MASALAH TIMOR TIMUR

Posted by Admin on Thursday, 27 September 2012 | Opini

Berbagai Kesalahan Sejak Permulaan

Sayidiman Suryohadiprojo

Membicarakan Masalah Timor Timur berarti bicara tentang masa lalu. Mungkin orang tidak percaya bahwa bicara tentang masa lalu mempunyai manfaat. Namun membicarakan masa lalu juga berarti bicara tentang sejarah. Dan bicara tentang sejarah ada manfaatnya untuk mencegah membuat kesalahan yang dibuat di masa lalu. Apalagi kalau sejarah yang dibicarakan itu mengandung kegagalan dan kesalahan. Adalah satu kenyataan bahwa Masalah Timor Timur telah menyebabkan banyak kerugian bagi NKRI dan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu ada manfaatnya bicara tentang Masalah Timor Timur yang telah terjadi 30 tahun yang lalu, yaitu sejak tahun 1975 hingga 1999. Jangan sampai NKRI dan bangsa Indonesia di masa depan membuat kesalahan-kesalahan serupa.

Masalah Timor Timur yang mulai terjadi pada tahun 1975, dipicu oleh perubahan radikal yang terjadi di Portugal, negara yang menjajah Timor Timur waktu itu. Ketika setelah Perang Dunia 2 mayoritas daerah jajahan di dunia sudah berhasil berubah menjadi negara merdeka, seperti kita bangsa Indonesia yang memproklamasikan Republik Indonesia sebagai negara merdeka pada 17 Agustus 1945, tetapi ketika itu Portugal masih menjajah banyak bagian dunia.

Dulu selalu dikatakan bahwa Belanda termasuk bangsa yang amat keras dan kolot dalam politik kolonialisme. Tidak akan pernah Belanda mau bermurah hati dengan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia yang sudah dijajah ratusan tahun. Sebab bangsa Belanda menganggap bahwa kelangsungan hidup negaranya amat tergantung dari penguasaannya atas Indonesia. Dalam bahasa Belanda ada pepatah : “Indie is de kurk waarop Nederland drijft”, artinya Indonesia adalah gabus di atas mana Belanda bisa mengapung dan tidak tenggelam. Itu sebabnya bangsa Indonesia harus melakukan perlawanan fisik terhadap Belanda untuk memaksanya mau mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia pada 27 Desember 1949.

Berbeda dari sikap Inggeris yang jauh lebih murah hati dan setelah Perang Dunia 2 memberikan kemerdekaan pada banyak daerah jajahannya, seperti India, Pakistan, Malaysia dan lainnya. Karena sikap Inggeris demikian, maka hampir semua negara baru bekas jajahannya bersedia untuk tetap berada dalam Kesemakmuran Inggeris (British Commonwealth of Nations), tanpa dipaksa.

Akan tetapi Portugal masih lebih kolot dan keras sikap kolonialnya dari pada Belanda dan itu terlihat dalam penjajahannya terhadap Timor Timur. Ada cerita bahwa di daerah jajahan Portugal rakyat pribumi tidak boleh menginjak jalan-jalan negara yang halus dan mulus. Melebihi sikap Belanda di Jawa yang di depan kolam renang Cikini di Jakarta memasang papan dengan tulisan “Verboden Voor Honden en Inlanders” (Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk).

Namun memang tidak ada satu pun di Alam Besar Ciptaan Tuhan yang sifatnya abadi, selalu terjadi perubahan. Demikian pula terjadi perubahan di Portugal. Portugal yang dikuasai satu pemerintahan diktatur yang kolot sejak permulaan abad ke-20, pada tahun 1974 mengalami satu revolusi yang diprakarsai gerakan kiri. Gerakan yang menamakan diri Revolusi Anyelir itu berhasil meruntuhkan kekuasaan diktatur kanan dan menggantikan dengan pemerintahan yang beraliran sosialis kiri.

Perubahan radikal di Portugal itu memicu perubahan serupa di darah jajahannya, termasuk yang di Timor. Di Timor Timur juga terjadi pembentukan organisasi di daerah itu yang berhaluan kiri. Organisasi itu yang bernama Fretilin bergerak untuk menjadikan Timor Timur satu negara merdeka yang berhaluan kiri.

Hal ini mengakibatkan timbulnya pertentangan di masyarakat Timor Timur. Sebab banyak pihak tidak setuju dengan haluan politik yang dianut Fretilin. Namun Fretilin mendapat dukungan dari banyak anggota tentara Portugal yang masih ada di Timor Timur. Dan melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap lawan-lawan politiiknya.

