Sayidiman Suryohadiprojo
INDIKASI PANCASILA DIABAIKAN
Ketika bangsa Indonesia memperingati ulang tahun ke 68 Lahirnya Pancasila terasa sekali ironi betapa Pancasila yang telah ditetapkan sebagai Dasar Negara, diabaikan di negara kita. Mungkin sekali masih banyak orang Indonesia menghargai dan setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, malahan memandangnya sebagai Jati Diri bangsa Indonesia dan sebagai Ideologi dalam perjuangan bangsa. Mereka berpendapat bahwa Dasar Negara itu harus dijadikan kenyataan dalam kehidupan bangsa. Yang pasti para Pejuang Kemerdekaan dan anggota Legiun Veteran RI termasuk kaum yang setia kepada Pancasila.
Akan tetapi banyak pemimpin bangsa, baik yang ada di Pemerintahan sebagai Eksekutif dan Legislatif maupun dalam dunia Bisnis serta non-Pemerintah lainnya, yang seharusnya memotivasi dan menggerakkan bangsa untuk menjadikan Dasar Negara itu kenyataan dalam kehidupan bangsa, justru tidak memedulikan dan mengabaikan Pancasila. Karena kuat dan pentingnya posisi para pemimpin itu dalam kehidupan bangsa, maka itulah yang menyebabkan mengapa kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia memancarkan kondisi betapa Pancasila diabaikan, tidak dipedulikan dan bahkan kadang-kadang dilecehkan. Mungkin orang-orang itu mengatakan bahwa mereka tidak mengabaikan Pancasila sebagai Dasar Negara. Akan tetapi kalau itu terjadi, maka itu menunjukkan betapa mereka munafik !
Jelas sekali betapa Pancasila tidak diperhatikan ketika Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia amat lemah wujudnya dalam kehidupn, dibandingkan dengan perhatian yang melimpah kepada Globalisme. Padahal ketika Bung Karno pertama kali menguraikan Pancasila, justru Nasionalisme yang beliau kemukakan sebagai sikap hidup yang perlu dikembangkan. Dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia juga Nasionalisme merupakan faktor utama dan motor perjuangan. Memang Bung Karno mengatakan bahwa Nasionalisme tidak lepas dari Internasionalisme. Beliau katakan Nasionalisme harus hidup subur dalam taman sari Internasionalisme. Jadi kita tidak boleh dan tidak bisa mengbaikan Globalisme sebagai bentuk Internasionalisme masa kini. Akan tetapi untuk dapat hidup dalam arus Globalisme secara efektif dan bermanfaat, Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia harus kuat.
Kurangnya minat dan perhatian terhadap Nasionalisme berakibat menurunnya sekali Kebanggaan sebagai warga bangsa Indonesia. Maka akibatnya secara langsung adalah menurunnya Daya Saing Nasional dalam berbagai bidang. Segala hal yang bersifat domestik dinomerduakan terhadap hal-hal yang berasal dan bersumber luar negeri. Tidak heran kurangnya usaha untuk menciptakan Pasar Domestik yang kuat, dan tidak peduli Indonesia dibanjiri barang-barang produksi luar negeri. Bahkan sikap itu terjadi pada olahraga, khususnya sepakbola, di mana baik media maupun masyarakat lebih berminat pada Liga Sepakbola Inggeris umpamanya dari pada menjadikan PSSI makin kuat. Juga dominasi perbankan Indonesia oleh pemilik asing seperti dianggap tidak penting dan tidak dihiraukan.
Untunglah masih ada orang-orang yang terus berjuang untuk kekuatan Indonesia. Akan tetapi jelas sekali bahwa yang lebih menonjol dan mempengaruhi kehidupan bangsa adalah kurangnya semangat dan daya juang untuk membuat Indonesia kuat. Yang menyedihkan adalah bahwa kondisi ini berakibat potensi nasional Indonesia yang kaya dan banyak variasinya lebih banyak dimanfaatkan bangsa lain dari pada bangsa sendiri. Membuat bangsa lain lebih kaya sedangkan bangsa Indonesia tetap tinggi angka kemiskinannya.
