TARUNA AKADEMI MILITER YOGYAKARTA TURUT MENYELAMATKAN NKRI

Posted by Admin on Sunday, 30 March 2014 | Makalah

Letjen TNI (Purn) Sayidman Suryohadiprojo

 

I. Pendahuluan.

Surat yang dikeluarkan oleh Pimpinan Markas Besar Tentara di Yogyakarta yaitu Letjen Oerip Soemohardjo, pada tanggal 31 Oktober 1945 adalah awal adannya Akademi Militer (Akmil) di lingkungan Republik Indonesia. Sebagai akibat dari surat tersebut, maka diadakan pengumuman kepada para Pemuda terutama di lingkungan Yogyakarta. Oleh karena pada saat itu sedang ada Kongres Pemuda Indonesia maka di Yogyakarta berkumpul pemuda dari seluruh Indonesia. Dengan demikian ada kesempatan bagi pemuda-pemuda dari Republik Indonesia yang luas menjadi Taruna Akademi Militer.

Pada akhir November 1945, diadakan tes ujian masuk yaitu tes jasmani dan wawancara yang menentukan siapa yang diterima di Akmil Yogyakarta. Pada akhir November 1945 pendidikan militer Akmil Yogyakarta dimulai. Inilah Angkatan Pertama Akmil Yogyakarta.

Pada tahun 1946 kembali diadakan penerimaan untuk menjadi Taruna Akmil Yogyakarta yang merupakan Angkatan Kedua dari Akmil Yogyakarta. Pada saat itu di Malang dibuka Sekolah Tentara oleh Divisi setempat. Kemudian ada keinginan untuk mengintegrasikan pendidikan tersebut dengan Akmil Yogyakarta. Penggabungan itu merupakan bagian dari Angkatan kedua Akademi Militer Yogyakarta. Pada tahun 1950 kembali diadakan penerimaan, tetapi tidak banyak pemuda yang berminat. Karena jumlahnya terbatas, Pimpinan Angkatan Darat kemudian mengirim mereka ke negeri Belanda untuk mengikuti pendidikan di Koninklijke Militaire Academie (KMA) Breda, Belanda.

Itulah wujud Akmil Yogyakarta yang berlangsung dari tahun 1945-1950.

Pada waktu itu sebenarnya digunakan istilah Kadet bagi siswa Akademi Militer, sedangkan istilah Taruna baru digunakan setelah tahun 1947.

Pimpinan Markas Besar Tentara telah membuka Akademi Militer dengan kesadaran bahwa perlawanan terhadap Belanda yang terus mengadakan usaha menjajah kembali Indonesia akan berlangsung lama. Oleh karena itu diperlukan tenaga pimpinan yang bisa melanjutkan perjuangan melawan penjajah untuk jangka waktu lama. Maka karena itu sifat Akmil Yogyakarta tertuju untuk mempersiapkan tenaga pimpinan itu untuk menghadapi penjajah Belanda pada tahun 1945. Sebab itu motif atau dorongan Pemuda masuk Akmil Yogyakarta berbeda dengan Pemuda yang sekarang menjadi Taruna Akmil Magelang. Pada waktu itu motif kami masuk Akmil Yogyakarta adalah untuk siap bertempur dan mampu menjalankan berbagai tugas yang bersangkutan dengan itu. Hal tersebut tentu berbeda dengan motif para Taruna Akmil Magelang sejak tahun 1957. Namun demikian saya yakin bahwa dasar dari keinginan para Pemuda Indonesia masuk Akmil tetap sama, yaitu bagaimana ia dapat mengabdi, memberikan jiwa dan raganya untuk kepentingan bangsa dan negara. Mungkin dahulu untuk langsung menghadapi pertempuran, sedangkan saat ini memupuk kemampuan-kemampuan yang bermanfaat untuk mengabdi kepada bangsa dan negara.

Pimpinan Akmil Yogyakarta telah ditetapkan oleh Letjen Oerip Sumohardjo dengan mengangkat Jenderal Mayor Soewardi sebagai Direktur Akmil Yogyakarta.