Dalam kondisi dunia yang pada tahun 1975 masih diliputi Perang Dingin terbentuknya satu negara berhaluan kiri di Timor menimbulkan kekhawatiran di kalangan blok Barat. Khususnya AS yang amat berkepentingan dengan terpeliharanya kebebasan bergerak untuk kekuatan militernya, terutama bagi angkatan lautnya yang perlu bebas bergerak bolak-balik Samudera Pasifik – Samudera Hindia. Negara Timor Timur yang berhaluan sosialis kiri mungkin sekali berpihak pada blok Komunis sehingga membahayakan kepentingan AS .

Selain itu negara sosialis di Timor Timur tidak mustahil minta bantuan kepada Uni Soviet atau Republik Rakyat China untuk dapat melakukan pembangunan ekonomi dan memperkuat dirinya. Dan hampir pasti hal itu akan disambut baik oleh Uni Soviet yang ketika itu masih kuat posisinya, apalagi AS sebagai lawan utamanya sedang menghadapi keruntuhan di Vietnam. Di Timor Timur ada pelabuhan laut penting di Baucau, demikian pula dapat dibangun pangkalan udara dengan arti strategis luas. Hal-hal yang pasti amat menarik bagi Uni Soviet dan RRC. Sebab itu dapat dipahami bahwa AS dan Australia sebagai sekutunya yang setia sangat berkepentingan dengan hapusnya negara Timor Timur yang sosialis kiri.

Maka terjadilah berbagai tekanan terhadap Indonesia agar bertindak terhadap Timor Timur, apalagi memang Republik Indonesia sejak tahun 1965 melakukan tindakan melikuidasi komunisme ketika terjadi pemberontakan G30S/PKI yang bertujuan mengkomuniskan RI. Nampak jelas bahwa AS dan Australia tidak mau bergerak sendiri dan berusaha memanfaatkan Indonesia yang kuat sikap anti-komunisnya.

Maka pada 7 Desember 1975 terjadi satu operasi militer oleh Indonesia dengan melakukan satu serangan terbuka terhadap Timor Timur, berupa satu operasi lintas udara dan operasi pendaratan dari laut. Inilah awal terlibatnya Indonesia secara militer yang terbuka (bukan covert operations) dalam Masalah Timor Timur, awal dari berbagai masalah politik yang merugikan Indonesia dan secara tragis berakhir dengan keluarnya Indonesia dari Timor Leste pada tahun 1999.

Yang amat aneh bagi saya adalah proses pelaksanaan serangan pasukan Indonesia pada 7 Desember 1975. Bahwa saya sebagai Gubernur Lemhannas waktu itu tidak pernah diajak bicara tentang hal itu cukup masuk akal, karena Gubernur Lemhannas tidak terlibat dalam fungsi operasi. Akan tetapi saya amat heran ketika Jenderal Widodo yang Kepala Staf TNI-AD, Laksamana Subono yang Kepala Staf TNI-AL dan Marskal Saleh Basarah yang Kepala Staf TNI-AU mengatakan kepada saya bahwa mereka tidak diajak bicara. Padahal dalam operasi militer yang relatif besar ukurannya pada 7 Desember 1975 digunakan kekuatan-kekuatan yang binaan KSAD, KSAL dan KSAU. Bahkan Pak Widodo mengeluh pada saya bahwa ia tidak diidzinkan menengok pasukannya di Dilli setelah operasi selesai dan ada anggota-anggota TNI-AD jatuh sebagai korban dalam operasi itu.

Menurut Pak Widodo, dalih yang diberikan mengapa para Kepala Staf Angkatan tidak diajak bicara dan melarang dia pergi ke Dilli adalah bahwa dilakukan OPERASI INTELIJEN. Dengan alasan itu semua kegiatan menjadi monopoli para petinggi Intelijen yang dipimpin oleh Assisten Intelijen Dephankam/ABRI.

Andai kata serangan 7 Desember 1975 sebagai satu offensif gabungan (joint operations) yang spektakuler berhasil mengakhiri Fretilin serta segala kemampuannya untuk melakukan perlawanan, maka operasi itu merupakan usaha strategis militer yang brilyant. Akan tetapi hal itu tidak terjadi, sebab Fretilin dan rakyat yang mendukungnya beralih kepada perlawanan gerilya yang kemudian mendapat dukungan luar negeri, termasuk mereka yang semula amat berkepentingan Indonesia menyerang Timor Timur. Dukungan luar negeri itu akhirnya memukul Indonesia di bidang diplomatik, politik dan militer sehingga Indonesia harus keluar dari Timor Timur dan mengakui Timor Leste yang merdeka di bawah kepemimpinan orang-orang Fretilin.

