HUBUNGAN SAYA DENGAN PAK HARTO

Posted by Admin on Sunday, 20 May 2012 | Catatan

Sayidiman Suryohadiprojo

Permulaan Hubungan Yang Dingin

Hubungan saya dengan almarhum Jenderal Besar Soeharto belum termasuk dalam Otobiografi yang saya terbitkan pada tahun 1997 dengan judul Mengabdi Negara sebagai Prajurit TNI. Sekarang pada tahun 2012 ingin saya hal itu diketahui anak cucu saya. Demikian pula akan saya lengkapi otobiografi itu dengan tulisan tentang Hubungan saya dengan almarhum Pak Yani, Jenderal Anumerta Achmad Yani.

Hubungan saya dengan Pak Harto (PH) saya sebut sebagai jauh-jauh dekat. Saya tidak pernah masuk inner circle PH, tetapi sebagai anggota TNI saya pernah menduduki jabatan yang membuat saya cukup dekat dengan beliau. Dan hubungan saya dengan Presiden RI ke-2 itu jauh lebih banyak dari pada hubungan saya dengan Presiden RI ke-1.

Hubungan saya dengan Presiden Sukarno terbatas pada pemberian latihan gymnastik kepada beliau waktu saya masih Taruna Akademi Militer Yogya pada tahun 1946. Waktu itu mungkin Bung Karno mendengar bahwa ada Taruna AM baru selesai menjalani pendidikan di Sekolah Olah Raga (SORA) di Sarangan. Beliau minta kepada Pak Suwardi, Gubernur AM, agar menugaskan beberapa orang Taruna memberikan latihan gymnastik kepada beliau dan staf beliau. Pak Suwardi menunjuk saya dan 2 Taruna lain untuk melakukan itu dan kemudian kami bertiga setiap pagi dijemput kendaraan dari Gedung Negara. Itu adalah pertama kali saya melihat Bung Karno dalam bentuk dan rupa sebenarnya. Orang yang biasanya kita lihat sebagai pemimpin yang gagah beruniform dan berpeci hitam, sekarang saya lihat sebagai orang yang mulai gendut perutnya dan botak kepalanya. Waktu itu BK berusia 45 tahun. Dengan rajin BK dan para pembantunya mengikuti petunjuk kami melakukan gerak-gerak gymnastik. Akan tetapi setelah 4 bulan kami memberikan latihan BK rupanya menghadapi pekerjaan yang makin banyak. Dan beliau menghentikan latihan gymnastik itu. Setelah itu saya tak pernah lagi ada hubungan langsung dengan BK, kecuali ketika pada bulan November1948 dalam upacara Wisuda Taruna AM beliau menyerahkan ijazah kepada saya dan menyatakan bahwa kami berhak menjadi Letnan Dua dalam TNI-AD.

Juga setelah menjadi Perwira TNI saya tak pernah berhubungan dengan BK secara pribadi. Saya selalu bertugas di pasukan lapangan dan pendidikan di daerah yang tak ada hubungan dengan Presiden RI secara langsung. Hanya pada 21 Juni 1970 saya layat Bung Karno sebelum jenazah diberangkatkan untuk dimakamkan di Blitar.

Saya mulai kenal atau dikenal PH ketika pada tahun 1961 PH ditetapkan sebagai Panglima Satuan Cadangan Umum AD (CADUAD), yaitu bagian organisasi baru dalam TNI-AD. Di hari kemudian Caduad berubah nama menjadi Komando Strategi AD (KOSTRAD). Saya baru ditempatkan sebagai Komandan Resimen Taruna Akademi Militer Nasional (DAN MENTAR AMN) setelah menyelesaikan pendidikan di Kursus Pendidikan Perwira Lanjutan Dua Infanteri (KUPALDA INF) di Bandung. Oleh Gubernur AMN, Kolonel Surono, saya ditugaskan menjadi Dan Mentar di Akademi Teknik AD (ATEKAD) di Bandung. Atekad baru saja oleh pimpinan TNI-AD digabungkan pada AMN dengan tetap membentuk dan mendidik calon Perwira untuk Cabang Zeni, Peralatan dan Perhubungan. Mulai saat itu Atekad ada di bawah pimpinan Gubernur AMN di Magelang. Ketika melapor kepada Pak Surono yang saya kenal baik karena pada tahun 1951 bersama-sama mengikuti pendidikan Kursus Persiapan HKS yang diselenggarakan SUAD bersama Misi Militer Belanda. Pak Surono mengatakan bahwa di Atekad belum ada Dan Mentarnya, padahal jumlah Tarunanya waktu itu sama atau lebih banyak dari AMN Magelang. Beliau mengatakan bahwa beliau menghendaki para Taruna Atekad, sekalipun sudah diarahkan untuk masuk korps Zeni, Peralatan dan Perhubungan, menjadi Perwira TNI dengan sikap yang tak beda dari Perwira TNI yang dibentuk di AMN Magelang. Sebab itu saya sebagai Perwira Infanteri dan cukup berpengalaman sebagai komandan pasukan Infanteri, harus mendidik dan melatih mereka seperti Taruna yang dididik di Magelang. Maka saya tidak menjadi Dan Mentar AMN melainkan Dan Mentar Atekad.

Di samping tugas pokok sebagai Dan Mentar Atekad SUAD memerintahkan saya untuk membantu Pak Harto yang waktu itu berpangkat Brigadir Jenderal dalam pembentukan Caduad. Atas dasar perintah Staf Umum AD (SUAD) itu saya pergi ke Jakarta dan melaporkan diri kepada PH. Kesan saya pertama dari PH adalah seorang no-nonsense general, seorang jenderal yang lugas tanpa banyak bicara. Beliau membawa banyak Perwira yang sudah biasa membantu beliau di Kodam Diponegoro, seperti letkol Munadi, letkol Sunggoro dan lainnya. Juga ada Perwira yang baru selesai dari Kupalda bersama saya, seperti mayor Suprapto dan mayor Ali Murtopo. Pak Harto mengatakan bahwa saya tidak perlu ada di Caduad setiap saat karena memegang jabatan Dan Mentar Atekad yang tentu memerlukan perhatian dan konsentrasi penuh. Hanya kalau diperlukan kehadiran saya maka saya akan dihubungi untuk datang di Jakarta. Itu sebabnya hubungan saya dengan PH yang mulai terbentuk tidak menjadi hubungan erat karena saya hanya sekali-sekali bertemu beliau. Mungkin itu pula sebabnya bahwa saya tidak dibawa PH ketika Caduad menjadi Kostrad, beda dengan Perwira Caduad lainnya yang menjadi anggota Staf Kostrad.

Pada tahun 1963 letnan jenderal A. Yani Menteri Panglima TNI-AD (Menpangad) menarik saya dari Atekad untuk menjadi anggota SUAD, yaitu menjadi Paban Organisasi SUAD 2. Sebagai pembantu pimpinan TNI-AD dalam pengurusan Organisasi AD saya kembali “bersentuhan” dengan PH. sebagai Pang Kostrad. Meskipun tidak ada ketentuan resmi tertulis namun Pak Yani memperlakukan PH sebagai Orang Kedua di TNI-AD, setelah Menpangad. Mungkin Pak Yani melakukan itu untuk menjaga hubungan baik secara emosional dengan PH, karena ketika ada di lingkungan Kodam Diponegoro PH lebih senior dari Pak Yani. Jadi Pak Yani selalu menjaga agar tidak ada perasaan kurang kondusif ketika sekarang keadaan terbalik, yaitu Pak Yani sebagai Menpangad dalam posisi senior terhadap PH yang Pang Kostrad.

Meskipun Pak Yani selalu menghormati PH dan menjaga hubungan emosional yang baik itu, namun saya merasa bahwa PH tidak terlalu “sreg” dalam hubungan beliau dengan SUAD. Saya merasakan itu acapkali kalau menghadap PH untuk minta pendapat beliau tentang keadaan dan perkembangan organisasi. Saya merasa bahwa kami sebagai perwira SUAD oleh PH dianggap kelompok Yani dan sikap PH terhadap kami terasa “dingin”. Hal itu juga dirasakan kolonel Muskita yang menjabat Wakil Ass2 SUAD. Mungkin PH tetap kurang enak di bawah Pak Yani meskipun Pak Yani menghormati beliau.

Hubungan Menjadi Lebih Normal

Hubungan saya dengan PH menjadi jauh lebih intensif setelah terjadi Peristiwa G30S/PKI dan beliau menggantikan Pak Yani sebagai Menpangad. Saya baru kembali dari penugasan pendidikan di Fuehrungs Akademie di Jerman beberapa hari sebelum PKI melakukan pukulannya. Ketika saya hendak melapor kepada Pak Yani beliau melalui ADC beliau memerintahkan saya untuk cuti dulu selama 14 hari, dan setelah itu melapor kepada beliau. Ketika dalam masa cuti di lingkungan keluarga saya yang masih tetap berumah di Bandung, PKI melakukan pukulannya. Jadi saya belum sempat lapor dan bertemu Pak Yani ketika beliau wafat. Satu hal yang amat saya sesalkan karena saya menjadi dekat dengan Pak Yani sejak menjadi anak buah beliau sebagai anggota SUAD.