(Catatan : pada waktu itu sebutan pangkat Jenderal Mayor mengikuti cara Belanda, namun setelah tahun 1950 berubah mengikuti cara Inggeris/AS, yaitu Mayor Jenderal. Waktu itu belum ada pangkat Brigadir Jenderal yang baru ada pada akhir tahun 1950an).

 

II. Pembentukan Keperwiraan.

Tujuan Akmil Yogyakarta dan setiap Akademi Militer adalah membentuk Perwira-Perwira yang menjalankan Kepemimpinan Angkatan Perang dinegaranya. Oleh karena itu pembentukan Keperwiraan hakikatnya adalah pembentukan Kepemimpinan.

Kami sebagai Angkatan Pertama Akmil Yogyakarta merasa beruntung karena mengalami pembentukan keperwiraan yang menyiapkan kami melaksanakan tugas pertempuran. Guru-guru dan instruktur-instruktur yang ada di Akademi Militer Yogyakarta pada waktu itu terdiri dari dua macam Perwira, yaitu Perwira dari Tentara Pembela Tanah Air (PETA) jaman Jepang dan Perwira dari Tentara Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) Hindia Belanda.

Keputusan Pimpinan Akmil Yogyakarta Jenderal Mayor Soewardi untuk menggunakan Perwira sesuai dengan kemampuannya adalah amat bijaksana. Oleh karena yang ditetapkan menjadi Komandan Kompi Taruna, Komandan Seksi Taruna (dahulu nama peleton adalah Seksi) adalah mantan Perwira PETA dan Komandan Regu Taruna adalah mantan Bintara PETA. Hal tersebut merupakan pilihan tepat karena sebagai PETA mereka telah mendapat pendidikan dari tentara Jepang yang memiliki banyak pengalamanan perang dan pertempuran dibandingkan Tentara Hindia Belanda. Para Perwira PETA dapat meneruskan kecakapan dan kemampuannya menghadapi tugas-tugas sebagai Perwira pasukan yang siap bertempur kepada Taruna. Akan tetapi kami sebagai calon Perwira juga membutuhkan pengetahuan teori, seperti ilmu taktik umum, sejarah militer, ilmu bumi militer dan lain-lain. Untuk itu mantan Perwira KNIL yang menjadi guru kami.

Pendidikan kami sebagai Angkatan Pertama Akmil Yogyakarta merupakan harmonisasi dari pendidikan militer Jepang dan Hindia Belanda. Hal tersebut sangat bermanfaat dan saya sangat merasakannnya. Pimpinan Akmil Yogyakarta berpendapat bahwa Keperwiraan membutuhkan pendidikan oleh raga yang baik, mendalam dan intensif. Untuk itu Akmil Yogyakarta membuka bagian dengan nama Sekolah Olah Raga (SORA) yang ditempatkan di Sarangan di kaki Gunung Lawu. Di Sarangan terdapat komunitas Jerman yang sejak pendudukan Jepang ada di tempat itu (pada Perang Dunia II Jepang dan Jerman merupakan sekutu). SORA dipimpin oleh Mayor Dr. Singgih dengan guru-guru dan instruktur-instruktur bangsa Indonesia dan Jerman. Di samping pendidikan olah raga, SORA dimanfaatkan juga untuk mendidik para Taruna dalam bahasa asing, khususnya bahasa Jerman dan bahasa Inggris.

Pendidikan olah raga meliputi pendidikan atletik, permainan dan senam. Pada awalnya kami tidak dapat melakukan salto, tetapi setelah mendapatkan pendidikan senam, kebanyakan dari kami dapat melakukan salto sebagai hal yang normal. Hal tersebut berkat pendidikan guru-guru dan pendidikan jasmani yang bermutu, diantaranya bernama Herr Hupfer yang pada tahun 1936 menjadi pelatih Tim Senam Jepang untuk menghadapi Olimpiade. Guru bahasa Inggris dan Jerman juga cukup kompeten.

