Beberapa Kelemahan Dalam Persetujuan Pertahanan Indonesia-Singapura

Posted by Admin on Monday, 28 May 2007 | Opini

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo

Jakarta, 28 Mei 2007

1. Perjanjian Pertahanan dikaitkan dengan Perjanjian Ekstradisi

Meskipun kalangan Pemerintah RI menyangkal bahwa pembuatan Perjanjian Pertahanan dengan Singapura dikaitkan dengan Perjanjian Ekstradisi yang juga dilakukan dengan negara itu, namun karena dilakukan sangat berdekatan waktunya sukar dielakkan adanya kesan bahwa terjadi kait mengait antara dua perjanjian itu. Padahal masalah pertahanan sangat berbeda dengan masalah ekstradisi.
Karena dilakukan dalam waktu yang berdekatan mau tidak mau timbul kesan bahwa ada semacam “trade off’ dalam pencapaian dua persetujuan itu.
Indonesia yang sangat berkepentingan dengan adanya perjanjian ekstradisi berhubung dengan kerugian yang yang telah dialami karena perbuatan kriminal dari orang-orang yang bersembunyi di Singapura, nampak memberikan konsesi penting dalam perjanjian pertahanan agar Singapura mau membuat perjanjian ekstradisi yang sudah lama diinginkan Indonesia.
Seharusnya pembuatan dua macam perjanjian itu dilakukan tidak bersamaan.

2. Kurang peka dalam melihat faktor kedaulatan negara dihubungkan dengan faktor wilayah.

Hal ini nampak dalam pemberian kemungkinan oleh RI kepada Singapura untuk membuat dan menggunakan daerah latihan di wilayah nasional RI di darat, laut dan udara (pasal 3 a). Apalagi di daerah latihan tersebut Singapura dapat melakukan latihan sendiri dan mengajak pihak ketiga (Pasal 3 b dan c). Meskipun partisipasi pihak ketiga harus dengan persetujuan Indonesia, namun inisiatif untuk memungkinkan partisipasi pihak ketiga ada pada Singapura.
Dengan begitu angkatan bersenjata Singapura beroperasi (sekalipun dalam kategori latihan) secara bebas di wilayah nasional Indonesia yang tidak kecil ukurannya di darat, laut dan udara. Itu berarti bahwa RI melepaskan sebagian kedaulatannya atas wilayah nasionalnya kepada Republik Singapura.
Buat orang Indonesia yang telah berjuang untuk menjadikan kedaulatan Indonesia atas seluruh wilayah daratan, lautan dan udara bekas HIndia Belanda satu kenyataan, dengan pengorbanan yang tidak sedikit, sikap yang kurang peka ini sukar diterima.