Saya ditilpon oleh pimpinan Suad 2 , yaitu mayjen Djamin Gintings, agar segera mengakhiri cuti saya dan kembali bertugas. Setelah kembali di Jakarta Pak Djamin Gintings tugasi saya memegang jabatan Paban Operasi yang waktu itu kosong. Sebagai Paban Operasi saya menjadi amat aktif dalam mengurus berbagai macam kegiatan dan karena itu juga berhubungan dengan PH yang memegang pimpinan TNI-AD menggantikan almarhum Pak Yani . Apalagi setelah PH pindah kantor dari kantornya di Kostrad ke kantor Menpangad di MBAD. Sebagai Paban Operasi saya bertanggungjawab atas pengamanan beliau. Hal itu cukup penting karena setelah memimpin TNI-AD PH tentu menjadi sasaran pihak G30S/PKI, apalagi karena PH berhasil menggagalkan usaha mereka merebut kekuasaan di Indonesia.

Ketika PH melakukaan perombakan SUAD setelah begitu banyak pejabatnya menjadi korban pengkhiatan G30S/PKI, beliau juga melakukan penggantian pimpinan SUAD 2. Pak Djamin Gintings sebagai Assisten 2 Menpangad, diganti dengan brigjen Sumitro yang sebelumnya menjadi Pangdam di Kalimantan Timur, dan kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi mayor jenderal. Entah kena apa saya ditugaskan mengganti brigjen Muskita sebagai Wakil Assisten 2. Ketika itu pangkat saya kolonel. Kemudian saya mendapat kenaikan pangkat menjadi brigjen.

Sebagai Waas 2 saya tidak jarang mewakili Pak Mitro dalam berbagai rapat SUAD. Waktu itu letjen Maraden Panggabean menjadi Wakil Menpangad . Ternyata pada tahun 1966 PH menetapkan Pak Mitro sebagai Panglima Kodam Brawijaya. Karena secara resmi Pak Mitro juga Assisten 2 Menpangad, maka jabatan itu banyak ditinggalkan dan dalam kenyataan saya sebagai Waas 2 yang berfungsi sebagai Ass2. Ini membawa saya dalam posisi yang lebih dekat dengan PH. Saya mengurus pengamanan beliau dan segala hal yang bersangkutan dengan kegiatan beliau. Mungkin karena itu PH mulai percaya kepada saya sekalipun tadinya dianggap kelompok Yani. Hal itu mungkin juga karena saya sering berhubungan dengan kolonel Sudjono Humardani, seorang Perwira yang amat dekat dengan PH dan menjadi Assisten Pribadi (Aspri) PH. Saya harus sering membantu Pak Djono untuk mendapatkan angkutan udara dengan pesawat Penerbangan AD (Penerbad) dan hal-hal serupa itu. Dan Pak Djono pasti puas dengan bantuan saya yang cepat dan tidak pernah gagal. Pasti Pak Djono menyampaikan hal ini kepada PH.

Masalah kepercayaan ini saya anggap penting untuk dapat melakukan tugas dengan mantap. Dan hal itu masih perlu saya bangun karena dulu PH menganggap saya bagian dari kelompok Pak Yani. Sudah saya uraikan bahwa waktu itu, yaitu ketika PH menjabat Pang Kostrad, bersikap dingin terhadap kami Perwira SUAD yang menjadi bawahan Pak Yani. Sikap PH yang kurang normal terhadap Pak Yani waktu itu kemudian oleh sementara pihak yang menganalisis terjadinya G30S/PKI dijadikan salah satu faktor terjadinya penculikan Pak Yani dan para Pahlawan Revolusi lain. Saya pribadi kurang percaya terhadap teori itu. Buat saya sikap PH yang kurang “sreg” waktu itu lebih banyak timbul karena PH merasa aspek senioritas telah dilanggar ketika beliau ditempatkan dalam posisi di bawah Pak Yani sebagai Menpangad. Di lingkungan Diponegoro yang sangat dipengaruhi cara berpikir Jawa-Mataram faktor senioritas sangat dipegang teguh. Tidak jarang saya mengalami bawahan saya yang berasal dari Diponegoro bicara dalam bahasa Jawa “kromo inggil” dengan saya, sekalipun mereka berpangkat Perwira. Saya selalu tidak mau melayani mereka dengan berbahasa Jawa dan menjawab dalam bahasa Indonesia agar mereka merasa bahwa saya kurang suka mereka berbahasa Jawa dengan saya. Akan tetapi mereka tetap berbahasa Jawa karena merasa kurang sopan bicara dengan atasan dalam bahasa Indonesia, seakan-akan menjadikan mereka setingkat dengan saya sebagai atasan.

Kepercayaan PH terhadap saya mungkin juga tumbuh karena peran saya dalam Seminar TNI-AD ke II yang kemudian merumuskan Orde Baru, yaitu Tatanan yang melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila dengan murni dan konsekuen. Juga peran saya dalam Seminar ABRI yang dilakukan setelah itu. Serta mulai pelaksanaan fungsi-fungsi dalam TNI-AD sesuai dengan berbagai keputusan yang telah diambil dalam dua seminar itu Kepercayaan itu membawa PH pada keputusan menetapkan saya sebagai Pangdam XIV Hasanuddin di Makassar pada tahun 1968. Mungkin kepercayaan PH terhadap saya juga menguat karena isteri saya Sri Suharyati di lingkungan Persit Chandra Kirana menjadi dekat dengan Ibu Tien Soeharto.

Pada waktu menjadi Pangdam Hasanuddin Negara kita mulai dengan Pembangunan Nasional. Segera terasa adanya tindakan-tindakan Pemerintah yang memperbaiki kondisi ekonomi yang dalam tahun-tahun terakhir pemerintahan Presiden Sukarno amat berantakan sampai mengakibatkan inflasi yang tingginya bukan kepalang, yaitu 620 %. Saya percaya bahwa PH serieus dalam kepemimpinannya membawa Negara maju dan rakyat sejahtera, Pada waktu itu belum ada indikasi perbuatan korupsi seperti yang berkembang kemudian. Masyarakat dengan penuh harapan dan optimisme bekerja untuk membuat perbaikan dan kemajuan. Kepemimpinan PH mulai terasa di Daerah-Daerah.

Pada tahun 1970 saya ditarik kembali ke Jakarta untuk menjadi Ketua Gabungan Personil Staf Hankam. Pak Harto telah menjadi Pd Presiden RI tapi masih merangkap sebagai Menhankam Panglima ABRI. Baru saja PH putuskan untuk melakukan integrasi ABRI. Angkatan Perang dan Polri yang tadinya merupakan organisasi otonoom dipimpin seorang menteri, berubah menjadi satu keutuhan. Tidak ada lagi Menteri Panglima AD, Menteri Panglima AL, Menteri Panglima AU, Menteri Panglima AK. Yang ada hanya Menteri Hankam Panglima ABRI. Dengan perubahan itu semua Angkatan dan Polri ada di bawah Menhankam Pangab. Dalam Departemen Hankam ada Staf Umum dan Staf Departemental serta Staf Kekaryaan. Staf Umum yang menjadi staf bagi Pangab untuk mengendalikan ABRI, sedangkan Staf Dep bersifat staf yang membantu Menteri. Di Staf Umum yang dipimpin Kepala Staf Umum (KASUM) ada Ketua G-1 Intelijen, Ketua G-2 Operasi, Ketua G-3 Personil, Ketua G-4 Logistik, Ketua G-5 Territorial dan Ketua G-6 Komunikasi. Saya menjadi Ketua G-3 mengurus personil seluruh ABRI.

Dalam jabatan itu saya tidak hanya langsung berhubungan dengan Wakil Panglima ABRI (Wapangab) yang dijabat jenderal M. Panggabean, tetapi juga dengan PH sebagai Menhankam Pangab. Karena dalam integrasi ABRI factor personil sangat menonjol, khususnya mengatur pembinaan personil , perencanaan karier, pendidikan, penindakan menyangkut pemindahan dan lainnya..Dengan makin meningkatnya hubungan saya dengan PH rupanya PH benar percaya kepada saya. Pada awal tahun 1973 saya dipanggil Pak Panggabean yang menyampaikan bahwa saya ditetapkan menjadi Wakil Kasad dalam penggantian personil yang akan dilakukan. Jendr Umar Wirahadikusumah sebagai Kasad akan diganti jendral Surono dan letjen Yasin sebagaiWakasad akan saya ganti. Dengan penetapan ini saya akan melampaui banyak Perwira TNI-AD yang setingkat dan di atas saya. Mendengar itu saya spontan kemukakan bahwa lebih baik jangan saya yang jadi Wakasad karena mungkin sekali banyak orang akan marah kepada saya Lebih baik Pak Surono memilih sendiri wakilnya. Tetapi Pak Panggabean menjawab : Tidak bisa, ini sudah keputusan Pak Harto. Sebab ini penting dalam memimpin TNI-AD yang harus melakukan persiapan untuk Alih Generasi secara lancer pada tahun 1982. Kan itu konsep Alih Generasi yang kamu sendiri ajukan tempo hari, kata Pak Panggabean.

