MASALAH PAPUA DAN FREEPORT

Posted by Admin on Tuesday, 22 November 2011 | Opini

Sayidiman Suryohadiprojo

Papua telah menjadi masalah bagi Indonesia. Dalam masalah yag rumit itu Freeport termasuk titik sentral yang amat penting. Kita tak akan mengungkit-ungkit berbagai kesalahan yang telah terjadi di masa lalu yang menyebabkan timbulnya persoalan ini. Tulisan ini memberikan alternatif bertindak untuk mengatasi masalah itu. Sebab berkembangnya masalah ini dapat sangat merugikan berlanjutnya NKRI.

Masalah Papua utama adalah kehendak untuk membentuk Papua Merdeka. Meskipun seakan-akan ini kehendak mayoritas penduduk Papua, namun dalam kenyataan hal itu hanya pikiran satu kelompok minoritas. Tapi minoritas ini bersuara keras dan dengan begitu dapat membentuk dukungan dari luar negeri yang memungkinkannya untuk terus berkembang. Meskipun banyak negara menyatakan secara terbuka bahwa mereka tidak mau mengganggu integritas dan kedaulatan NKRI, namun itu sering hanya pernyataan pemerintah negara-negara itu. Terdapat kalangan lain yang amat berkepentingan dengan perubahan di Papua yang dapat menguntungkannya. Freeport sebagai usaha mengeduk kekayaan besar yang menjadi kepentingan kalangan tertentu di AS dan Barat lainnya adalah salah satu sebab keinginan perubahan ini ketika negara-negara itu sekarang menghadapi masalah ekonomi dan politik gawat.

Sebab itu sikap yang harus dikembangkan adalah memisahkan kalangan kecil itu dari mayoritas penduduk Papua yang masih senang hidup dalam lingkungan NKRI. Sikap itu pada tingkat pertama adalah meningkatkan kesejahteraan hidup penduduk Papua yang sekarang tergolong paling miskin di Indonesia, baik dilihat dari sudut ekonomi maupun pendidikan dan kesehatan. Untuk itu Pemerintah Pusat RI harus secara kongkrit menjalankan usaha sehingga secara nyata dirasakan dan dilihat rakyat Papua umumnya, baik untuk urusan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Otonomi Khusus yang dilaksanakan di Papua hendaknya dimanfaatkan sebagai struktur pemerintahan untuk mewujdkan itu.

Bersamaan dengan itu TNI mengembangkan usaha Territorial yang merebut kepencayaan dan kedekatan hati rakyat Papua. Usaha sementara pihak selama Reformasi untuk mendiskreditkan dan melikuidasi Territorial sangat merugikan NKRI dan bangsa Indonesia. Bahwa pelaksanaan fungsi Territorial TNI sangat perlu diperbaiki adalah benar, tetapi bukan alasan untuk menghilangkan fungsi Territorial itu. Orang-orang yang mengatakan bahwa perebutan hati rakyat adalah fungsi pemerintahan semata-mata telah dibuktikan kesalahannya dalam pengalaman AS di Irak dan Afghanistan sehingga jenderal David Petraeus melakukan perubahan radikal dalam doktrin tentara AS. Doktrin baru itu banyak mirip fungsi territorial yang digariskan TNI. Fungsi Territorial TNI merupakan dukungan yang amat berharga bagi pemerintah yang meningkatkan kesejahteraan di Papua.

Merebut hati rakyat Papua adalah hal yang amat penting. Kondisi rakyat Papua dewasa ini dibandingkan rakyat lain umumnya di Indonesia cukup jauh tertinggal. Hal ini mudah sekali menimbulkan rasa inferior di satu pihak dan rasa superior di pihak lain. Sebab itu, sambil dilakukan peningkatan pendidikan umum bagi rakyat Papua harus dibesarkan hati mereka bahwa kita semua satu bangsa yang bagaikan satu Keluara Besar. Sebagaimana dalam keluarga maka tentu terdapat Perbedaan dalam Kesatuan Keluarga, tapi juga Kesatuan dalam Perbedaan itu. TNI yang melakukan fungsi territorial dengan baik dan efektif akan amat penting perannya untuk mewujudkan itu.

Bersamaan dengan itu ditingkatkan kemampuan Intelijen di Papua untuk menghasilkan informasi dan data kongkrit dan up-to-date dari perkembangan masyarakat. Dengan intelijen efektif dapat kita ketahui bagaimana peran luar negeri di Papua dan hubungannya dengan kelompok kecil yang mau memisahkan Papua dari NKRI. Juga penting untuk diketahui kekuatan yang merusak keamanan sehingga Polri dan TNI tidak mencampur adukkan rakyat yang tidak dosa dengan pihak yang merusak keamanan. Pukulan yang dilakukan terhadap pihak yang merusak keamanan justru akan ditanggapi positif oleh rakyat yang mau hidup tenteram dan sejahtera.