Selain itu Pancasila diabaikan ketika kurang ada usaha untuk meningkatkan Kesejahteraan Umum dan mengurangi dalamnya jurang antara golongan Kaya dan Miskin. Jumlah rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan dan yang hampir miskin menurut para pakar mendekati jumlah 200 juta orang. Memang selalu dibanggakan bahwa pertumbuhan ekonomi termasuk tinggi dibandingkan bangsa-bangsa lain yang menghadapi kesukaran berat dalam ekonominya. Akan tetapi nyatanya pertumbuhan ekonomi tinggi jauh lebih menguntungkan pihak Kaya, sedangkan kaum Miskin tetap hidup dalam kondisi yang sengsara. Koefisien Gini sebesar 40 % menunjukkan bahwa secara nyata perbedaan antara Kaya-Miskin besar sekali. Hal ini jelas sekali amat bertentangan dengan Pancasila yang menghendaki Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kondisi politik juga bertentangan sekali dengan yang dikehendaki Pancasila. Reformasi telah membawa sistem politik yang luas sekali kebebasannya dengan alasan bahwa itulah kehidupan demokrasi yang harus ditegakkan. Para pembela Reformasi membanggakan bahwa dalam kondisi ini Indonesia menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, di belakang India dan AS. Mereka tidak mau menerima bahwa kebebasan yang berlebihan atau kebablasan merugikan Indonesia dan mengatakan bahwa itu hanya merupakan “penyakit kanak-kanak” dan sistem akan membetulkan diri sendiri dengan perjalanan waktu. Buat mereka hanya demokrasi sebagaimana dilakukan di Barat yang benar demokrasi. Tidak mau berpikir bahwa demokrasi bisa berbeda menurut pandangan setiap masyarakat. Mereka tidak mau menerima bahwa sistem politik yang menerapkan nilai-nilai neo-liberalisme itu sama sekali tidak memperjuangkan kesejahteraan rakyat banyak dan hanya menghasilkan “sandiwara politik” yang memboroskan kekayaan bangsa. Dan demokrasi yang memerlukan uang amat banyak bagi para pelakunya jelas sekali merupakan sumber kuat makin luasnya Korupsi di Indonesia.
Juga Pancasila diabaikan ketika Pihak Kuat dan Banyak mau mendominasi kehidupan dan dibiarkan menggunakan kekerasan terhadap yang lemah dan minoritas. Apalagi hal itu terjadi dalam kehidupan beragama. Padahal Pancasila amat jelas menginginkan agar bangsa Indonesia hidup berdasarkan keyakinan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu berarti pentingnya perhatian terhadap Moralitas, Etika dan Hidup Bersama. Amat merisaukan Pejuang Pancasila ketika satu kelompok agama menyerang kelompok agama lain, atau bahkan menyerang kaum sesama agama dengan alasan bahwa kelompok yang diserang menganut paham sesat. Sama sekali diabaikan bahwa bangsa Indonesia hidup dengan dasar Gotong Royong yang menerima dan mengakui Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan. Sebab hal itu kodrat Alam sebagaimana terdapat dalam kehidupan Keluarga, setiap anggota Keluarga beda dari yang lain tetapi merasa Satu sebagai Keluarga. Maka dalam kehidupan masyarakat Perbedaan tak pernah lepas dari Kesatuan, Kesatuan tak pernah lepas dari Perbedaan. Sebab itu Simbol Negara RI adalah Bhinneka Tunggal Ika. Akan tetapi itu sekarang hanya semboyan belaka dan amat diabaikan dalam kehidupan nyata. Dan malahan dibiarkan oleh para Pemimpin Bangsa.
Yang amat memalukan adalah Korupsi yang merajalela di mana-mana, terutama di kalangan yang menguasai negara. Ini jelas merupakan akibat dari makin kuatnya Individualisme dan Materialisme, padahal paham-paham itu tidak sesuai dengan Pancasila. Uang makin menguasai kehidupan masyarakat Indonesia secara berlebihan, dan dengan sikap mengutamakan Individu setiap peluang digunakan mengeruk uang tanpa peduli apa itu melanggar hukum atau kepatutan. Dengan uang banyak dibangun kekuasaan yang memungkinkan pengerukan uang lebih banyak lagi. Contoh paling jelas adalah besarnya peran uang dalam setiap pemilihan legislatif dan eksekutif. Tidak mengherankan kalau KPK kewalahan menghadapi perbuatan korupsi di DPR, DPRD, lingkungan pejabat Pemerintah, yang meliputi trilyunan rupiah. Membuat Indonesia tergolong bangsa paling korup di dunia. Ini amat memalukan karena Pancasila sebagai Dasar Negara menghendaki terwujudnya kehidupan bermoral tinggi, dengan pelaksanaan kekuasaan berdasarkan Etika yang bermutu tinggi.