Pendidikan di Yogyakarata yang bersifat pendidikan militer di kelas maupun di lapangan ditambah pendidikan olah raga telah membentuk kami sebagai perwira TNI yang dapat diandalkan. Hal mana dapat dibuktikan setelah selesai pendidikan dan kami ditugaskan pada pasukan-pasukan TNI.

 

III. Melaksanakan Tugas Lapangan.

Pendidikan yang dijalankan di Akmil Yogyakarta tertuju kepada persiapan perwira-perwira yang cukup handal di medan pertempuran. Sebab itu, di samping pendidikan di sekolah kami mendapat kewajiban melakukan tugas lapangan yang secara langsung menghadapi masalah operasi dengan pihak Belanda.

Pada akhir Desember 1945, Jenderal Mayor Soewardi membawa 27 Taruna menjalankan tugas lapangan di Front Mojokerto Jawa Timur, selama dua bulan sebelum kembali ke Yogyakarta untuk bersama-sama Taruna yang lain menjalankan kuliah.

Pada tahun 1946 dilaksanakan tugas lapangan di Bandung Utara, dimana Jenderal Mayor Dr. Mustopo memimpin Divisi P. Bapak Mustopo meminta Pak Suwardi untuk menugaskan Taruna di Bandung Utara untuk membantu beliau. Maka satu Kompi Taruna bertugas selama ± 4 (empat) bulan di Bandung Utara.

Tugas lapangan yang berikut adalah ketika Belanda melakukan serangan atau Aksi Militer ke-1 pada 21 Juli 1947. Dalam aksi militer kesatu itu, para Taruna ditugaskan di berbagai daerah, khususnya untuk menyiapkan Perlawanan Gerilya oleh rakyat bersama TNI.

Tugas pertempuran berikut yang dihadapi Taruna Akmil Yogyakarta adalah ketika terjadi pemberontakan PKI di Madiun. Pada bulan September 1948 setelah selesainya PON I di Surakarta, terjadi pemberontakan PKI di Madiun. Pada PON I, beberapa Taruna Akmil Yogyakarta ikut serta termasuk saya sendiri, kami turut bertanding dalam cabang olah raga sepak bola, atletik dan bola keranjang mewakili daerah Yogyakarta. Pada waktu itu, senam bukan merupakan cabang yang dipertandingkan, dan para Taruna Akmil Yogyakarta memberikan demonstrasi senam lantai yang bermutu. Setelah PON I selesai dan kami bermaksud kembali ke Yogyakarta, terjadi pertempuran di Serambatan, yaitu satu pasukan Angkatan Laut yang berpihak kepada PKI menyerang satu kompi Siliwangi. Pada saat itu di Madiun dimulai pemberontakan yang dipimpin oleh Muso. Akibat pertempuran di Solo maka para peserta PON tidak dapat kembali ke daerah masing-masing termasuk para Taruna. Baru setelah beberapa hari kereta api berjalan normal kami dapat kembali ke Jakarta. Akan tetapi, baru tiga hari kembali Akmil Yogyakarta mengirim bantuan pasukan untuk ditugaskan pada Gubernur Militer Surakarta yang dipimpin oleh Kolonel Gatot Subroto.

Dapat diuraikan bahwa pada tahun 1946-1947 terjadi rasionalisasi dan re-organisasi dalam TNI. Dalam RE&RA itu semua Perwira mengalami penurunan pangkat, antara lain Bapak Gatot Subroto yang memimpin Panglima Divisi di Purwokerto dengan pangkat Jenderal Mayor turun pangkat menjadi Kolonel. Satu-satunya Perwira yang tidak turun pangkat adalah Panglima Besar Jenderal Sudirman.