Satu akhir yang tidak beda dari kegagalan strategi jenderal Belanda Spoor yang menyerang Yogyakarta pada tanggal 18 Desember 1948 dengan perkiraan bahwa dengan direbutnya Yogyakarta akan berakhir sejarah Republik Indonesia Merdeka. Pimpinan TNI yang mengambil prakarsa serangan 7 Desember 1975 terhadap Timor Timur dan Fretilin tidak belajar dari sejarah bangsanya sendiri dan membuat kesalahan yang amat fatal dan sangat merugikan bangsa Indonesia serta TNI dan Republik Indonesia. Akan tetapi para pemrakarsa offensif itu masih beruntung tidak mengalami kerugian apa-apa, malahan masih dipuji oleh banyak orang. Mungkin karena masyarakat Indonesia masih belum cukup memahami ilmu pertahanan.

Orang tidak paham bahwa di masa kini serangan terhadap bangsa lain secara terbuka harus memberikan jaminan bahwa timbul perubahan yang membuat pihak yang diserang tidak mampu lagi memberikan perlawanan dan tujuan politik penyerang dapat terwujud. Kemenangan atau keunggulan militer yang hanya bersifat operasional dan taktik tanpa kemenangan strategi, jauh dari memadai dan malahan dapat berakibat funest untuk penyerang.

Sebab hakikat serangan adalah tindakan memaksa pihak yang diserang TUNDUK KEPADA KEHENDAK PENYERANG. Maka sekalipun ibukota pihak yang diserang dapat dikuasai penyerang, tapi pihak yang diserang tidak atau belum tunduk kepada kehendak penyerang, maka serangan itu tidak berhasil atau gagal. Masih adanya perlawanan gerilya dari pihak yang diserang adalah indikasi bahwa pihak yang diserang belum ditundukkan KEHENDAKNYA.

Belanda mengalami itu di Yogyakarta, dan belakangan AS juga mengalami hal serupa di Irak dan Afghanistan. Kabul dan Baghdad direbut dengan cepat tetapi ketika perlawanan Taliban dan orang-orang Irak tetap terjadi AS tak dapat mewujudkan kehendak politiknya yang mendorongnya melaksanakan serangan terbuka itu dua kali.

Dalam sejarah dapat dilihat bahwa umumnya kesalahan itu terjadi apabila ada pimpinan militer yang secara berlebihan menganggap dirinya kuat dan amat merendahkan kemampuan lawannya. Jenderal Spoor mengira bahwa dengan satu operasi lintas udara yang merebut Yogya orang Indonesia kapok merdeka. Ia amat merendahkan kekuatan kehendak (willpower) Manusia Indonesia. Memang sebagian pimpinan politik langsung menyerah kepada Belanda. Akan tetapi Panglima Besar Sudirman yang sekalipun sakit cukup parah , tidak sudi menyerah dan terus memimpin perlawanan. Demikian pula TNI bersama mayoritas Rakyat Indonesia tidak menyerah ! Dalam bahasa Belanda dapat dikatakan : Generaal Spoor heeft buiten de waard gerekend !

Anehnya dan sedihnya pimpinan di kalangan pimpinan TNI tahun 1975 membuat kesalahan sama. Selama masih menjadi Gubernur Lemhannas saya tidak dalam posisi untuk meneliti lebih lanjut mengapa dan bagaimana kesalahan strategis itu dapat terjadi. Baru setelah saya pulang dari tugas sebagai Duta Besar di Jepang dan berstatus purnawirawan saya dapat melakukan usaha untuk meneliti kesalahan fatal itu.

Saya mohon kepada Jenderal Maraden Panggabean (MP) yang menjabat Menhankam / Pangab pada tahun 1975 untuk dapat bertemu dan menanyakan beberapa hal. Saya bersyukur bahwa Pak Panggabean yang juga sudah purnawirawan mau menerima saya dan kemudian menjawab pertanyaan saya.

Pak MP bercerita bahwa pada akhir November 1975 mayor jenderal LB Murdani (LBM), Assisten Intelijen Hankam/ABRI, menghadap dan mohon agar dapat segera menghadap Presiden Soeharto (PH). Pak MP menjawab bahwa PH sedang sakit dan ada di rumah di tempat tidur. Akan tetapi LBM terus mendesak sehingga Pak MP tidak tahan terhadap desakan LBM dan akhirnya mendampinginya menghadap PH.