Terlalu banyak indikasi lain untuk dikatakan dalam kata-kata. Dan orang yang tidak munafik mengakui bahwa Pancasila diabaikan.
REFORMASI DIBIARKAN UNTUK DIBAJAK MUSUH-MUSUH PANCASILA
Dan itu semua terutama terjadi sejak bangsa Indonesia pada tahun 1998 menyatakan perlunya Reformasi dalam kehidupan bangsa. Memang diperlukan Reformasi karena sejak tahun 1980-an amat meningkat terjadinya pelanggaran dan ketidakpatutan, berkembangnya KKN atau Korupsi-Kolusi-Nepotisme. Hal itu akibat dari perkembangan yang kurang sehat di masyarakat Indonesia sendiri, tetapi juga karena pengaruh dari menguatnya paham neo-liberalisme di dunia Barat yang kurang dapat ditolak oleh masyarakat Indonesia.
Namun Reformasi yang memang diperlukan justru di”bajak” kekuatan luar dengan dibantu tokoh-tokoh Reformasi di Indonesia sendiri. Reformasi yang seharusnya menjadikan Pancasila kenyataan dalam kehidupan bangsa Indonesia (Pancasila as a Living Reality), malahan makin mendesak mundur Dasar Negara itu dengan mengutamakan nilai-nilai yang dibawa dari luar, khususnya neo-liberalisme.
Yang paling parah adalah ketika UUD 1945 oleh MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara di-amandemen empat kali, sehingga batang tubuhnya sudah meninggalkan semangat dan jiwa Pancasila. Tinggal Pembukaan UUD 1945 yang masih berjiwa Pancasila, tetapi itu mungkin oleh para initiator Amandemen akan dilakukan sebagai perubahan berikut. Sebetulnya waktu itu sudah tidak ada UUD 1945 karena telah digantikan UUD 2002.
Ironisnya itu semua terjadi ketika pimpinan MPR maupun Pemerintah RI, dijabat tokoh-tokoh utama Reformasi. Dan sejak itu bangsa Indonesia dan NKRI telah dikendalikan berdasarkan nilai-nilai yang bukan-Pancasila bahkan bertentangan dengan Pancasila. Maka tidak perlu heran kalau sekarang 15 tahun setelah Reformasi dimulai, Indonesia berada dalam kondisi yang bagi banyak orang merupakan keadaan permulaan menuju kegagalan.
PERLU REFORMASI KEDUA YANG MENJADIKAN PANCASILA KENYATAAN
Buat Pejuang Pancasila, apalagi yang turut memperjuangkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia, keadaan Indonesia sekarang tak boleh dan tak patut dipertahankan. Martabat bangsa telah amat dikorbankan untuk kepentingan golongan dan orang tertentu belaka. Dalam pada itu Pancasila sebagai Dasar Negara dilecehkan dan oleh pihak-pihak yang tidak setuju Pancasila ada kesempatan untuk mendiskreditkannya dan alasan untuk membuangnya. Bangsa Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi lemah dan rawan terhadap aneka ragam gangguan, khususnya gangguan teror kalangan Islam radikal, separatisme dan bangkitnya kembali PKI.
Sebab itu Indonesia perlu perubahan untuk mengakhiri kondisi ini. Kita perlu Reformasi kedua untuk mengkoreksi Reformasi pertama yang sudah berjalan 15 tahun dan hanya menguntungkan mereka yang melawan Pancasila. Ada kawan-kawan Pejuang Pancasila lebih suka menggunakan istilah Restorasi Pancasila, karena yang diperlukan adalah restorasi atau perbaikan dalam masyarakat Indonesia dengan menjadikan Dasar Negara Pancasila kenyataan di Bumi Indonesia.
Reformasi kedua atau Restorasi Pancasila itu bukan hal yang mudah. Sebab meskipun bukan mayoritas bangsa, namun sudah banyak orang Indonesia yang diuntungkan kondisi sekarang dan tentu akan membelanya mati-matian. Sebab itu strategi perjuangan perlu dilandasi faktor-faktor kongkrit yang dirasakan keperluannya oleh mayoritas bangsa. Maka yang pertama adalah usaha untuk dipilihnya Presiden RI pada tahun 2014 yang sesuai dengan tujuan Reformasi kedua. Pejuang Pancasila berkepentingan sekali bahwa Presiden RI mulai tahun 2014 seorang dengan keyakinan kuat terhadap Pancasila. Bukan orang yang dalam kampanye berkata membela Pancasila, tapi nanti kalau terpilih menjauhi Pancasila. Ia harus seorang yang berkarakter Pancasila yang teguh, bukan orang munafik yang suka bicara tentang Pancasila hanya sebagai semboyan dan simbol belaka.