Memang ketika menjabat Wakil Assisten 2 SUAD saya memberikan peringatan kepada pimpinan bahwa TNI-AD bisa mengalami persoalan dalam kepemimpinan karena di tahun 1951 Pak A.H. Nasution menutup Akademi Militer. Karena itu sejak saat itu hingga keluar lulusan pertama Akademi Zeni AD yang tidak banyak jumlahnya pada tahun 1958 serta adanya Perwira lulusan KMA Belanda yang juga hanya beberapa orang saja, tidak ada tambahan Perwira lulusan Pendidikan Perwira bagi AD. Ketika AMN dibuka kembali hasilnya pertama baru diperoleh pada tahun 1960, yaitu angkatan Eddy Sudradjat dan Saiful Sulun. Beda dengan AL yang sejak 1951 membuka Institut AL kemudian berubah nama menjadi Akademi AL, ada aliran Perwira baru secara teratur bagi AL. Lagi pula AL dan AU tidak banyak jumlah Perwira generasi 1945 yang harus diganti, sehingga jumlah Perwira baru yang dihasilkan cukup memadai untuk tidak menimbulkan persoalan. Berbeda sekali dengan AD yang pada tahun 1982 dan sesudahnya akan kehilangan mayoritas Perwiranya Generasi 1945. Sebab Undang-Undang mengatakan bahwa Perwira TNI harus pensiun pada umur 55 tahun. Pada tahun 1982 Perwira kelahiran 1927 harus pensiun, padahal mayoritas Perwira Generasi 1945 kelahiran 1927 atau lebih tua. Hal ini saya sampaikan kepada pimpinan TNI-AD pada tahun 1967 dan rupanya terus diperhatikan PH. Dan sekarang perlu dilakukan persiapan untuk melakukan Alih Generasi AD yang teratur. Sebab itu, kata Pak Panggabean, Pak Surono sebagai mantan Gubernur AMN ditetapkan sebagai Kasad dan saya yang memikirkan konsep Alih Generasi harus membantu beliau sebagai Wakil Kasad.

Maka nyata sekali bahwa saya mendapat kepercayaan PH sekalipun tidak masuk inner circle beliau. Kemudian sebagai Wakasad saya berusaha melakukan hal-hal yang akan menjamin Alih Generasi AD yang lancer. Namun ada persoalan yang tidak terlalu terduga. Ketika menjadi Ketua G-3 Hankam saya pernah didatangi Ali Murtopo yang menjabat sebagai Assisten Pribadi PH merangkap sebagai pimpinan Operasi Khusus. Ia mengatakan bahwa saya yang diserahi PH membina Perwira Generasi Muda perlu mengusahakan agar di lingkungan kaum muda itu ada kemauan mendukungnya dalam operasi politiknya. Waktu itu AM sudah terkenal di lingkungan para Perwira Senior TNI sebagai political operator bagi PH, tetapi juga tidak tertutup kemungkinan untuk membangun ambisi politik pribadinya. Jadi dia minta saya menyiapkan para Perwira Generasi Muda untuk mendukungnya. Saya jawab : Kita lihatlah nanti ! Hari berikutnya saya kebetulan ketemu mayjen Sutopo Yuwono yang menjabat sebagai Kepala BAKIN. Ia langsung mengatakan : Kamu didatangi Ali ya ! Dan ia minta bantuan. Hati-hati sebab para Senior akan marah kalau tahu kamu mendukung kehendak Ali. Saya jawab : Saya kan bukan orang gila atau bodoh !

Ketika saya menjadi Wakasad rupanya Ali Murtopo (AM) harapkan saya memenuhi permintaannya. Akan tetapi hal itu pasti tak disetujui Pak Surono dan para Senior lainnya yang kurang suka dengan praktek2 Ali yang sering bertentangan dengan rasa etika kami Perwira TNI. Jadi saya tak pernah melakukan hal-hal yang diharapkan Ali. Satu saat Ali membalas saya dengan tindakan yang menimbulkan keretakan dalam kepercayaan PH terhadap saya. Kesempatan itu didapat Ali ketika terjadi Peristiwa Malari pada tahun 1974, satu peristiwa yang mengagetkan dan menunjukkan ada perubahan dalam sikap sebagian masyarakat terhadap PH.

Masyarakat yang pada tahun-tahun setelah terjadi G30S/PKI sepenuhnya di belakang pemerintah yang dipimpin PH mulai mengalami perkembangan. Bertambah baiknya keadaan ekonomi mungkin menjadi sebab perubahan itu. Di pihak pemerintah memang ada praktek-praktek yang kurang disukai masyarakat, khususnya tindakan para Assisten Pribadi Presiden, yaitu Ali Murtopo dan Sudjono Humardani. Seperti biasa perkembangan itu dimulai para mahasiswa. Mahasiswa yang dalam organisasi KAMI-KAPPI tadinya kuat mendukung pemerintah mulai bersikap kritis, terutama terhadap Aspri Presiden, Tidak mustahil juga ada permainan intel Barat yang sedang berat menghadapi persaingan Jepang dalam bidang ekonomi, termasuk AS yang sekutu Jepang yang kuat. Adanya kecurigaan peran intel Barat didorong oleh kenyataan bahwa gerakan masyarakat melawan kuatnya posisi Jepang di bidang ekonomi terjadi di seluruh Asia Tenggara. Di Indonesia Aspri dituduh para mahasiswa sebagai pembuat jalan licin bagi usaha Jepang serta kaum non-pribumi keturunan Tionghoa yang kerjasama dengan Jepang.

Gerakan melawan Jepang memuncak ketika pada awal tahun 1974 Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka membuat kunjungan ke Asia Tenggara. Di Bangkok dan Kuala Lumpur ada demonstrasi keras ketika ia datang. Negara terakhir dalam kunjungannya adalah Indonesia. Para mahasiswa di Jakarta berhasil menggerakkan massa rakyat untuk bergerak dan berusaha melakukan pengrusakan perusahaan Jepang. Tanggal 15 Januari 1974 sebagai tanggal kedatangan PM Tanaka merupakan hari Jakarta penuh pembakaran dan pengrusakan. Akan tetapi syukur bahwa PM Tanaka sendiri tidak mengalami masalah kecuali rencana yang dapat dilaksanakan terbatas pada kunjungan ke Istana Negara untuk membicarakan hubungan Indonesia-Jepang.

Rupanya ada sekelompok Perwira Generasi Muda yang memelihara hubungan dengan kaum mahasiswa yang bergolak. Ali Murtopo memanfaatkan hal ini untuk “menghukum” saya karena tidak memenuhi permintaannya. Ia melaporkan kepada PH bahwa saya di belakang kelompok Perwira Generasi Muda itu dan memanfaatkan tugas yang saya emban untuk mempersiapkan Alih Generasi guna membentuk kelompok itu. Rupanya PH mulai goyah kepercayaannya kepada saya, karena Ali Murtopo sebagai Aspri memang dekat dengan PH. Hal itu bertambah kuat ketika PH menanyakan kepada Pak Panggabean sebagai Menhankam Pangab dan Pak Surono sebagai Kasad tentang kebenaran laporan Ali dan kedua pejabat itu tidak memberikan respons yang menolak laporan Ali. Mungkin dalam kondisi yang tegang itu Pak Panggabean dan Pak Surono tidak mau ambil risiko berlawanan dengan Ali Murtopo yang dikenal lihay. Jadi mereka biarkan saja saya sebagai korban fitnah yang mereka tahu kebohongannya. Adalah aneh tapi nyata bahwa saya tak sakit hati terhadap AM atas perlakuannya terhadap saya itu, saya anggap peristiwa ini bagian dari pengalaman dan perjuangan sebagai Perwira TNI.

Yang malahan terpukul adalah istri saya Sri Suharyati yang merasa kami dperlakukan tidak adil. Mungkin karena frustrasi berat itu istri saya pada tahun 1976 tiba-tiba diserang sakit aneh yang belum penah saya dengar sebelumnya, yaitu polycythemia vera, badan memproduksi butir darah merah dalam jumlah berlebihan besarnya sehingga pusat syarafnya terganggu dan ia menjadi lumpuh di bagian kanan badan serta kehilangan kemampuan bicara, sampai akhir hayatnya pada tahun 1994. Kata Pak Surono ketika menengok isteri saya : Yik kamu memang kuat, tapi Tjiek tidak ! Akan tetapi AM di hari kemudian malahan mendapat pembalasan, bukan dari saya tapi saya yakin dari Tuhan. Pada perayaan ulang tahunnnya pada tahun 1982 ketika ia berada di Tokyo bersama dengan rombongan CSIS yang dipimpinnya, ia malahan mengeluarkan segala unek-uneknya kepada saya ketika merasa diperlakukan tidak benar oleh PH.