LBM melaporkan kepada PH bahwa keadaan Timor Indonesia gawat. Sebagai akibat tindakan kejam Fretilin terhadap lawan-lawannya sesama Timor Timur banyak rakyatnya bergerak mengungsi ke Timor Indonesia. LBM khawatir Fretilin akan menggunakan keadaan itu untuk bergerak masuk daerah Indonesia dan melanjutkan tindakannya di daerah kita. Untuk mengakhiri pengungsian yang banyak itu LBM mengatakan bahwa Fretilin harus diserang di Timor Timur.

Akan tetapi PH menjawab BELIAU TIDAK MENDAPAT MANDAT DARI MPR UNTUK MASUK DAN MENGUASAI TIMOR TIMUR.

Akan tetapi LBM terus mendesak bahwa perlu tindakan segera. Kalau tidak maka Indonesia akan mengalami banyak masalah. Pak MP cerita bahwa mungkin karena PH sedang sakit dan menerima mereka sambil tiduran di kamar tidur, akhirnya beliau mengalah. PH tanya kepada LBM apa sudah siap untuk bertindak yang dijawab dengan tegas oleh LBM “sudah”. Kemudian PH mengatakan : BOLEH BERGERAK SEBAGAI OPERASI INTELIJEN !

Instruksi PH itulah kemudian menjadi landasan untuk melakukan serangan 7 Desember 1975. Namun instruksi melakukan Operasi Intelijen rupanya disalahartikan. Pada dasarnya satu Operasi Intelijen adalah tertutup (covert), bukan secara terbuka. Jadi melaksanakan Operasi Intelijen dengan cara operasi militer konvensional merupakan keganjilan, bahkan kesalahan. Apalagi melakukan operasi konvensional yang begitu spektakuler berupa operasi gabungan antar-angkatan dengan disertai operasi lintas udara (airborne operation) pada dasarnya satu kesalahan.

Andai kata hasil dari serangan itu dapat bersifat tuntas, seperti serangan India terhadap jajahan Portugal di wilayah India bernama Goa yang menghancurkan perlawanan secara tuntas, kesalahan interpretasi dapat di-annulir oleh kenyataan. Akan tetapi di Timor Timur tidak terjadi hasil serangan yang tuntas, melainkan terjadi kelanjutan perlawanan Fretilin secara gerilya yang kemudian diperkuat oleh perlawanan politik dan diplomatik.

Maka berdasarkan kenyataan itu dapat dikatakan bahwa telah terjadi satu KESALAHAN STRATEGIS YANG MENDASAR DALAM PELAKSANAAN SERANGAN 7 DESEMBER 1975.

Mungkin ada yang bertanya apa dengan Operasi Intelijen dapat dicapai tujuan, yaitu menundukkan kehendak Fretilin sehingga ia mengikuti kehendak RI.

Namun Sejarah membuktikan bahwa lawan dapat ditundukkan kehendaknya tanpa serangan dengan kekerasan secara terbuka. Bukti paling menonjol adalah keberhasilan AS dan sekutunya memenangkan Perang Dingin terhadap Uni Soviet dan blok komunis tanpa melakukan serangan militer terhadap Uni Soviet.

Seluruh kekuatan militer berupa senjata pemusnah massal dan senjata konvensional tidak ada yang digunakan AS ketika Uni Soviet dan blok komunis runtuh dari dalam. Dan selesailah Perang Dingin berkat tindakan AS yang TIDAK TERBUKA tetapi justru efektif untuk mengakhiri kehendak politik Uni Soviet. Tindakan Tidak Terbuka (covert action) bisa berupa aneka tindakan yang secara keseluruhan berupa Operasi Intelijen.

Jadi bisa saja Fretilin ditundukkan tanpa serangan terbuka, meskipun hasilnya tidak terjadi segera. Maka secara ilmiah pertahanan instruksi Presiden Soeharto untuk melakukan Operasi Intelijen tidak salah. Yang salah adalah pihak yang melaksanakan instruksi itu dengan melakukan serangan terbuka tanpa hasil tuntas.

Selain itu kesalahan fatal itu diperluas dengan kesalahan dalam pandangan operasi dan taktik pimpinan pasukan. Letjen Kiki Syahnakri yang banyak pengalaman di Timor Timur menulis dalam bukunya Timor Timur, bahwa yang salah adalah doktrin operasi dan taktik yang berlaku sejak tahun 1950 di TNI-AD. Pelaksanaan operasi dan taktik sesuai buku petunjuk (field manual) Pentagon, kata Pak Kiki, mengakibatkan banyak kegagalan di Timor Timur.