3. Pandangan tentang pertahanan yang kurang memperhatikan faktor kemandirian.

Nampaknya pemberian kemungkinan bagi Singapura untuk membuat dan mengoperasikan daerah latihan di wilayah nasional RI di”kompensasi” dengan pemberian kemungkinan bagi Indonesia untuk menggukan fasilitas latihan Singapura. Terasa sekali ada sikap yang amat pragmatis, yaitu karena Indonesia belum mampu untuk menyediakan teknologi pertahanan yang mutahir bagi TNI, sedangkan Singapura mempunyai teknologi itu, maka wajar kalau TNI meningkatkan mutunya dengan berlatih menggunakan fasilitas Singapura itu. Dalihnya adalah peningkatan profesionalisme TNI.
Namun dengan sikap demikian faktor kemandirian dalam penyusunan pertahanan diabaikan. Sedangkan umumnya negara yang berada dalam satu pakta pertahanan saja tetap mengusahakan agar sejauh mungkin menjaga kemandirian pertahanannya, apalagi bagi Indonesia yang tidak terlibat dalam pakta pertahanan mana pun. Kemandirian dalam pertahanan bukan hanya masalah idealisme atau ideologi, melainkan mempunyai makna praktis dalam menjamin efektivitas pertahanan. Bagaimana TNI dapat berfungsi efektif kalau personilnya menjalankan latihan dengan peralatan dan senjata pihak lain yang tidak dimiliki sendiri. Secara psikologis timbul rasa kurang mampu menjalankan fungsi pertahanan karena tidak memiliki alat dan senjata “modern” yang dipunyai angkatan bersenjata lain. Timbul anggapan salah bahwa profesionalisme harus lekat dengan alat dan senjata modern.
Padahal dalam perang masa kini telah terbukti bahwa memang teknologi adalah faktor penting, tetapi yang menentukan kalah menangnya perang bukan teknologi, melainkan semangat dan kehendak kuat untuk terus melakukan perlawanan. Begitu banyak contoh tentang hal itu, yang paling jelas adalah Perang Vietnam yang 30 tahun lamanya, di mana superioritas teknologi Perancis dan kemudian AS tidak dapat menundukkan perlawanan bangsa Vietnam. Demikian pula kegagalan bekas Uni Soviet ketika hendak menundukkan Afghanistan. Dan sekarang AS masih terus mengalami kesulitan perlawanan rakyat Irak. Dalam ukuran lebih sederhana adalah keberhasilan Indonesia mengalahkan Belanda dan merebut kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.
Sebab itu pragmatisme yang mengorbankan kemandirian dalam pertahanan adalah satu kechilafan yang besar dan amat menjerumuskan bangsa. Dan perlunya pengertian profesionalisme yang realistis, bukan hanya dilekatkan dengan “modern”.

4. Kesangsian terhadap masih berlakunya Pertahanan Rakyat Semesta.

Mereka yang menghasilkan Perjanjian Pertahanan RI-Singapura ini nampaknya sudah meninggalkan konsep Pertahanan Rakyat Semesta. Memang sudah sejak beberapa tahun timbul kesangsian apakah para pengendali pertahanan masa kini masih menganut pikiran dan sikap mempersiapkan dan menjalankan pertahanan negara berdasarkan konsep Pertahanan Rakyat Semesta.
Mereka yang lebih muda umur, baik dalam maupun di luar TNI, terpesona oleh gemilangnya teknologi dan menganggap bahwa Indonesia harus menganut konsep pertahanan yang mereka sebut “modern”. Akan tetapi pengertian modern ini lebih dihubungkan dengan faktor teknologi belaka. Akibatnya segala sesuatu yang dinilai bukan-modern, jadi hasil generasi yang lalu, dianggap kuno dan tidak ada gunanya. Sebagaimana ada seorang pakar politik dari satu lembaga strategis terkenal di Jakarta mengatakan bahwa pikiran perwira senior itu sudah tidak relevant dan tidak ada gunanya. Malahan belum lama ini ada seorang sarjana yang digolongkan ahli pertahanan mengatakan bahwa Indonesia hanya kuat menghadapi satu offensif dari luar paling lama satu minggu. Meskipun ia sarjana yang ahli pertahanan rupanya ia kurang bersedia melihat kegagalan AS di Irak sekarang. Yang dalam benaknya hanya perlawanan konvensional yang memang amat ditentukan oleh faktor teknologi. Mungkin karena ia belajar di dunia Barat, khususnya AS, maka sama sekali mengabaikan perlawanan non-konvesional yang sudah berhasil menggagalkan usaha adikuasa militer seperti AS dan bekas Uni Soviet.
Namun adalah juga kenyataan bahwa orang-orang ini, sekalipun sarjana kaliber tinggi, tidak pernah mendalami konsep Pertahanan Rakyat Semesta secara serieus. Sebab sudah purba sangka bahwa hasil pikiran orang lama adalah usang.
Kalau kecenderungan demikian berjalan terus sukar diharapkan Indonesia akan mampu melakukan perlawanan efektif apabila diganggu atau diserang pihak lain.