Akibat fitnah AM luas juga bagi karier militer saya dalam TNI. Sebab tak lama kemudian saya dipindahkan dari jabatan Wakasad ke jabatan Gubernur Lemhannas atau akhir bagi karier militer saya. Waktu itu banyak kawan saya mencela saya mengapa tidak langsung menghadap PH untuk menjelaskan perkara sebenarnya. Mereka melihat bahwa saya menjadi korban fitnah Ali Murtopo. Saya jawab : sebagai seorang Perwira TNI dan bukan politikus saya tidak dapat melampaui atasan-atasan saya, yaitu jendral Surono sebagai Kasad dan jenderal M. Panggabean sebagai Menhankam Pangab. Bahwa mereka tidak berusaha menolak fitnah terhadap saya adalah hak mereka meskipun tentu dari sudut karakter kepemimpinan hal demikian kurang baik. Akan tetapi tidak ada manusia yang sempurna. Saya hanya menganggap Ali Murtopo berhasil membalas saya.

Setelah serah-terima jabatan Gubernur Lemhannas dengan letjen RA Kosasih, mantan boss saya di Siliwangi ketika beliau menjadi Pangdam Siliwangi dan saya Dan Yon 309, saya mohon idzin jendral Panggabean untuk menghadap PH. Pada tahun 1974 Lemhannas belum kembali di bawah Presiden RI seperti ketika lembaga itu diresmikan Presiden Sukarno pada 20 Mei 1965 dan berfungsi langsung di bawah Presiden RI. Malahan waktu itu Gubernur Lemhannas, mayjen Wiluyo Puspoyudo, berstatus menteri negara. Nanti saya usahakan agar Lemhannas dikembalikan pada status itu kembali dan berhasil menjadi kenyataan pada tahun 2008 ketika Prof Muladi menjadi Gubernur.

Ketika menghadap PH dan melaporkan bahwa saya telah berubah menjadi Gubernur Lemhannas PH mengatakan : Ya lakukan tugas baru dengan baik. Dan kalau melakukan sesuatu bicarakan dengan teman. Ucapan ini menandakan bahwa PH percaya saya telah melakukan sesuatu yang kurang beres, yaitu hal yang dilaporkan AliMurtopo kepada beliau. Akan tetapi saya tidak bereaksi dan hanya mengatakan : Baik Pak, tugas akan saya lakukan sebaik mungkin.

Selama menjadi Gubernur Lemhannas saya tak pernah berhubungan dengan PH. Hanya saya perhatikan bahwa jalannya pemerintahan RI makin menimbulkan kekurangpuasan banyak kalangan karena dinilai makin menguntungkan pihak Barat, khususnya AS. Pengaruh AS disalurkan lewat Bank Dunia dan IMF yang memang dikuasai AS. Sedangkan di pihak Indonesia usaha itu disalurkan melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin Prof,DR. Widjojo Nitisastro serta kaum ekonom lainnya yang bergabung di belakang Prof Widjojo. Mereka adalah para ekonoom lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang melanjutkan studi mereka di AS atas dukungan biaya Ford Foundation. Banyak dari mereka studi di Universitas di Berkeley California. Pengaruh kelompok itu terhadap ekonomi Indonesia makin kuat sehingga kaum ekonoom lain yang bukan lulusan FE-UI dan AS demi masa depan karier mereka, turut bergabung pada mereka. Ada yang kemudian menyebut kelompok Widjojo itu Berkeley Mafia meskipun tidak semua lulusan Berkeley.

Prof Widjojo menjadi orang dekat PH karena PH amat tertarik padanya ketika PH menjalani Kursus C di Seskoad Bandung pada tahun 1963. Ketika itu Presiden Sukarno sudah amat dekat dengan PKI dan telah membubarkan partai-partai Masyumi dan PSI. Ada orang PKI berhasil memfitnah Prof Widjojo dan Prof Sadli yang dosen Fakultas Ekonomi UI bahwa mereka anggota atau pendukung PSI. Memang dua professor itu mendapat tugas belajar di AS karena dikirimkan Prof Sumitro Djojohadikusumo ketika beliau menjadi Dekan FE UI dan seorang tokoh PSI . Kemudian Prof Sumitro bergabung dengan para pemberontak PRRI/Permesta. Akibat fitnah itu hampir saja Widjojo dan Sadli mengalami penangkapan oleh BPI yang dipimpin dr Subandrio. Jendral A.Yani yang segera sadar atas fitnah PKI itu mengusahakan menyelamatkan mereka dari penangkapan. Pak Yani yang cukup dekat dengan BK waktu itu berhasil melerai BK dan menjamin bahwa dua prof itu tidak akan melawan Pimpinan Besar Revolusi Sukarno. Maka Pak Yani minta pimpinan Seskoad yang dipegang letjen Sudirman dengan mayjen Suwarto sebagai wakil, untuk memberikan Widjojo dan Sadli pengamanan di Seskoad. Hal serupa kemudian dilakukan Pak Yani untuk menyelamatkan Prof Mochtar Kusuma Atmadja dan lainnya yang dicurigai BK sebagai musuh Revolusi Indonesia.

Sebagai dosen Seskoad Prof Widjojo memberikan kuliah kepada PH ketika beliau turut Kursus C. Rupanya PH amat tertarik pada Widjojo yang pintar dan penuh sopan santun atau andap asor. Maka ketika PH memegang pimpinan Negara beliau menarik Prof Widjojo sebagai pembantu dalam Ekonomi. Sejak itu Widjojo menjadi orang yang amat berpengaruh dan berkuasa dalam mengatur ekonomi Indonesia. Para ekonoom FE UI seperti Ali Wardhana, Sumarlin, Subroto dibawa serta dan tentu Prof Sadli yang secara uur lebih tua dari mereka. Itulah kelompok Berkeley Mafia yang telah membawa Indonesia dalam wilayah pengaruh AS dan Barat umumnya.

Yang merasa sangat dirintangi kelompok Widjojo adalah letjen Ibnu Sutowo yang waktu itu memimpin perusahaan minyak Pertamina. Pak Ibnu suka mendatangi Lemhannas untuk curhat kepada saya, terutama kalau beliau ada masalah dengan kelompok Widjojo dalam usahanya mengembangkan usaha Pertamina. Saya bilang kepada Pak Ibnu bahwa PH mendukung Widjojo cs karena PH memerlukan bantuan Barat untuk mensukseskan Pembangunan Nasional yang diperjuangkannya. Tanpa dukungan PH kelompok Widjojo tidak akan begitu kuat kekuasaannya. Karena itu sebaiknya Pak Ibnu berusaha meyakinkan Pak Harto bahwa Pembangunan Nasional dapat sukses tanpa tergantung pada Widjojo cs serta pendukung mereka di Barat.

Saya tahu bahwa Pak Ibnu juga dekat dengan PH yang berkepentingan dengan perkembangan minyak dan gas bumi Indonesia yang kuat. Dan Pak Ibnu kuat kepemimpinannya serta dapat menimbulkan respek di dunia internasional, seperti di Jepang dan AS. Sayangnya Pak Ibnu satu saat menimbulkan masalah karena Pertamina terlibat dalam keadaan keuangan gawat. Hal itu sampai menjatuhkan Pak Ibnu dari posisinya sebagai pimpinan Pertamina dan hal ini tentu menguntungkan kelompok Widjojo. Hebatnya Pak Widjojo adalah bahwa pengaruhnya atas pemerintahan RI tidak terbatas pada pemerintahan PH, tetapi berlanjut pada Presiden Habibie, Abdulrahman Wahid dan Megawati. Sebab itu Republik Indonesia yang mengakui Pancasila sebagai Dasar Negara dalam kenyataan melaksanakan politik ekonomi yang dikuasai paham neo-liberalisme. Tidak ada yang peduli bahwa dalam UUD 1945 ada fasal 33 yang mengharuskan ekonomi di Indonesia harus dibangun untuk kesejahteraan rakyat banyak.

Rupanya PH setuju dengan politik ekonomi kelompok Widjojo, sekurang-kurangnya tidak menolak. Hal ini sebetulnya aneh karena PH menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya azas yang berlaku dalam kehidupan bangsa Indonesia. PH pun selalu dekat dengan kaum petani dan nelayan serta golongan rendah masyarakat kita tanpa dibuat-buat karena beliau berasal dari golongan itu. Akan tetapi rupanya PH seorang pragmatis sungguh-sungguh dan ia melihat peran Widjojo cs dengan dukungan AS penting bagi keberhasilan pemerintahannya. Terbukti nanti sikap PH ini justru menjadi sebab utama kejatuhannya pada tahun 1998. Sebab Krisis Ekonomi tahun 1997 sangat kuat memukul Indonesia, jauh lebih kuat dari pada pukulannya terhadap negara Asia Tenggara lainnya. Dan itu terutama disebabkan kondisi Indonesia sebagai hasil politik ekonomi kelompok Widjojo yang mengembangkan neo-liberalisme.

