabat Negara, tidak perlu ada menteri dalam pemerintahan. Paling-paling hanya diperlukan seorang koordinator yang mengkoordinasikan berbagai fungsi yang dilakukan dalam departemen pemerintahan itu. Akan tetapi pemerintahan seperti itu jelas tidak dapat mendukung dan menjamin adanya manajemen nasional yang efektif dan berhasilguna. Padahal Pemerintah Republik Indonesia memerlukan kepemimpinan dan manajemen nasional yang efektif dan berhasilguna untuk membawa bahtera negara kepada Bandar Tujuannya.

RSS feed | Trackback URI

2 Comments »

Comment by Pranggono
2009-12-03 17:10:32


Rasa tanggung jawab para pemimpin bangsa ini rasanya kwalitasnya tampak menurun bahkan hilang. Di mana letak kesalahannya ya Pak ? Saya lihat anak asuh Bapak tidak ada yang seperti itu. Contohnya waktu Santo Budiono menjabat Dirjen Hubdar, karena seringnya terjadi kecelakaan kereta api, beliau sempat minta mundur dari jabatannya. Malu karena gagal. Soal tidak boleh mundur oleh atasannya itu bukan salah beliau. Apa mungkin ada faktor bibit, bobot, bebet dalam kepemimpinan ya Pak ?Nuwun

Comment by sayidiman suryohadiprojo
2009-12-04 09:24:45


Sdr. Pranggono, ini masalah karakter orang. Banyak dari bangsa kita kurang kuat karakternya sehingga perbuatannya sering bertentangan dengan pikiran umum. Yang menyangkut tulisan saya ini, tidak hanya menterinya yang kurang karakter. Juga pejabat yang harus menuntut tanggungjawabnya, yaitu Presiden, yang kurang benar. Tidak hanya tidak minta pertanggungan jawab menteri, tetapi malahan memilihnya kembali sebagai menteri dalam kabinet baru, Tentang karakter, harap baca tulisan saya tentang Pembangunan Karakter Bangsa yang ada di blog ini. Salam,
Sayidiman

 
 
Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post