Kompi dari Akmil Yogyakarta yang ditugaskan di Gubernur Militer Surakarta terdiri dari tiga seksi. Kemudian oleh Bapak Gatot Subroto Kompi ini ditugaskan pada Batalyon Nasuhi Siliwangi yang sedang melakukan operasi merebut kembali Wonogiri. Kompi Akmil Yogyakarta turut dengan Batalyon Nasuhi operasi di Solo Selatan sampai Pacitan dan kemudian menghadapi PKI di Cemoro Sewu. Bertugas menghadapi pemberontakan di Madiun memberikan banyak pengalaman kepada kami, terutama ditugaskan mendampingi Batalyon Nasuhi. Sebagai contoh, pada saat saya menjadi Komandan Seksi, terjadi pertempuran untuk memrebut jembatan Sumo Ulun yang melintasi Bengawan Solo Peretempuran itu meruapakan pengalaman pertama melakukan serangan penyebrangan sungai. Dengan berbagai pengalaman berharga ini, pelajaran teori telah dilengkapi dengan baik.

Setelah Akmil Yogyakarta dapat meluluskan Angkatan Pertama pada akhir tahun 1948, terjadi kembali serangan Belanda terhadap RI dan merebut Yogyakarta. Untuk menghadapi serangan Belanda, Akmil Yogyakarta melakukan Opersi Gerilya di Wehrkreise Yogyakarta dan menempati Sub-Wehrkreise (SWK) 104. Pasukan Akmil Yogyakarta dipimpin oleh Gubernur Akmil yang kedua, yaitu Kolonel GPH Djatikoesumo. Pasukan Akmil Militer aktif dalam pertempuran-pertempuran menghadapi Belanda, dan nantinya juga ikut serta dalam Serangan Umum 1 Maret terhadap Yogyakarta. Serangan pertama dilakukan Akmil Yogyakarta terhadap lapangan udara Meguwo. Diikuti kemudian dengan serangan terhadap posisi Belanda di jalan Gondokusuman Yogyakarta. Serangan menghadapi Gondokusman telah mengakibatkan gugurnya Taruna Lili Rochli yang namanya kemudian diabadikan sebagai nama gedung di mana sekarang kita berada. Kemudian terjadi juga serangan ke Kaliurang dan pertempuran di Plataran.

Dengan berbagai tugas lapangan dan tugas pertempuran, nyata sekali Akmil Yogyakarta mempunyai peran yang tidak dapat diabaikan dalam penyelamatan RI.

 

IV. Pelaksanaan Ujian Akhir.

Setiap pendidikan tentu melakukan ujian akhir untuk menentukan keberhasilan para siswa / pelajar, demikian pula Akmil Yogyakarta. Sebenarnya ujian akhir untuk pendidikan olah raga telah dilakukan di Sarangan. Ujian akhir Akmil Yogyakarta meliputi tes semua mata pelajaran yang telah diperoleh, termasuk bongkar pasang senjata, tes olah raga dan lain.

Tes teori meliputi, antara lain ilmu taktik umum, sejarah militer, hukum militer, ilmu bumi militer dan lain-lain. Karena banyaknya mata pelajaran yang diuji, maka bagi Taruna peserta PON I, ujian akhir belum selesai ketika kami berangkat ke Solo dan baru dapat diakhiri setelah kembali menghadapi pemberontakan di Madiun.

Dari Angkatan Pertama pada tanggal 28 November 1948 ditetapkan 196 orang sebagai Letnan Dua TNI dan dilantik oleh Presiden RI Soekarno di Gedung Negara.

Pada akhir tahun 1949 (setelah akhir Perang Kemerdekaan II), Angkatan Kedua Akmil Yogyakarta melakukan ujian akhir tetapi tidak seluas Angkatan Pertama karena keterbatasan waktu.