Sebab itu saya kurang setuju kalau di kemudian hari hanya PH dan ABRI disalahkan karena menjadikan Orde Baru tidak melakukan hal-hal yang telah ditetapkan, yaitu tatanan yang melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Atau ada pula yang menuduh kepemimpinan PH saja sebagai sumber kondisi bangsa yang merugikan masyarakat. Sedangkan kaum ekonoom yang membawa Indonesia kepada neo-liberalisme dengan segala akibat kemiskinan rakyat banyak seperti tak termasuk yang bersalah. Malahan ada di antara mereka mengatakan bahwa mereka menjadi korban politik Orde Baru, padahal umumnya mereka justru menikmati banyak keuntungan dalam posisi mereka. Menurut saya mereka telah meninggalkan Pancasila ssecara sadar, karena sebagai cendekiawan yang pandai berpikir dan membuat analisis mereka secara sadar meninggalkan fasal 33 UUD 1945. Malahan menurut Prof Sri Edi Swasono ada Dekan FEUI yang tentu masuk kelompok Widjojo menolak kehendak Rektor UI, Prof Mahar Mardjono, untuk memberikan penghargaan Doctor Honoris Causa kepada mantan Wakil Presiden RI Drs Mohamad Hatta. Alasan mereka pikiran ekonomi Bung Hatta sudah ketinggalan zaman. Tentu sikap Dekan FEUI itu tidak lepas dari keputusan Widjojo yang bertindak sebagai godfather Berkeley Mafia. Akhirnya malahan Fakultas Hukum UI yang melakanakan kehendak Rektor Mahar Mardjono.

Bahwa Prof Widjojo tetap bepengaruh dalam pemerintahan setelah PH lengser menunjukkan bahwa para Presiden dalam Era Reformasi kurang mampu mengimbangi wibawa intelektual Prof Widjojo. Bahkan Presiden Habibie tidak mampu mengimbangi Widjojo, mungkin karena menyadari bahwa beliau bukan pakar ekonomi dan tidak mempunyai pembantu dekat yang ekonoom unggul. Memang sangat disayangkan bahwa tidak ada ekonoom Indonesia lainnya yang mampu mengembangkan konsep dengan dasar fasal 33 UUD 45. Bahkan yang mendapat kekuasaan besar dalam mengurus ekonomi , seperti Dr. Rizal Ramli yang menjabat Menteri Keuangan dan Menko Ekuin dalam pemerintahan Presiden A.Wahid dan Drs Kwik Kian Gie yang menjabat Menko Ekuin dan Menteri Bappenas dalam pemerintahan Presiden Megawati. Jadi kalau orang-orang itu kemudian banyak mengritik penjabat ekonomi yang neo-liberalis adalah sikap yang tidak semestinya, karena ketika mereka mendapat kesempatan untuk mengurus dan mengendalikan ekonomi nasional, hasilnya juga jauh dari memuaskan.

Saya tak setuju dengan politik ekonomi neo-liberalisme itu. Secara pribadi saya menghormati Prof Widjojo yang presis satu hari lebih muda dari saya. Beliau seorang yang selalu sopan santun, vriendelijk kata orang Belanda , seorang pekerja keras yang cerdas. Akan tetapi saya tidak setuju dengan pandangan kemasyarakatnnya yang neo-liberalis. Saya tak mengerti mengapa Widjojo, seorang anggota TP Jawa Timur dalam Perang Kemerdekaan, orang yang cerdas kok bisa terpikat oleh paham neo-liberalisme yang jelas-jelas menimbulkan masyarakat yang berpihak kepada golongan kaya yang sedikit jumlahnya, tak peduli rakyat banyak miskin serta penuh kesenjangan antara kaya dan miskin. Selain itu menjadikan Indonesia “budaknya” AS dan kaum kapitalisnya.

Akan tetapi karena saya bukan ekonoom saya tak mau dikatakan “schoenmaker, hou je bij jouw leest” , satu pepatah Belanda yang artinya “jangan bicara tentang hal yang bukan keahlianmu”. Saya konsentrasi pada pekerjaan saya dan pada tahun 1975 Lemhannas dapat menyelesaikan konsep Ketahanan Nasional. Setelah saya lakukan presentasi depan Menhankam Pangab M. Panggabean dan Staf Umum, Staf Departemental serta Staf Kekaryaan Hankam konsep itu diterima dan disahkan sebagai dokumen Hankam resmi. Kemudian Lemhannas melakukan sosialisasi ke berbagai instansi dan lembaga pendidikan Negara. Pada Sidang MPR kemudian juga diterima sehingga konsep Ketahanan Nasional menjadi dokumen dan doktrin NKRI. Erat dengan Ketahanan Nasional adalah konsep Wawasan Nusantara.

Karena kegiatan dan pekerjaan saya yang memberikan manfaat bagi Pemerintah RI dan Negara, PH nampaknya kembali percaya kepada pengabdian saya untuk Negara dan Bangsa. Itu terbukti ketika istri saya sakit keras sejak 1976 dan tidak dapat memperoleh pengobatan yang menyembuhkan. Pada tahun 1978 saya telah menjabat 3 tahun sebagai Gubernur Lmhannas dan tanpa ada yang menyarankan saya menerima keputusan PH untuk menjadi Duta Besar di Jepang. Ketika saya menghadap beliau dan baru kali itu ketemu PH sejak melapor untuk menjabat Gubernur Lemhannas pada tahun 1975, PH mengatakan bahwa beliau menetapkan saya jadi duta besar di Jepang agar istri saya mendapat pengobatan yang lebih baik. Dan beliau mengatakan pula : Nanti Pemerintah akan membantu dengan biaya pengobatan karena gajimu tentu tak cukup untuk itu. Ini indikasi bahwa PH masih memerhatikan saya. Atau mungkin PH mulai sadar bahwa saya telah menjadi korban fitnah AM dan istri saya tak kuat menghadapi ktidakadilan itu, seperti dikatakan Pak Surono tentang sakitnyaTjiek.

Sebelum berangkat ke tempat tugas saya melapor kepada PH sebagai Presiden RI. Beliau memberikan petunjuk-petunjuk untuk pelaksanaan tugas saya nanti. Pertama beliau menegaskan agar saya selalu meyakinkan pemerintah dan dunia swasta Jepang bahwa Indonesia akan selalu konsekuen dalam pengiriman minyak dan gas bumi yang amat dibutuhkan Jepang. Pada tahun 1974 dunia tertimpa Krisis Minyak yang amat memukul negara-negara industri besar sebagai konsumen migas besar, seperti AS, Jepang, negara Eropa Barat. Khususnya Jepang sangat besar ketergantungannya dari migas impor karena tidak ada produksi dalam negeri. Suplai migas Indonesia amat penting bagi Jepang. Kedua, saya harus menjaga agar suuplai beras dari Jepang ke Indonesia berjalan lancar. Ketika itu Indonesia masih harus sangat meningkatkan produksi beras yang sudah amat tertinggal oleh pertambahan penduduk yang amat gencar. Kita harus banyak mengimpor beras dan Jepang termasuk pengsuplai beras yang penting. Ketiga, saya harus mengusahakan agar dunia perikanan Jepang mau melakukan kerjasama dengan perikanan di Maluku dengan membentuk joint venture atau usaha patungan dengan perusahaan negara perikanan yang ada di Maluku. PH minta hal ini agar para nelayan Indonesia, khususnya di Maluku, ketularan sifat nelayan Jepang yang betah berhari-hari di tengah laut dan baru kalau hasil penangkapan cukup banyak kembali ke pangkalan. Sekarang nelayan kita hanya melaut semalam dan langsung kembali. Dengan begitu penangkapan terbatas, dan penghasilan tidak dapat bertambah dengan cukup besar. Kapal yang berhari-hari di laut akan didatangi setiap hari oleh kapal yang mengambil hasil tangkapan untuk langsung dipasarkan, termasuk ke luar negeri. PH ingin agar nelayan Indonesia lebih produktif dan efektif dalam kerjanya agar penghasilan nelayan yang waktu itu paling rendah di Indonesia, bahkan di bawah penghasilan petani, dapat meningkat.

Sebagai duta besar di Jepang saya jauh dari PH. Akan tetapi setiap bulan saya membuat laporan tertulis langsung kepada Presiden di samping laporan saya kepada Menlu Mochtar Kusuma Atmadja. Ini saya lakukan setelah mendapat cerita pengalaman Dr. Sudjatmoko yang mantan duta besar di AS dan menjadi Rektor Universitas PBB yang ada di Tokyo. Dengan membuat laporan tertulis tiap bulan , kata mas Koko, kita jaga jangan sampai Presiden mendapat laporan dari pihak lain tanpa ada imbangan pendapat duta besar. Saya setuju dengan pendapatnya, terutama karena pasti PH mendapat banyak informasi dari Aspri Pres Sudjono Humardani yang melalui konco2nya pengusaha non-pribumi mempunyai kontak dengan pihak Jepang tertentu. Dan Menlu tentu tidak bisa hanya membatasi pengetahuannya tentang Jepang. Akan tetapi untuk menjaga hubungan saya dengan Menlu tindakan saya ini saya sampaikan dan Mochtar setuju dengan perbuatan saya. Melalui laporan bulanan ini setiap bulan PH mendapat informasi tentang semua aspek perkembangan masyarakat Jepang, di samping laporan tentang perkembangan pelaksanaan tugas saya sebagai duta besar. Agar saya dapat membuat laporan bulanan yang selengkap mungkin maka saya tidak batasi informasi saya dengan membaca surat kabar berbahasa Inggeris. Sebab pihak Jepang sengaja membuat surat kabar berbahasa Inggeris bagi masyarakat asing, sehingga dalam surat kabar bahasa Inggeris tidak dimuat hal-hal yang menyangkut perkembangan yang oleh Jepang dinilai tak perlu diketahui pihak asing. Saya rekrut Dr. Arifin Bey yang pakar Jepang dan mengajar di Universitas Tsukuba, untuk secara teratur membaca semua surat kabar bahasa Jepang dan memberikan laporan kepada saya tentang hal-hal yang tidak ada dalam harian bahasa Inggeris.