Masalah utama kedua adalah kehadiran perusahaan AS bernama Freeport di Papua. Sebagai akibat dari banyak kesalahan besar di masa lampau maka Freeport mempunyai posisi kuat di Papua. Dalam posisi itu Freeport yang beroperasi sejak tahun 1967 telah menimbulkan banyak ketidakpuasan pada rakyat Papua dan juga seluruh rakyat Indonesia. Itu menimbulkan sikap yang dapat membentuk kekerasan pada rakyat Papua yang tinggal sekitar daerah operasi Freeport. Yang amat penting adalah tidak digunakannya Polri dan TNI sebagai tameng Freeport terhadap rakyat Papua yang merasa dirugikan. Mungkin sekali Polri dan TNI dibenarkan Pem RI untuk melindungi Freeport agar tidak ada alasan bagi AS mengirimkan kekuatan bersenjatanya untuk melindungi Freeport. Akan tetapi yang menjadi masalah pokok adalah bahwa kehadiran Freeport tidak dirasakan mendukung kehidupan rakyat Papua. Oleh sebab itu masalah Papua sangat dipengaruhi peran Freeport.

Berhubung dengan itu adalah amat penting bahwa Pemerintah RI melakukan renegosiasi dengan Freeport. Kontrak Karya I yang dibuat pada tahun 1967 banyak mengandung kelemahan bagi Indonesia dan Papua. Sedangkan Kontrak Karya II pada tahun 1991 sama sekali tidak memperbaiki kelemahan di kontrak pertama itu. Harus kita akui semua bahwa Freeport telah mendapat berbagai konsesi yang hakekatnya kurang menguntungkan NKRI dan rakyat Papua. Seperti kenyataan bahwa Freeport tak perlu bayar PBB, land rent, bea balik nama kendaraan dan pajak lain yang menjadi pemasukan bagi Daerah. Tidak ada kewajiban community development sehingga masyarakat tidak memperoleh manfaat dari kehadiran Freeport di daerahnya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Indonesia hanya memperoleh 1% dari seluruh hasil operasi kembali Freeport. Sebab itu harus ada usaha kongkrit Pem RI yang mengatur kehadiran Freeport sehingga terwujud a better deal baik bagi NKRI maupun rakyat Papua.

Ada yang menghitung perolehan Freeport dari usahanya di Papua. Daerah operasi Freeport yang terutama ada di Ertsberg dan Grasberg mulanya digarap untuk menambang tembaga. Akan tetapi ternyata bahwa diperoleh emas dalam jumlah besar dan diakui bahwa daerah itu mempunyai kandungan emas terbesar di dunia. Dari tahun 1967 hingga 2010 telah dihasilkan 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas. Dengan harga emas Rp 500 ribu per gram saja produksi emas itu telah menghasilkan pemasukan Rp 362.350 trilyun atau per tahun (43 tahun sejak 1967-2010) Rp 8.426,7442 trilyun. Ini belum pemasukan dari hasil tembaga dan bahkan belakangan dikabarkan bahwa juga ada hasil uranium yang harganya bisa 100 kali harga emas. Satu perolehan yang amat besar dan bahkan melampaui APBN kita. Dari pemasukan itu Indonesia hanya dapat 1% saja, padahal itu adalah hasil daerah Indonesia. Benar-benar satu ketidakadilan yang tak boleh berlanjut, apalagi memperhatikan kondisi rakyat Papua yang miskin dan memerlukan banyak pendidikan dan usaha social lainnya.

Ketika pada tahun 1991 dibuat Kontrak Karya II yang berlangsung sampai tahun 2041 sama sekali tidak ada perbaikan posisi Indonesia dan daerah Papua. Sebab itu renegosiasi adalah hal yang harus dilakukan Pem RI. Boleh dikatakan bahwa renegosiasi dengan Freeport termasuk usaha amat penting untuk menjamin kelanjutan NKRI.

Memang usaha demikian pasti akan dilawan AS yang melihat tambang Freeoprt di Papua sebagai faktor amat penting dalam perbaikan posisinya secara politik dan ekonomi. Maka pasti Pem RI akan menghadapi berbagai rintangan dari AS dan Australia sebagai sekutu utama. Akan tetapi demi masa depan NKRI dan rakyat Papua Pem RI harus bersedia dan mampu melakukan berbagai usaha tanpa kena intimidasi penempatan kekuatan AS di Darwin berupa 2500 orang marinir dan kekuatan udara. Kita kerahkan diplomasi kita untuk mencari dan menemukan berbagai jalan dan akal agar tercapai tujuan kita. Sebab kita ada di jalan yang benar dan karena itu harus melakukannya.

Memang ini tantangan yang cukup rumit dan berat bagi Pemerintah RI, tapi keberhasilannya akan meninggalkan secara abadi nama dan reputasi unggul dalam Sejarah Bangsa Indonesia dan bahkan Sejarah Dunia.

Jakarta, 21 November 2011

RSS feed | Trackback URI

Comments »

No comments yet.

Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post