 

V. Makna dari Pertempuran Plataran.

Saya perlu kemukakan Pertempuran Plataran secara khusus karena peristiwa itu memberikan motivasi kepada mantan Akmil Yogyakarta di manapun ia berada. Pertempuran Plataran bermula ketika Pasukan Belanda bermaksud mengadakan pembersihan terhadap pasukan Akmil Yogyakarta. Dalam serangan sebelumnya, seorang Taruna bernama Abdul Jalil tertembak oleh Belanda dan gugur. Dan di sakunya terdapat buku saku yang berisi catatan-catatan cukup jelas tentang posisi pasukan Akmil Yogyakarta. Berdasarkan informasi tersebut, Belanda pada 24 Februari 1949 melakukan operasi pembersihan yang ditujukan pada desa Kringinan. Sebab menurut catatan Abdul Jalil di desa itu terdapat pimpinan Akmil. Gugurnya Abdul Jalil menimbulkan kewaspadaan kepada Pimpinan Pasukan Akmil Yogyakarta untuk meninggalkan Kringinan dan pindah ke desa-desa di sebelah utaranya. Untuk mengamankan gerakan pemindahan Pimpinan Pasukan Akmil Yogyakarta, sekelompok pasukan Akmil Yogyakarta berada di desa Plataran. Pasukan Belanda yang kecewa karena tidak mendapatkan pasukan Akmil di Kringinan, kemudian bergerak ke timur. Dan di Plataran terjadi pertempuran yang dilakukan pasukan Akmil di Plataran yang mengamankan pemindahan Pasukan Pimpinan. Pertempuran Pelataran merupakan tindakan pengabdian yang bersifat pengorbanan yang dilakukan anggota Pasukan Akmil.

Sebagai akibat dari pertempuran tersebut, telah gugur 8 (delapan) anggota Akmil, yaitu :

1. Letnan Dua Utoyo Notodirdjo selaku Pemimpin Pasukan.

Utoyo telah menunjukan ketauladanan, ketika mengambil oper senjata Bren dari Taruna yang terkena tembak dan melanjutkan penembakannya sehingga ia sendiri gugur.

Secara pribadi saya dekat dengan Saudara Utoyo karena sejak jaman Belanda, kami menjadi anggota Kepanduan Arjuna di Semarang dan saya kenal bahwa Utoyo selalu menjadi tauladan di dalam kehidupannya. Apa yang diperbuat di dalam pertempuran Plataran memang sesuai dengan sifatnya yang ditunjukkan sepanjang hidupnya.

2. Letnan Dua Sukotjo.

Kedua Perwira itu baru saja dilantik pada tanggal 28 Nopember 1948.

Selain itu telah gugur 5 (lima) Taruna lain dan seorang anggota Tentara Pelajar (TP) yang bergabung dengan Akmil. Tindakan pengabdian dan pengorbanan itu ingin kami abadikan sebagai sifat dan sikap Taruna Akmil. Karena itu telah dibangun Monumen Plataran dimana tercatat nama-nama yang gugur dengan harapan semoga menjadi inspirasi dan tauladan bagi Taruna Akmil serta membentuk jiwa Taruna untuk menjadi Perwira TNI yang dapat dibanggakan.

Di samping itu perlu diingat bahwa telah disusun Hymne Taruna oleh Taruna Mulyono dari Angkatan Pertama yang kemudian pada tahun 1951 telah gugur di dalam pertempuran di Sulawsi Selatan sebagai Kapten. Hymne Taruna berbunyi :

Biar Badan Hancur Lebur, Kita kan Bertempur.

Membela Keadilan Suci, Kebenaran Murni.

Di bawah Dwi Warna Panji, Kita kan Berbakti

Mengorbankan Jiwa dan Raga, Membela Ibu Pertiwi.

Demi Allah Maha Esa, Kami nan Bersumpah.

Setia Membela Nusa Bangsa, Tanah Tumpah Darah.

(Dahulu bernama Sumpah Taruna).

Hymne Taruna telah dihasilkan oleh Taruna Mulyono padatahun 1947 setelah Perang Kemerdekaan I.

Kami alumni Angkatan Pertama Akmil Yogyakarta mengharapkan semoga Pimpinan Akmil Magelang bersedia mengambil alih pengurusan Monumen Plataran sebagai jalan menumbuhkan motivasi kuat bagi para Taruna Akmil untuk mengabdi kepada bangsa dan negara.