Dalam tugas sebagai duta besar saya jarang sekali pulang ke Indonesia. Perjalanan ke Indonesia yang membawa saya bertemu PH adalah ketika PM Jepang Zenko Suzuki melakukan kunjungan resmi ke Jakarta. Saya mendahului kedatangan rombongan Jepang untuk mem-brief PH dan Menlu tentang hal-hal yang perlu mereka ketahui. Ketika bertemu PH nampak bahwa beliau cukup puas dengan pekerjaan saya. Ini indikasi tentang manfaat laporan bulanan saya. Briefing kepada PH tentang pribadi Zenko Suzuki amat berguna bagi PH. Selain itu saya membawa Ade Darisman penterjemah saya dan telah mendapat pengakuan resmi pihak Gaimusho atau Kemlu Jepang sebagai penterjemah bahasa Jepang, untuk mendampingi PH dalam semua pertemuan beliau dengan pihak Jepang. Dengan begitu pihak Indonesia dan PH tidak tergantung pada penterjemah yang disediakan kedutaan besar Jepang di Jakarta. Hal ini penting dilihat dari sudut ketepatan penterjemahan maupun faktor sekuriti.

Selama saya menjadi duta besar di Jepang hanya sekali Presiden RI melakukan kunjungan ke Jepang, yaitu pada tahun 1982. Itupun hampir batal karena tepat ketika PH mau datang ke Jepang negara itu mengalami krisis kabinet. Pada saat itu PH dan rombongan berada di AS juga dalam kunjungan resmi. Rencana beliau dari AS akan ke Tokyo. Pada waktu itu kabinet Jepang demisioner dan dalam proses pergantian kabinet. Saya segera telpon PH untuk mohon petunjuk tentang rencana beliau menghadapi perubahan mendadak itu. Beliau instruksikan agar saya menjajagi apa Presiden RI tetap dapat melanjutkan kunjungan resmi di Jepang sekalipun kabinet demisioner. Hal ini merupakan persoalan pelik bagi para pemimpin Jepang ketika hal itu saya rundingkan dengan Menlu Jepang. Akan tetapi beruntung saya karena pimpinan pemerintah Jepang tetap akan dipegang pemimpin partai yang sama dengan yang demisioner, yaitu dari Partai Demokrat Liberal (LDP). Hanya pemimpin faksi lain LDP akan membentuk kabinet baru, yaitu Yasuhiro Nakasone yang pemimpin salah satu faksi LDP akan menggantikan Zenko Suzuki dari faksi Ohira.

Maka kunjungan resmi Presiden RI dengan rombongan dapat tetap berlangsung. Keberhasilan ini merupakan plus point bagi saya karena mengindikasikan bahwa sebagai duta besar saya berhasil membentuk lingkungan persahabatan luas di kalangan Jepang. Saya membuat acara kunjungan bersama pejabat kementerian luar negeri Jepang yang seluas mungkin bagi PH dan Ibu Tien, sekalipun kunjungan itu tidak resmi penuh tanpa adanya kabinet Jepang yang berkuasa. Acara itu meliputi kunjungan ke Kaisar Jepang dan Permaisuri, pertemuan setengah resmi dengan calon Perdana Menteri Nakasone dan tokoh-tokoh Jepang lainnya. Saya juga acarakan satu kunjungan ke proyek perumahan murah yang menjadi minat PH . Maka kunjungan 4 hari berlangsung baik dan lancar, dan baik pihak PH serta para menteri yang ikut rombongan maupun pihak Jepang puas dengan hasil pertemuan. Juga Ibu Tien Suharto dan para Ibu menteri yang ikut dalam rombongan dapat mencapai kepuasan. Dengan bantuan anak saya Ami yang saya datangkan dari Jakarta untuk menggantikan peran ibunya yang sakit, dapat dibuat berbagai acara untuk Ibu-Ibu yang terutama berminat belanja. Dapat kita urus bahwa pihak departement store Takashimaya memindahkan sebagian usahanya ke Wisma Duta dengan memperagakan barang-barang yang terutama menjadi minat Ibu-Ibu. Sebelumnya Ami telah menanyakan kepada Ibu Tien dan para ibu lainnya barang apa yang mereka inginkan. Dengan begitu para Ibu tak perlu pergi ke Ginza yang pasti menimbulkan masalah gawat untuk pengamanan mereka. Dan mereka tetap dapat belanja hal-hal yang mereka inginkan. Kunjungan PH dan Ibu Tien ke Kaisar dan Permaisuri juga berjalan baik dan penuh keramah-tamahan. Saya mendampingi dengan membawa Ami. Pada malam terakhir PH dan rombongan saya undang makan malam di Wisma Duta, dan PH sekali gus bertemu masyarakat Indonesia di Tokyo. Juga Ibu Tien dapat bertemu isteri saya yang selama kunjungan tidak dapat mendampingi saya. Ibu Tien dan isteri saya sudah lama berkenalan dengan baik. PH juga melihat bahwa isteri saya dalam keadaan gembira, sekalipun sakitnya pun tak dapat disembuhkan para dokter Jepang.

Pendeknya kunjungan Presiden dan rombongan membawa kepuasan dalam berbagai segi.

Sikap Ibu Tien Soeharto yang normal terhadap saya menegaskan bahwa usaha kelompok tertentu untuk mengkambinghitamkan saya kepada Ibu Negara dengan isyu bahwa saya di Tokyo suka main perempuan, telah gagal. Sebelumnya saya menerima laporan dari seorang Staf Kedutaan bahwa cara kerja saya sebagai duta besar telah merugikan satu kelompok di Jakarta yang disponsori Ali Murtopo dan Benny Murdani. Sebelumnya kelompok itu bebas menghubungi dunia bisnis Jepang dan menggarapnya agar lebih suka berhubungan dan berbisnis dengan kelompok pengusaha di Indonesia binaan mereka. Dengan begitu pengusaha Indonesia yang tak mau bergabung dengan kelompok itu tidak mungkin atau sukar sekali mendapat hubungan dengan dunia bisnis Jepang. Itu berarti kelompok binaan AM dan LBM itu bisa menguasai dunia bisnis Indonesia. Cara kerja saya dalam menghubungi seluruh aspek masyarakat Jepang, termasuk Keidanren dan Japan Chamber of Commerce, membuat usaha kelompok AM itu berantakan. Sebab itu berusaha agar saya diganti dengan orang yang cocok untuk mereka. Untuk itu mereka gunakan cara yang tidak langsung tapi amat efektif. Sudah lama diketahui bahwa pengaruh Ibu Negara terhadap PH dalam bidang personil amat besar. Dan Ibu Negara sangat tidak suka kepada pejabat yang main perempuan, terutama kalau mengawini perempuan lain di luar istrinya yang sah. Karena kelompok itu tahu bahwa istri saya sakit mereka mau isyukan kepada Ibu Negara bahwa saya suka main perempuan dan bahkan mempunyai “simpanan” istri Jepang. Dengan cara itu mereka usahakan Ibu Negara mengusulkan kepada PH supaya saya diganti. Akan tetapi dalam kunjungan Ibu Negara bersama PH ke Jepang itu sama sekali tidak ada indikasi bahwa beliau mencurigai saya. Ibu Tien sangat ramah kepada saya dan istri. Saya mengakhiri tugas saya sebagai duta besar di Jepag pada tahun 1983 secara normal.

Hubungan Sepadan

Setelah saya selesai menjalankan tugas sebagai duta besar dan melaporkan diri kembali kepada Presiden, saya mengucapkan banyak terima kasih telah diberi kesempatan menjalankan tugas di Jepang serta dapat melakukan pengobatan untuk isteri saya. PH mengatakan bahwa saya selanjutnya diperlukan menjadi penasehat untuk menteri Habibie yang di samping menjadi Menteri Riset & Teknologi serta Ketua BPPT, juga diserahi memimpin Industri Strategis meliputi perusahaan produksi baja PT. Krakatau Steel, perusahaan pesawat terbang Nurtanio yang kemudian berubah nama menjadi PT Dirgantara, perusahaan produksi senjata PT Pindad, perusahaan kapal PT PAL, perusahaan telekomunikasi PT Inti, perusahaan kereta apa PT INKA dan perusahaan mesiu PT Dahana. Saya ditetapkan menjadi Penasehat untuk Industri Pertahanan. Saya mengira bahwa seperti para mantan duta besar lain saya akan menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), tetapi ternyata tidak. PH menghendaki saya sepenuhnya mendampingi Habibie. PH sadar bahwa Habibie perlu memperoleh perlindungan seorang Perwira TNI senior untuk menghadapi AD, AL dan AU yang industrinya dipisahkan dari tubuh Angkatan dan diserahkan pimpinannya kepada menteri Habibie. Selain memang Habibie memerlukan saran dengan aspek teknologi militer juga bantuan untuk masalah-masalah personil yang sering amat njlimet.