Pendapat itu tidak benar, sekurang-kurangnya ketika di TNI-AD masih banyak Perwira yang turut perang gerilya melawan Belanda dan operasi anti-gerilya melawan Darul Islam di Jawa Barat. Ketika itu pada dasarnya dalam TNI-AD ada kemampuan melakukan operasi militer konvensional yang umumnya tidak banyak beda langkah-langkahnya di semua tentara di dunia. Kalau ada perbedaan maka itu hanya terdapat dalam aplikasi dari kombinasi TEMBAKAN & GERAKAN (Fire & Manouver). Tentara AS yang kaya dan banyak teknologi serta alat amat mendambakan Daya Tembak. Sedangkan tentara dari negara-negara Eropa, termasuk Uni Soviet di masa lalu, yang umumnya tidak sekaya AS lebih mengutamakan pelaksanaan Gerakan yang Tepat Arah dan Tepat Waktu.

Akan tetapi di TNI-AD waktu itu juga ada kemampuan Operasi Anti-Gerilya (counter-insurgency operations) sebagai bagian operasi non-konvensional, yang sama sekali beda pendekatannya. Pengalaman TNI mengatasi gerilya Darul Islam di Jawa Barat menunjukkan bahwa operasi anti-gerilya memerlukan harmonisasi dari INTEL-TERRITORIAL-TEMPUR. Dan unsur Tempurnya terutama mengarah pada outmanouvring pihak gerilya sehingga akhirnya ia menyerah karena tak mampu lagi bergerak. Pada tahun 1962 Kodam VI Siliwangi melakukan Operasi Pagar Betis yang berakhir dengan tertangkapnya SM Kartosuwiryo dan berakhirnya Darul Islam di Jawa Barat.

Kemudian hasil operasi anti-gerilya lawan DI juga menjadi doktrin TNI-AD untuk operasi non-konvensional (counter-insurgency operations) di samping doktrin operasi konvensional. Para pelaksana operasi harus menilai kapan menggunakan operasi konvensional dan kapan non-konvensional. Hal itu telah dibuktikan TNI-AD dalam menghadapi dan mengakhiri Pemberontakan PRRI/Permesta.

Jadi kalau di Timor Timur para pelaksana operasi melaksanakan operasi konvensional dalam kondisi yang bersifat non-konvensional, maka yang diperlukan adalah peninjauan kembali dalam pendidikan dan latihan Perwira, mulai SUSLAPA hingga SESKOAD. Selain itu harus diteliti apakah Doktrin Operasi Non-Konvensional hasil pengalaman melawan Darul Islam masih diajarkan dan diperhatikan penggunaannya.

Dalam uraian di atas menjadi jelas bahwa Masalah Timor Timur telah dihadapi oleh TNI dengan pendekatan yang serba salah. Pertama adalah pendekatan strategis yang salah ketika instruksi untuk Operasi Intelijen diimplementasikan dengan satu Serangan Konvensional Terbuka, satu Operasi Gabungan Antar-Angkatan yang spektakuler tapi tak berhasil mencapai tujuan operasi secara tuntas.

Kedua, ketika menghadapi perlawanan gerilya Fretilin dan pendukungnya bukannya dilakukan Operasi Lawan Gerilya (counter-insurgency operations) secara luas dan sistematis , tapi titik berat diletakkan pada pelaksanaan Operasi Konvensional yang tentu pendekatan yang sukar mencapai hasil luas.

Semoga pengalaman buruk itu yang banyak menimbulkan korban manusia dan pukulan politik dan diplomatic bagi bangsa Indonesia dan NKRI menjadi pelajaran berharga untuk semua pihak di Indonesia agar tidak akan terulang kembali ketika harus menghadapi masalah serupa.

Jakarta, 28 September 2012

RSS feed | Trackback URI

1 Comment »

Comment by Satria
2013-05-11 11:07:54


Biarlah itu jadi masa lalu bangsa ini.Tidak ada yang salah……bangsa ini pernah mengalami masa2 keemasan di era ORDE BARU.mungkin lama sesudah wafatnya barulah generasi kemudian sadar bahwa Pak Harto adalah pemimpin yang berjasa besar untuk bangsa ini.Provinsi ke 27 biar hanya menjadi kenangan.TUHAN YESUS MENYERTAI BANGSA INI,amin.

 
Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post