Perlu disampaikan sejak dibukanya Akmil di Yogyakarta pada 1945 sampai dengan tahun 1950 telah gugur 27 anggota Akmil terdiri dari 12 orang yang telah dilantik sebagai Letnan Dua dan 15 orang Taruna.

 

VI. Penutupan dan Pembukaan kembali Akademi Militer.

Pada tahun 1950, setelah diterima Angkatan Ketiga Akademi Militer yang sedikit jumlahnya, Pimpinan Angkatan Darat Kolonel A.H Nasution berpendapat bahwa Angkatan Darat segogianya lebih memberikan perhatian kepada pembinaan Perwira yang sudah ada. Pimpinan Angkatan Darat memutuskan Akmil Yogyakarta, ditutup. Pada saat itu, penerimaan Akmil Yogyakarta baru 8 orang yang kemudian bersama para Pemuda yang baru lulus SMA dikirim ke Koninklijke Militaire Academie (KMA) Breda, Belanda.

Penutupan Akmil Yogyakarta sebenarnya merupakan tindakan yang tidak memperhatikan segi idiil dari pendidikan Perwira, sebab tidak mungkin pembentukan Keperwiraan untuk TNI bersifat lengkap dengan jiwa kepatriotan jika dilaksanakan di luar negeri, karena hanya di dalam negeri seorang Pemuda dapat dibentuk dan tumbuh menjadi seorang Perwira yang mengabdi kepada bangsa dan negara, membela Pancasila sebagaimana ditetapkan didalam Sapta Marga. Sejak tahun 1950, Akmil Yogyakarta tidak ada lagi.

Syukur Alhamdulillah, dalam perkembangan jaman disadari bahwa tidak mungkin suatu negara tanpa memiliki Akmil. Kolonel GPH Djatikusumo (Mantan Gubernur Akmil kedua) ketika menjabat sebagai Direktur Zeni Angkatan Darat meminta Kolonel A.H Nasution untuk membuka Sekolah Perwira Zeni yang berkembang menjadi Akademi Zeni. Usaha Kolonel GPH Djatikusumo telah mendorong dan menyadarkan bahwa Indonesia memerlukan suatu Akademi Militer.

Maka syukur Alhamdulillah, pada 11 November 1957 telah dibuka kembali Akmil yang ditempatkan di Magelang, berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno dengan tulisan tangan :

“Dengan ini, maka Akademi Militer Nasional dengan angkatannya yang keempat saya buka kembali, dan saya resmikannya dalam kompleks A.M.N yang bersifat sementara”.

Magelang 11 November 1957.

Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia.

Soekarno.

Dengan keputusan itu maka Akmil yang dibuka pada 11 November 1957 di Magelang merupakan kelanjutan dari Akmil Yogyakarta.

 

VII. Masa Depan.

Setelah para Taruna Akmil Yogya mengakhiri keTarunaannya dan dilantik menjadi Perwira TNI, pengabdian mereka lebih berkemabnag. Demikian pula harapan saya bagi taruna Akmil Magelang, semoga nanti sebagai Perwira TNI selalu menyumbangkan pengabdiannya kepada Negara dan bangsa Indonesia. Bila diperlukan juga memberikan pengorbanan jiwa dan raga.

Satu saat status sebagai militer TNI berakhir sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Namun itu hanya menyangkut faktor legalitas atau faktor hukum. Sebab sebagai anggota TNI yang hakiki ia adalah anggota TNI sepanjang hidupnya.

Pengabdian akan berlanjut sebagai TNI yang warga sipil. Seperti kata pepatah Inggris : “For a Fighting Nation there is no Journey’s End” atau Tiada akhir bagi Bangsa yang Berjuang. Anggota TNI adalah Pejuang sepanjang zaman.