Presiden itu akan bersama kita para Pejuang Pancasila mengusahakan agar UUD 1945 yang telah di-amandemen 4 kali, atau UUD 2002, dikaji kembali untuk dapat diubah sehingga seluruh UUD benar-benar berjiwa Pancasila, baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun Penjelasannya (yang perlu dihidupkan kembali setelah ditiadakan dalam proses amandemen). Presiden 2014 mendesak pimpinan MPR untuk melakukan kaji ulang itu, kalau perlu menggunakan wibawa pribadi dan pendukungnya, agar pimpinan MPR bersedia melakukannya.
Di samping itu Presiden 2014 mengembangkan usaha yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan makin mengurangi jumlah orang miskin dan hampir miskin. Tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi dan kondisi ekonomi makro yang dipuji orang luar negeri karena menguntungkan mereka. Menguatnya Golongan Menengah secara mencolok dalam waktu yang secepat mungkin. Hal ini memerlukan sifat Presiden 2014 yang berpihak rakyat banyak (pro poor) disertai keberanian mengambil keputusan dan melakukan tindakan yang jelas menguntungkan rakyat banyak. Seperti menjadikan pembangunan Pertanian dan Kelautan prioritas utama pemerintahannya, melalui usaha yang nyata dan tidak sekedar wacana. Untuk itu Presiden 2014 menghidupkan kembali Pembangunan Nasional yang menjadikan tujuan strateginya Pembangunan Manusia Indonesia dan Masyarakat Indonesia, dan bukan Pembangunan Ekonomi saja. Untuk suksesnya pembangunan itu menetapkan Manajemen Strategis dengan perencanaan strategis dilandasi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk perumusan Rencana Pembangunan Lima Tahun dan Rencana Tahunan. Dengan begitu harus dijamin bahwa tujuan strategi tercapai dan kesejahteraan makin meluas dan meningkat dalam kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini memerlukan seorang Presiden yang kokoh kuat kepribadiannya.
Presiden 2014 menyadari bahwa Bonus Demografi (demographic dividend) yang sedang dialami Indonesia, adalah faktor nyata dan karena itu harus dimanfaatkan sebaiknya bagi masa depan bangsa yang cemerlang. Kalau tidak maka justru akan memukul bangsa secara negatif. Sebab itu Pendidikan menjadi tujuan Pembangunan Nasional yang amat mendasar, baik dalam bentuk pendidikan lingkungan keluarga, pendidikan sekolah maupun pendidikan masyarakat. Suksesnya Pendidikan menjadi kunci utama bagi tercapainya Pancasila sebagai Kenyataan di Bumi Indonesia serta terwujudnya masa depan bangsa Indonesia yang gemilang, adil-makmur, gemah ripah loh jinawi. Dengan sendirinya Pendidikan yang dikembangkan, khususnya pendidikan sekolah, harus dijiwai dan bersemangat Pancasila. Terwujudnya usaha Pendidikan pun memerlukan Presiden 2014 yang kuat karakternya serta keyakinan kepada kebenaran Pancasila yang kokoh.
Presiden 2014 dan pendukungnya perlu membangun demokrasi yang sesuai dengan Pancasila, yaitu demokrasi yang tidak hanya bersifat politik tetapi juga demokrasi yang membangun kesejahteraan serta kegotongroyongan dalam kehidupan mayarakat. Itu berarti bahwa demokrasi tidak hanya mengusahakan Keterpilihan orang-orang yang tepat untuk mewakili kelompoknya, tetapi juga demokrasi yang menjamin Keterwakilan setiap bagian bangsa untuk ikutserta dalam kehidupan politik bangsa, khususnya dalam proses pengambilan keputusan yang menentukan setiap perkembangan masyarakat. Untuk itu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus kembali statusnya sebagai Lembaga Tertingggi dalam susunan NKRI.
Amat penting bagi Presiden 2014 dan pendukungnya bahwa Pancasila mengharuskan tegak dan berkuasanya Hukum sehingga Keadilan makin dapat menjadi kenyataan. Hal itu akan menyapu bersih merajalelanya Korupsi dan berbagai hal lain yang sekarang menjadi sumber rasa malu bagi orang Indonesia. Tegaknya Hukum juga menjaga agar besarnya potensi sumber daya alam dapat dimanfaatkan lebih banyak oleh bangsa Indonesia sendiri, menjadikannya lebih sejahtera dan maju kehidupannya.
