TANGGAPAN UNTUK KOMENTAR PROF DR SAPARINAH SADLI

Posted by Admin on Friday, 13 April 2012 | Catatan

Apa sebenarnya yang salah dari Cara Berpikir Barat ?

Ini adalah pertanyaan yang diajukan Ibu Sadli dalam komentarnya atas tulisan Cara Berpikir Pancasila sebagai Dasar untuk Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.

Kalau pertanyaan ini ditanyakan oleh orang Barat, maka jawabannya tergantung dari sudut mana penjawab melihat masalahnya. Akan tetapi kalau pertanyaan ini diajukan oleh manusia Indonesia untuk kepentingan kehidupan bangsa Indonesia, maka jawabannya sebenarnya telah diuraikan dalam tulisan Cara Berpikir Pancasila etc.

Cara Berpikir Barat sebagai hasil Renaissance menyatakan Individu sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan umat manusia. Individu itu dianggap berhak berbuat apa saja untuk kepentingan hidupnya. Bahkan dalam urusan ekonomi ia tidak hanya diperbolehkan, malahan dianjurkan untuk serakah (greed is a virtue). Ia mempunyai kekuasaan sepenuhnya atas hidupnya.

Karena setiap Individu dapat berbuat sama, maka ia menyadari ada masalah keamanan baginya. Maka untuk mengatasi masalah keamanan ini Individu sepakat dengan para Individu lain untuk masing-masing melepaskan sebagian dari kekuasaannya yang penuh itu untuk mencapai kontrak sosial antar Individu guna menjamin keamanan masing-masing. Jadi dalam masyarakat yang berpikir secara Barat keutuhan sosial bukan karena adanya harmoni antara Individu dan Masyarakat sebagaimana dalam cara berpikir Pancasila, melainkan untuk kepentingan Individu.

Dalam masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila setiap Indiividu juga perlu mengembangkan semua hal yang dapat memajukan dirinya, tetapi segala usaha itu bukan untuk kepentingan Individu belaka melainkan juga untuk kepentingan bersama, masyarakat. Dalam masyarakat berdasar Pancasila setiap Individu berbeda satu sama lain dan karena itu masing-masing melakukan usaha untuk kemajuannya. Akan tetapi pada saat sama setiap Individu selalu berada dalam Kesatuan satu organisasi kehidupan, yang terkecil Keluarga. Ia tidak mungkin mencapai yang terbaik dalam hidupnya tanpa menyelaraskan diri dengan Kesatuan itu. Berlaku selalu Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan.

Dalam hubungan itu Manusia dengan cara berpikir Pancasila juga dituntut melakukan critical thinking, tetapi berpikir kritis ini tidak benar kalau sampai merugikan Kesatuan. Memang saya belajar cara berpikir kritis sejak masuk sekolah dasar Belanda sampai sekolah menengah Belanda. Tetapi terus terang, saya merasa lebih bahagia (merasa at home) ketika saya masuk Taman Siswa dan mendapat ajaran Ki Hadjar Dewantara dan guru-guru Taman Siswa lainnya yang selain mendorong saya untuk terus berpikir kritis, tetapi juga selalu memperhatikan Kekeluargaan atau Kesatuan.