Mulai waktu itu hubungan saya dengan PH bukan lagi dari hubungan atasan-bawahan, melainkan hubungan sepadan antara dua pribadi yang mengabdi negara dan bangsa Indonesia. Tak ada lagi hubungan saya dengan PH yang bersangkutan dinas pekerjaan. Hanya ada hubungan pribadi ketika saya menikahkan Adwin dengan Daisy dan Ria dengan Bob. Setelah acara pernikahan saya membawa penganten dan besan untuk sowan PH dan Ibu Tien di Jalan Cendana. Pertemuan dua kali itu berlangsung penuh kekeluargaan. Saya menyampaikan bahwa saya tak mengundang PH dan Ibu Tien ke akad nikah dan resepsi untuk mengurangi kegiatan PH dan terutama Ibu Tien yang pernah mengeluh bahwa beliau untuk menghadiri akad nikah yang amat pendek harus menyediakan waktu amat panjang untuk berpakaian dan lain keperluan.

Hubungan saya dengan PH sudah berkembang menjadi hubungan antara dua orang yang sepadan karena saya tak merasa lagi menjadi “anak buah” beliau. Ketika lapor kembali dari Tokyo saya juga menyampaikan bahwa PH tak perlu memikirkan saya karena saya bisa mencari jalan dan kehidupan saya sendiri. Hal ini saya nyatakan untuk meringankan pikiran beliau yang sering diganggu orang-orang yang minta bantuan macam-macam. Akan tetapi menurut Sudjono Humardani saya tidak pantas menyatakan itu, karena dianggap PH bahwa saya tak mau dekat dengan beliau. Namun ketika mengantarkan penganten saya tak merasakan bahwa saya dianggap tidak dekat dengan beliau.

Pada akhir tahun 1980-an saya menerima surat dari PH minta sumbangan tulisan untuk buku yang akan diterbitkan berhubung dengan kehidupan PH. Ketika saya menerima surat itu saya menganggap permintaan itu hanya bosa-basi karena saya bukan masuk inner circle , juga bukan pejabat tinggi seperti menteri yang pilihan PH. Jadi saya tak membuat tulisan. Akan tetapi kemudian saya mendapat telpon dari Adjudan Presiden. Ia bilang bahwa PH menginstruksikan untuk tanya saya tentang permintaan sumbangan tulisan itu. Wah, saya terkejut, jadi surat itu serieus ! Saya langsung jawab bahwa tulisan sebentar lagi selesai dan besok pagi akan saya antarkan ke Cendana.

Saya segera membuat tulisan. Dalam bagian pertama tulisan itu saya sebutkan segala kekuatan yang ditunjukkan PH. Seperti kecakapannya sebagai Strateeg Militer dan Strateeg Politik, sifatnya yang dekat dengan Rakyat seperti para petani dan nelayan, sifatnya sebagai Family Man, yaitu setia kepada istri dan keluarga , kemampuan memimpin para menteri yang banyak bergelar intelektual tinggi dengan mendapat pengakuan jujur dari menteri-menteri itu. Ali Wardhana yang sekian lama menjadi menteri keuangan, mengatakan kepada saya dalam kunjungannya ke Tokyo : mula-mula kalau mereka menghadap PH mereka banyak memberikan masukan kepada beliau tentang hal-hal yang bersifat teknis dan PH rajin menulis uraian mereka, tetapi pada tahun 1980 keadaan berbalik. PH banyak bicara dan mereka yang menulis. Menunjukkan bahwa PH betul-betul menguasai semua aspek pemerintahannya.

Dalam bagian kedua saya katakan bahwa saya kurang dapat memahami mengapa PH dengan berbagai kekuatan itu masih acap kali menunjukkan kurang percaya diri melalui tindakan-tindakan memukul pihak lain. Tindakan-tindakan itu menurut penglihatan saya malahan merugikan PH. Antara lain menjadikan Megawati justru seorang pemimpin yang didukung orang-orang yang menganggap tindakan PH tidak fair. Padahal sebelum itu Megawati hanya punya nama karena ia puteri Bung Karno. Juga terbentuknya kelompok Perwira TNI yang menamakan diri Kelompok Petisi 50 dengan Ali Sadikin sebagai pemimpin adalah akibat tindakan PH dan Aspri Pres yang dinilai kurang pada tempatnya. Padahal andai kata menggunakan kekuatan beliau untuk mengajak mereka bicara, tentu posisi PH lebih kuat.

Maka sebagai kesimpulan yang tertulis di bagian ketiga saya sarankan agar PH mempertimbangkan perubahan dalm posisi beliau ketika berada dalam puncak kekuatan dan keberhasilan. Ketika seluruh dunia memperhatikan Indonesia yang telah berkembang maju dengan kepemimpinan PH. Pada saat itu sebaiknya PH melepaskan keterlibatan beliau dalam kehidupan formal kenegaraan. Dan menempatkan diri sebagai Ketua Badan Pembina Golkar. Saya katakan bahwa dalam posisi itu PH tetap akan mempunyai pengaruh terkuat dalam perpolitikan Indonesia. Tidak akan ada Presiden RI tanpa persetujuan beliau dan berbagai keputusan kenegaraan penting pun demikian. Saya bandingkan itu dengan tindakan Lee Kuan Yew yang telah menarik diri dari kekuasaan formal dengan meninggalkan posisinya sebagai Perdana Menteri Singapore dan cukup dengan posisi Senior Minister. Seperti juga Deng Xiaoping di China yang sekarang hanya disebut Senior Leader, tetapi dalam kenyataan tetap orang paling berkuasa di China sebab pengaruhnya secara informal berdampak pada seluruh kehidupan China. PH sebagai Ketua Badan Pembina Golkar juga akan tetap orang paling berkuasa di Indonesia.

Saya tulis itu semua untuk menghargai pribadi PH sebagai Manusia mumpuni dan untuk memperkuat kondisi NKRI. Dan saran melepaskan posisi formal penting untuk mencegah perkembangan keadaan yang makin banyak menimbulkan ketidakpuasan bahwa PH sudah terlalu lama berkuasa Selain itu saya lihat itu sebagai cara yang smooth untuk pergantian orang berkuasa tanpa mengurangi kondisi stabil yang telah terwujud selama kepemimpinan PH.

Pada hari berikutnya saya antarkan tulisan itu ke Cendana dan saya sampaikan kepada PH melalui Adjudan Presiden. Sekitar seminggu kemudian pak Dipayana, seorang pejabat di Sekretariat Negara minta ketemu saya. Ia mengatakan bahwa PH telah membaca tulisan saya. Beliau bertanya apa semuanya itu harus dimuat dalam buku. Saya jawab : ya, karena memang pandanngan saya tentang PH yang pribadinya akan dikemukakan dalam buku yang akan terbit itu. Dipoyono tanya apa tidak bagian pertama saja yang dimuat agar bagian kedua dan saran tidak dibaca umum. Ia juga mengatakan bahwa ia ditugaskan PH menjadi editor buku itu. Saya jawab : buat saya lebih berdampak pada pihak pembaca apabila mereka membaca seluruh pribadi Soeharto. Dalam kehidupan tak ada manusia sempurna tanpa kelemahan, dan hanya Tuhan yang sempurna. Akan tetapi kalau pak Dipoyono sebagai editor mau memotong tulisan saya, itu hak editor dan sebagai penulis saya tidak dapat berbuat lain. Ternyata ketika buku terbit tulisan saya dimuat tapi bagian pertama saja.

Karena saya tak pernah ada di lingkungan Cendana saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi ketika tulisan saya dibaca PH. Hal itu baru saya ketahui setelah PH lengser keprabon pada 21 Mei 1998. Bustanil Arifin yang pembantu dekat PH mengatakan kepada harian Kompas dalam mengomentari PH lengser : Sebetulnya pada tahun 1986 pak Sayidiman telah menyarankan itu kepada PH. Ketika saya baca komentar Bustanil itu saya langsung menelpon dia dan bertanya apa yang terjadi waktu itu.

Bustanil bilang bahwa setelah PH membaca tulisan saya mengatakan kepada Bustanil yang sedang di Cendana : Bus ini ada tulisan temanmu Sayidiman yng menyarankan agar saya mengundurkan diri sebagai Presiden. Bustanil tanya : Bagaimana pendapat Bapak ? PH menjawab dengan ketawa dan nada Betawi : Tak Useeh Yeeh !