Masalah utama yang kita hadapi adalah menemukan orang yang tepat untuk menjadi Presiden RI 2014 dan menyusun barisan yang mendukungnya dalam perjuangan menjadikan Pancasila kenyataan di bumi Indonesia. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoi perjuangan kita !
Jakarta, 1 Juni 2013
Persoalan bangsa ini semakin jauh dari cita-cita pendiri bangsa , semakin jauh dari cita-cita Preambule UUD 1945 , setelah terjadinya pengantian UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 , Pancasila semakin ditinggal kan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara tidak lagi berdasar pada Pancasila boleh dikatakan telah terjadi pengkhianatan terhadap Pancasila . Demokrasi liberal yang sedang dilaksanakan dinegeri ini jealas bertentangan dengan Pancasila , bagaimana bisa harmonis, bisa toleransi , bisa gotong royong , kalau model demokrasi nya demokrasi kalah menang , demokrasi banyak-banyakan , yang banyak yang menang padahal yang banyak belum tentu bermanfaat dan baik .
Jaman Bung Karno Saudara kita yang miskin menjadi alat perjuangan maka doktrin Marhaenis menjadi ideologi ,dasar dari lahirnya Marhaenisme adalah bung Karno sangat paham apa itu “Amanat Penderitaan Rakyat .
Jaman orde Baru saudara kita yang miskin ini oleh Pak Harto masih dianggap bagian dari tubuh bangsa maka jaman pak Harto diberi Istilah Pra sejahtera , kemudian diberilah berbagai program untuk bekerja untuk bisa menjadi lebih baik , banyak program padat karya , sapi bergulir , pertanian . macam-macan yang jelas etos kerja dibangun.
Jaman Reformasi sangat menyedihkan orang miskin Di KASTA diberi KASTA GAKIN makan nya diberi label RASKIN , untuk itu mereka harus mendapat surat pengakuan kemiskinan nya dari RT,RW,Kelurahan sampai Kecamatan , dan anak-anak mereka di Sekolah juga dikastakan diberi KASTA MURID GAKIN , penghancuran martabat Kemanusiaan ini sangat sitemik , dan kemudian etos kerja nya dihancurkan dengan BLSM , semua ini bukan sesuatu yang tiba-tiba tapi sitemik sekarang muncul istilah MASKIN masyarakat Miskin , hal ini jelas pengkhianatan terhadap Pancasila dan Tujuan bernegara .
Yth Pak Frederick,
Terima kasih atas komentar Anda terhadap tulisan saya. Memang bangsa kita sedang sakit. Akan tetapi kita jangan kecil hati. Tuhan masih dekat dengan kita, hanya Ia sedang menguji kita. Apakah kita dalam keadaan demikian “melu edan karena mau ikut komanan” atau bisa selalu “eling lan waspada”. Kata Ki Rangga Warsito “sakbeja-bejaning sing
edan isih luwih beja sing eling lan waspada” atau dari pada yang bertindak gila angkara murka masih lebih beruntung yang pelihara kesadaran hidup. Demikian Pak Frederick dan Selamat Berjuang di bidang Anda membangun Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wassalam,
Sayidiman Suryohadiprojo
Bapak Sayidiman yang terhomat, Salam !
Salam perkenalan, Bapak !. Sebenarnya saya sudah lama mengenal Bapak melalui buku Bapak “Masalah Pertahanan Negara” 44 tahun yang lalu ketika saya kadet di akademi pelayaran. 20 tahun kemudian ketika saya mengajar di akademi, buku tersebut bersama dengan “Langkah-langkah Perjuangan Kita” menjadi reference saya.
Saya memperoleh informasi blog ini melalui putri Bapak di Facebook SRIT (Sekolah Republik Indonesia – Tokyo) beberapa hari yang lalu ketika saya posting mengabarkan bahwa ayah saya (Eddy Hermawan) yang dahulu mengajar di SRIT 1968-1987 tanggal 3 Juli lalu tutup usia di Tokyo pada usia 90 tahun.
Saya gembira sekali bahwa Bapak masih still going strong dan tetap menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan bangsa ini yang sekarang dalam keadaan tidak menentu arahnya.
Bangsa kita ini sedang sakit, Pak !.
Kita ini selalu melupakan sejarah dan tidak pernah belajar dari sejarah, selalu mengulangi kesalahan yang sama.