Saya juga tak setuju “arabisasi” masyarakat Indonesia, artinya mengorbankan nilai-nilai budaya Indonesia untuk mengambil nilai-nilai Arab. Ini disebabkan karena banyak manusia Indonesia mengidentikkan Arab dengan Islam, melupakan atau tidak menyadari bahwa Arab adalah pengertian kebangsaan sedangkan Islam pengertian universal. Jadi banyak orang Indonesia mengira bahwa untuk melakukan agama Islam dengan baik mereka harus jadi orang Arab dengan segala sifat dan aspek budayanya. Demikian pula westernisasi mengorbankan nilai kebangsaan Indonesia untuk nilai-nilai Barat. Memang ada nilai-nilai Barat yang mengandung persamaan dengan nilai-nilai Pancasila, seperti critical thinking tadi, juga yang Anda sebut kejujuran, disiplin dan kerja keras. Akan tetapi kita harus selalu sadar bahwa di samping persamaan itu ada perbedaan mendasar, yaitu faktor Kesatuan tadi. Jadi buat orang Barat kejujuran, disiplin dan kerja keras dilakukan dalam rangka memenuhi kepentingnnya, sedangkan buat orang Indonesia nilai-nilai itu diwujudkan dalam rangka kepentingannya sebagai Individu maupun untuk kepentingan Kesatuan. Orang Barat juga menganggap Karakter penting, seperti kita Indonesia. Sebab itu pendidikan Karakter di Indonesia harus didasari cara berpikir Pancasila agar Karakter yang berkembang itu hidup dalam alam Perbedaan dan Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan, dan tidak dalam alam Individualisme dan Liberalisme.

Karena cara berpikir Barat didasari kepentingan Individu, maka ia amat rasionalistis. Itu sebabnya buat Barat pengertian Tuhan Yang Maha Kuasa bukan sesuatu yang mendasar. Malahan materialisme sebagai salah satu dasar berpikir Barat menganggap Tuhan tidak ada. Sebaliknya dalam cara berpikir Pancasila Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber kehidupan dan pusat Alam Semesta. Maka kalau dalam dunia Barat digunakan ethica dan moralitas, itu adalah karena kepentingan Individu. Sebab Individu yang rasional tahu bahwa ia akan mencapai kepentingannya dengan lebih baik kalau ia bersikap ethis dan menghargai moralitas. Sedangkan dalam Pancasila bersikap dan menjunjung moralitas adalah sebagai bagian dari kehidupan yang dilandasi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Memang karena cara berpikir Barat amat rasional maka manusia Barat mampu mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang makin maju dan berkembang. Dengan itu masyarakat Barat membangun kesejahteraan fisik-material yang maju dan kaya. Akan tetapi pada ketika yang sama dorongan untuk mengejar kepentingan pribadi membuatnya agressif tanpa merasa perlu memperhatikan harmoni. Itulah yang melahirkan Imperialisme dan Kolonialisme. Dunia Barat menguasai planit Bumi. Sebab itu juga Komunisme yang dasarnya materialisme-historis hakikatnya produk cara berpikir Barat dan karena itu amat agressif terhadap kelompok non-komunis. Sebab itu para pemikir Barat seperti Ostwald Spengler, Huizinga, Jan Romein, Ortega y Gasset dan Sorokin memberikan peringatan kepada masyarakatnya untuk menyadari bahwa budaya Barat yang dilandasi cara berpikir Barat itu sedang menghadapi masalah yang besar, setelah mengalami masa yang maju, kuat dan sejahtera selama 400 tahun.

Jadi pertanyaan yang diajukan Ibu Sadli saya jawab bahwa salahnya cara berpikir Barat karena mengutamakan Individu secara berlebihan, Individu yang penuh kekuasaan tanpa mengakui bahwa Individu sebenarnya hidup dalam Perbedaan dan Kesatuan sekali gus.

Kesalahan mendasar lain adalah bahwa bersikap terlalu rasional sehingga berkembang materialisme sebagai pandangan hidup yang tidak mengakui nilai Ketuhanan.

 

Mengenai Role Model

Role Model adalah faktor penting dalam setiap usaha untuk menghasilkan perubahan. Buat masyarakat Indonesia perubahan itu menyangkut gerak kembali kepada Jati Diri Bangsa atau Restorasi Pancasila sebagai dasar kehidupan.

Sebab itu sebaiknya dimulai dengan mengadakan penelitian dan pendalaman serieus mengenai cara berpikir Pancasila sehingga terwujud pemahaman mendalam dan tahu apa yang harus dilakukan untuk menjadikan Pancasila kenyataan, bukan hanya kata atau slogan belaka . Bersamaan dengan itu diadakan Pendidikan Kader Pancasila untuk menjadikan hasil penelitian dan pendalaman itu sifat, sikap dan kebiasaan dalam kehidupan. Di dalam Pendidikan Kader itu Pendidikan Guru amat penting, baik Pendidikan Guru TK, Guru SD, SLTP maupun SLTA. Melalui Pendidikan Kader ini kita bangun kaum yang dapat menjadi role model bagi masyarakat Indonesia.