Pengabdian dapat dilakukan dalam semua bidang kehidupan. Dan itu dapat dilakukan sebagai anggota Legiun Veteran RI. Saya tegaskan erat hubungannya TNI dengan eksistensi Legiun Veteran RI (LVRI). Setiap warga negara RI yang telah mengabdikan diri dalam perjuangan, membela bangsa dan negara Indonesia menjadi anggota LVRI sesuai UU No. 15 tahun 2012 tentang Veteran RI pada pasal 18.

LVRI disahkan oleh Presiden Soekarno pada 2 Januari 1957 dengan Ketua LVRI Pertama Letkol Rudi Pirngadi. Dalam sejarahnya, LVRI telah melanjutkan pengabdian dalam lingkungan NKRI yang sebelumnya dilakukan dalam lingkungan TNI. Berdasarkan UU No. 15 tahun 2012 tentang Veteran RI. Veteran dibagi kedalam tiga kategori, yaitu :

1. Veteran Pejuang adalah mereka yang mengabdikan diri dalam perjuangan Kemerdekaan dan dianggap selesai pada tahun 1950.

2. Veteran Pembela adalah mereka yang mengabdikan diri dalam pembelaan setelah tahun 1950.

3. Veteran Perdamaian adalah mereka yang dikirim dalam rangka misi perdamaian dunia sesuai mandat PBB.

Maka LVRI tidak akan pernah berakhir selama adanya Republik Indonesia. Para Veteran Pejuang tidak lama lagi akan habis karena faktor usia, tetapi Republik Indonesia akan terus ada dan akan terus ada pengabdian TNI terhadap bangsa dan negara, seperti pengembalian Irian Barat, tugas di Timor-Timur dan lain-lain. Inilah yang melahirkan Veteran Pembela dan tugas-tugas lain yang mungkin akan datang. Sedangkan misi perdamaian sesuai mandat PBB melahirkan Veteran Perdamaian.

Maka sebagai Almuni Angkatan Pertama Akmil Yogyakarta saya sampaikan harapan saya kepada semua Taruna :

SELAMAT BERJUANG, SELALU TUNJUKKANLAH SIKAPMU SEBAGAI TARUNA SESUAI HYMNE TARUNA YANG SENANTIASA KAU NYANYIKAN.

RSS feed | Trackback URI

2 Comments »

Comment by irawati
2016-02-12 09:49:56


Yth. Bapak Sayidiman..

Gembira bisa membaca block ini, saya irawati, cucu dari Letkol RP Soewardi tjokrohatmodjo, terakhir beliau dinas di Bandung mengemban amant merintis sejarah TNI (perpustakaan sejarah TNI).

Disatu sisi saya ingat ortu kami pernah menyampaikan bahwa beliau pernah menjabat sebagai Direktur Akmil. Walaupun mungkin hanya sesaat karena mungkin ditugasi ke bandung tsb. Pakle kami sendiri pernah melihat SK nya namun file nya sudah tidak ketemu.

Apakah bapak ada catatan yang menyebutkan hal tersebut pak :-)..
Hal ini sangat berarti tuk kami keluarga dan juga mungkin tuk melengkapi catatan sejarah dalam buku-buku yang ada.

Dalam salah satu buku ‘Laporan Kepada Bangsa: akmil yogja’. tercatat eyang kami sebagai Guru di Akmil yogja waktu itu.

Demikian Pak.
Salam Hormat kami.

 
Comment by Yoga Suprapto
2014-05-23 11:55:45


Yth. Bapak Sayidiman,

Saya Yoga Suprapto. Ayah saya Suprapto (Alm), meninggal 1977. Angkatan II Akmil Yogyakarta. Pangkat terakhir May. Jend di Mabesad.

Seingat saya, Ayah cukup dekat dengan Pak Sayidiman. Apa Bapak masih menyimpan foto2 Akmil. Saya teringat ada foto pelantikan Akmil II oleh Pak Djatikusumo. Ada foto Ayah sebagai lulusan terbaik (?). Kalau ada saya ingin dapat copy-nya.

Salam Hormat,

Yoga Suprapto

 
Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post