Saya amat menyayangkan reaksi PH. Saya yakin andaikata beliau mengikuti saran saya dan pada tahun 1988 sudah lepas dari jabatan formal, PH tak akan mengalami yang terjadi pada beliau sejak tahun 1997. Beliau akan dapat mengatur pergantian pejabat Presiden RI sesuai dengan kehendak beliau dan Indonesia tidak perlu mengalami berbagai hal yang terjadi pada tahun 1997, 1998 dan Reformasi yang Salah Arah dan dibajak kekuasaan asing.

Namun tulisan saya kurang disukai PH ; sekalipun begitu beliau tidak berkurang kepercayaan kepada saya. Itu terbukti pada tahun 1992 ketika PH sebagai Ketua Gerakan Non-Blok (GNB) mengangkat saya sebagai Duta Besar GNB untuk wilayah Afrika. Bersama-sama Pak Alamsyah sebagai Duta Besar GNB untuk Asia dan Timur Tengah, Pak Tahir untuk Eropa dan teman saya Hasnan Habib untuk Amerika. Pilihan itu juga menunjukkan pendapat PH tentang efektivitas kerja saya, sebab persoalan GNB di Afrika paling banyak dan rumit, seperti persoalan Somalia yang hingga kini tahun 2012 pun belum selesai. Pengangkatan itu membuat saya paling banyak bepergian dan menuju ke daerah-daerah yang serba kurang aman dan pasti. Akan tetapi juga memberikan pengalaman berharga yang tidak akan pernah saya peroleh tanpa keputusan PH itu.

Indikasi kedua bahwa PH masih tetap menghargai saya adalah keputusan PH untuk menganugerahi saya Bintang Maha Putera Utama pada tahun 1994, tidak lama setelah istri saya Sri Suharyati (Tjiek) meninggal pada 1 Juni 1994. Satu pagi saya dapat telpon dari Adjudan Presiden yang menginformasikan tentang keputusan itu. Ia tambahkan bahwa keputusan itu sepenuhnya diambil PH sendiri karena tidak ada yang mengusulkan. Akan tetapi PH bijakana dengan memberikan penghargaan itu juga kepada kawan saya Hasnan Habib. Menurut Adjudan Presiden PH menyertakan nama Hasnan Habib setelah beliau mengambil keputusan mengenai saya. Pasti Panitya Pemberian Bintang Penghargaan terkejut atas keputusan PH yang tidak termasuk saran mereka.

Dalam upacara pemberian Bintang PH setelah mengalungkan bintang di leher saya mengatakan bahwa beliau dan Ibu Tien turut dukacita atas meninggalnya isteri saya . Beliau katakan bahwa sebenarnya beliau akan layat ke rumah saya di Kartanegara tetapi tiba-tiba ada sesuatu yang harus beliau kerjakan. Beliau menugaskan Wakil Presiden Try Sutrisno untuk mewakili beliau. Saya ucapkan terima kasih atas perhatian beliau.

Sejak itu tidak ada lagi hubungan saya dengan PH. Hanya ketika Ibu Tien Soeharto secara tiba-tiba wafat pada 28 April 1996 saya layat ke jalan Cendana dan menyampaikan rasa dukacita sedalam-dalamnya atas meninggalnya isteri tercinta. Saya melihat kemudian bahwa PH mengalami banyak kemunduran dalam hidup beliau, baik secara pribadi maupun dalam menjalankan pemerintahan. Dalam kehidupan pribadi PH dipersulit oleh perilaku putera-puteri beliau yang makin kurang dapat diterima oleh masyarakat, hal mana juga mempengaruhi jalannya pemerintahan. Dalam pemerintahan sukses PH sebagai Ketua GNB dan Presiden yang mendapat penghargaan FAO karena berhasil membuat Indonesia swasembada beras (bertolakbelakang dengan keadaan tahun 1970-an ketika Indonesia pengimpor beras yang besar), berganti dengan berbagai persoalan yang diakibatkan Krisis Ekonomi pada tahun 1997. Percaya diri kaum ekonoom neoliberalis bahwa di Indonesia “the fundamentals are sound and strong” dibuktikan kebohongannya. Indonesia malahan menjadi negara yang paling terpukul Krisis Ekonomi di Asia Tenggara dan kemudian akan paling lambat mencapai perbaikan. Bank Dunia dan khususnya IMF makin mendikte Indonesia dan rakyat Indonesia harus mengalami Kepala Negaranya dihina Ketua IMF Camdassus secara sangat melukai perasaan. Hal ini akhirnya memaksa PH menyatakan Lengser Keprabon pada 21 Mei 1998. Orang-orang yang tadinya dekat PH dan banyak mendapat keuntungan dari beliau malahan pada meninggalkan dan mencari selamatnya sendiri-sendiri. Mengindikasikan betapa banyak orang Indonesia yang terpelajar berkarakter rendah-busuk.

Mulailah Reformasi bergema di Indonesia. Memang Indonesia memerlukan Reformasi, karena baik selama pemerintahan Presiden ke-1 Sukarno maupun Presiden ke-2 Soeharto Pancasila yang oleh bangsa Indonesia diakui sebagai Dasar Negaranya dan Pandangan Hidupnya, masih jauh dari kenyataan. Reformasi diperlukan untuk menjadikan Pancasila Kenyataan di Bumi Indonesia. Akan tetapi ternyata kemudian para pemimpin Reformasi tidak menjalankan itu dan malahan membuat Reformasi “dibajak” kekuatan asing. Begitu parah kepemimpinan Reformasi sampai UUD 1945 dapat di-amandemen 4 kali dan menjadikan konstitusi berubah. Batang Tubuhnya mengingkari apa yang tercantum dalam Pembukaannya. Padahal di Pembukaan UUD 1945 dimuat Dasar Negara Pancasila dan Tujuan Perjuangan Bangsa Indonesia berarti bahwa Batang Tubuh UUD tidak lagi sesuai dengan Pancasila sebagai Dasar Negara RI. Dalam keadaan serba rusak itu sebetulnya UUD1945 sudah tidak ada lagi dan telah berubah. Dan nama UUD 1945 seharusnya berubah menjadi UUD 2002. Mungkin para perusak UUD 1945 akan mengganti nama konstitusi kalau mereka berhasil meniadakan Pembukaan UUD 1945 sebagai langkah berikut. Dan itu semua terjadi oleh MPR yang dipimpin seorang Tokoh Reformasi Utama disertai Tokoh Reformasi Utama lain yang Puteri Bung Karno sebagai Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia. Padahal Pancasila adalah hasil besar ayahnya.demikian pula UUD 1945 kreasinya dengan bantuan Prof Soepomo.

Dalam Reformasi itu PH makin mundur kesehatannya dan akhirnya pada bulan 27 Januari 2008 wafat pada usia 86 tahun. Dalam tahun-tahun terakhir sudah tidak ada hubungan saya dengan Pak Harto, kecuali ketika saya menengok beliau ketika sudah sakit parah dan dalam kenyataan tidak ada hubungan. Buat saya hubungan saya dengan Jenderal Besar Soeharto merupakan bagian hidup yang amat interessant, hubungan yang jauh tapi juga dekat. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memaafkan segala kesalahan Pak Harto dan arwah beliau diberi tempat yang mulia di sisiNya.

 

Jakarta 20 Mei 2012

RSS feed | Trackback URI

4 Comments »

Comment by Mufti MD
2016-02-06 17:42:18


Jendral Sayidiman Suryohadiprojo salah satu Jendral intelektual terbaik yang pernah dimiliki Republik ini. Saya yang pernah hidup ketika peristiwa2 1965, Malari dan Reformasi dapat merasakan pemikiran2 Beliau yang tajam dan fair dalam menilai situasi. Kami mengenal Beliau dari muatan2 wawancara Beliau di media TV dan tulisan2 beliau di media koran (yg waktu itu masih terbatas).
Saya yakin tulisan2 Beliu ini akan menjadi peninggalan “gunung emas” bagi generasi kemudian dalam memahami sejarah Indonesia secara lebih lengkap dan sesuai kenyataan. Doa kami semoga Pak Sayidiman S. (mungkin tinggal satu2nya alumni AMN pertama setelah Pak Suhardiman wafat) semoga tetap sehat, berbahagia dan panjang umur, dan juga tulisan2 Beliau ini semoga diterima Allah swt, sebagai amal jariah. Aamiin AllahhumaAamiin

 
Comment by Nofiqurrahman
2014-07-05 13:12:56


Ini bisa jadi catatan penting dalam sejarah Indonesia, apalagi berasal dr sudut pandang Pak Sayid

 
Comment by arifin.
2013-09-12 05:14:46


Semoga pak harto tenang,bahagia di alam qubur,
masuk sorga dg mudah kelak.

 
Comment by grandong
2012-10-23 14:36:12


Bagus kisahnya, Pak Sayid.
Lebih bagus lagi bila dibuat buku untuk melengkapi otobiografi yang sudah ada.
Saya percaya Pak Sayid orangnya jujur dan jauh dari intrik-intrik yang tidak benar.
Buah dari pendidikan karakter yang kuat dan benar.
Semoga Pak Sayid diberi panjang umur dan kekuatan sehingga dapat membagi pengalaman dan pengetahuannya untuk bangsa indonesia.

 
Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post