Sudah jelas di tahun 1950an demokrasi dan liberalisme tarung-bebas tidak cocok dengan kita, terbukti dengan stagnannya Konstituante yang memaksa kita harus membubarkannya.
Penggantinya, demokrasi terpimpin dan otoriterisme juga ternyata tidak cocok, malahan menjerumuskan Bung Karno pada situasi chaos yang berakhir di sebuah sumur tua di Lubang Buaya.
Periode setelah 1966 sebenarnya telah membangun tapak jalan yang kokoh untuk menuju kejayaan negeri. Kalau saja kita tetap teguh setia dengan cita-cita Orde Baru yang semula, saya kira prediksi di awal tahun 1970an bahwa dalam “dalam 25 tahun ke depan, kita dapat menyamai Jepang” tidaklah keliru, sayangnya kesalahan selalu berulang yang berujung pada kobaran api tak terkendali di Mei 1998.
Pasca 1998, nampaknya kesalahan akan diulangi lagi, Pancasila dan nasionalisme dianggap produk usang yang harus dibuang, liberalisme tarung-bebas dan demokrasi tanpa-batas tanpa-etika diperkenalkan sebagai produk unggulan.
Padahal di Barat sendiri, liberalisme tarung-bebas sudah banyak memperoleh kritik tajam.
Kemanakah arah pembangunan kita yang sekarang ?. Pembinaan karakter bangsa kini benar-benar memprihatinkan, hujat-menghujat, anarkisme, dan korupsi merajalela.
Semoga para pemimpin negeri ini yang mendatang bisa menyadarinya.
Teriring doa saya agar Bapak Sayidiman tetap diberi kesehatan yang prima oleh Yang Maha Kuasa agar dapat terus memberi dorongan supaya negara dan bangsa ini dapat kembali ke pedoman yang benar !.
Wassalam & saluir !
Frederick
Dear Eyang Sayidiman,
Saya selalu amazed membaca tulisan Eyang. Ternyata selalu up to date dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia di jaman reformasi ini. Mulai dari masalah konflik horisontal antar agama mayoritas dan minoritas antara Sunni dan Syiah dan Ahmadiah. Juga masalah jurang kemiskinan yang semakin lebar bisa dilihat melalui koefisien Gini. Juga kepemilikan perusahaan keuangan yang dimiliki pihak asing yang sampai 99%.
Memang betul sekali apa yang dikatakan Eyang reformasi ini sudah kebablasan. Pancasila seolah olah sudah dilupakan oleh karena itu Almarhum Pak Taufik Kiemas kembali memperjuangkan Pancasila.
Saya teringat cerita orang orang tua kita di jaman dahulu bahkan banyak orang Masjumi yang menyekolahkan anaknya di sekolah katolik supaya mereka lebih mengerti arti dari keberagaman itu.
Masalah otonomi daerah sekarang sangat meresahkan karena menimbulkan raja raja kecil yang tidak peduli dengan kemiskinan di daerahnya hanya menyuburkan korupsi and KKN. Harga-harga bahan pokok semakin terpuruk dan banyak pejabat pemerintah yang hidup di menara gading yang tidak peduli dengan kehidupan masyarakat kecil.
Ekonomi kita sudah liberal sebebas bebasnya. Bukan lagi ekonomi Pancasila. Peran pemerintah sebagai stabilitas harga seperti jamannya Pak Harto sudah mandul akibatnya pengusaha bisa seenaknya menaikkan harga. Sehingga yang kaya semakin kaya luar biasa. Padahal ekonom terkenal JM Keynes telah mengingatkan peran pemerintah untuk menstabilkan ekonomi dari keserakahan ekonomi yang terlalu bebas (government intervension to regulate).
Saya mencemaskan Indonesia akan menjadi Amerika Serikat (saya pernah 10 tahun disana) dan Eropa dimana ekonomi akan ambruk karena ulah spekulan yang serakah dan membuat asset pricing to become highly inflacted. Itu sekarang terjadi di properti di Indonesia yang harganya sudah jauh dari kemampuan masyarakat bawah.
Apakah Tuhan baik dengan bangsa Indonesia dengan adanya tokoh seperti Pak Jokowi yang mau turun ke bawah dan mengerti kesusahan rakyat kecil. Sekarang tinggal menunggu apakah Bu Megawati legowo untuk mencalonkan Pak Jokowi capres 2014. Wallahuallam.
Semoga Eyang selalu sehat dan hidup bahagia.
Salam hormat,
Dewa