Secara subyektif saya menginginkan agar para Perrwira dan Bintara TNI menjalankan role model. Sebab Sapta Marga sebagai Ethik TNI secara tegas dan jelas menyatakan ketentuan-ketentuan yang mewajibkan anggota TNI bersikap dan hidup sesuai nilai-nilai Pancasila. Untuk itu perlu ada pendidikan Pancasila yang baik dan benar di lembaga-lembaga TNI yang membentuk dan mendidik para Perwira dan Bintaranya.

 

Peran Wanita dalam Masyarakat.

Saya berpendapat bahwa dalam masyarakat Indonesia dengan sifatnya yang asli terdapat posisi sama tinggi dan sama rendah antara pria dan wanita. Tetapi fungsinya berbeda. Hal itu dapat dilihat dalam sejarah Majapahit bahwa yang menjadi raja atau penguasa tertinggi tidak jarang wanita. Sampai kini dalam masyarakat Minangkabau malahan kaum wanita yang memegang posisi menentukan dalam sistem adat matriarchaat. Juga di masyarakat Bugis peran wanita setingkat dengan pria.

Bahwa terjadi perkembangan yang menempatkan wanita dalam peran subordinate terhadap pria, menurut saya adalah salah satu akibat arabisasi . Jadi ambil alih budaya asing secara salah. Sebab itu berkembangnya cara berpikir Pancasila mudah-mudahan dapat menjadi jalan untuk restorasi nilai-nilai Indonesia.

 

Catatan Akhir

Saya tidak mau menghakimi Barat dan cara berpikirnya. Akan tetapi saya ingin memberi sumbangan kepada kemajuan bangsa Indonesia secara mantap. Dan itu tidak mungkin selama bangsa Indonesia masih dalam alam penjajahan budaya Barat yang tak disadari kebanyakan orang, termasuk kaum cendekiawannya.

Contoh paling jelas adalah mengamandemen UUD 1945 demikian rupa sehingga terjadi perbedaan dan bahkan pertentangan antara fasal-fasal dalam Batang Tubuh dengan Pembukaan. Padahal dalam Pembukaan UUD 1945 tersimpul Dasar Negara RI. Dan itu semua menuju ke usaha likuidasi Pancasila secara step by step oleh orang-orang Indonesia yang terpelajar, didukung secara letterlijk en figuurlijk oleh orang dan organisasi Amerika.

Kalau memang mau jadi orang Barat atau berpikir Barat mengapa tak ada keberanian untuk secara terang dan tegas menyatakan itu, dan tidak bersembunyi sebagai pejuang nasional palsu. Almarhum Prof Takdir Alisyahbana sekurangnya berani menyatakan mengapa ia menghendaki cara berpikir Barat, dan pada tahun-tahun dekat akhir hidupnya mengakui bahwa ia dulu salah dalam membuat kesimpulan. Jadi jangan kaum cendekiawan Indonesia mengatakan bahwa mereka mengakui Pancasila sebagai Dasar Negara RI tetapi yang dilakukan adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila, seperti menjalankan politik ekonomi yang berdasarkan neo-liberalisme. Sikap munafik ini bukan karena ignorance tetapi semata-mata satu karakter fout. Tidak beda dari kaum cendekiawan Indonesia yang berpihak kepada penjajah Belanda ketika bangsanya memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatannya.

Inilah tanggapan saya atas komentar Ibu Prof Dr Saparinah Sadli.

 

Wassalam,

Sayidiman Suryohadiprojo

RSS feed | Trackback URI

1 Comment »

Comment by arifin.
2013-09-12 03:43:54


Jadi muslim yg baik terutama harus hafal terjemahan faatihah.

 
Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post