5. Mengabaikan masalah Sekuriti Negara.

Memberikan kemungkinan kepada negara lain untuk beroperasi militer (sekalipun dalam bentuk latihan) sesuai kehendaknya sendiri di wilayah nasional RI merupakan sikap yang mengabaikan sekali faktor Sekuriti Negara.
Singapura bukan sekutu militer Indonesia, sekali pun bukan musuh militer negara kita. Hal itu terbukti dari perkembangan Asia Tenggara sejak berdirinya Malaysia dan kemudian lepasnya Singapura dari Malaysia. Malahan dengan tetap berlakunya pakta FPDA (Five Powers Defense Arrangement meliputi Australia, Selandia Baru, Inggeris, Malaysia, Singapura), padahal sudah ada ASEAN sejak 1967, merupakan kenyataan bahwa ada semacam sikap konspirasi terhadap Indonesia. Negara-negara itu, termasuk Malaysia yang sering menyebut satu golongan ras Melayu dengan Indonesia, senantiasa mencari keuntungan dari kondisi Indonesia yang lemah. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyak contoh, seperti masalah Ambalat, penggunaan pasir untuk memperluas wilayah, illegal logging dll. Dalam kondisi demikian sebenarnya Indonesia harus berusaha untuk membangun kekuatan yang dapat menangkal berbagai usaha negara-negara di kelilingnya. Kondisi yang dihasilkan oleh Persetujuan Pertahanan RI-Singapura bukannya menunjang terwujudnya kekuatan penangkal, melainkan sebaliknya.

6. Politik Luar Negeri RI menimbulkan tanda tanya.

Konsesi militer yang demikian besar yang diberikan kepada Singapura menimbulkan tanda tanya terhadap politik luar negeri yang sekarang dianut oleh pemerintah RI.
Meskipun Singapura merupakan anggota ASEAN, namun ia juga sangat dekat dengan AS. Dalam perkembangan keadaan internasional yang menempatkan AS makin kuat bersaing dengan China sebagai kekuatan yang makin menonjol, belum jelas bagaimana sikap Singapura yang bagian terbesar rakyatnya adalah etnik China. Namun bahwa Singapura dekat dengan AS, juga dalam strategi pertahanan, adalah kenyataan. Dengan memberikan konsesi militer kepada Singapura, sebenarnya Indonesia secara tidak langsung memberikan juga peluang strategi bagi AS. Apakah itu berarti bahwa RI mau berpihak kepada AS seperti yang dilakukan Singapura ? Kalau demikian halnya, bagaimana dengan sikap RI terhadap China ?
Memang telah terjadi banyak usaha AS yang mengarah kepada containment China. Alliansi Strategis AS dengan India adalah mengarah ke situ. Juga diperkuatnya alliansi AS-Jepang ditambah dengan alliansi pertahanan Jepang-Australia yang baru saja ditandatangani. Apakah ini semua telah berdampak pada cara berpikir para pengendali politik luar negeri RI sehingga membawa mereka makin mendekati kubu AS ? Apakah politik luar negeri bebas aktif mau ditinggalkan secara diam-diam ?
Kalau benar dugaan ini maka Indonesia harus waspada terhadap berbagai gangguan yang tidak hanya bersifat politik, tetapi juga ekonomi dan pertahanan. Sebab China tentu tidak diam kalau hendak dijadikan sasaran containment policy AS.
Selain China, juga kalangan Islam yang makin tidak bersahabat dengan AS makin banyak. Apalagi setelah AS memojokkan Iran, dalam hal mana Indonesia malahan telah mendukungnya (sekalipun para pengendali politik luar negeri RI menyangkalnya).
Memperhatikan sejarah Indonesia maka politik luar negeri bebas aktif adalah jalan yang paling efektif untuk menjamin kepentingan nasional RI. Memang dalam menjalankan politik demikian tidak mustahil RI menempuh jalan “right of the centre” atau “left of the centre”. Akan tetapi tidak keluar jalur bebas-aktif.

7. Manusia Indonesia masih tetap lemah-gumampang.

Penandatanganan Persetujuan Pertahanan RI-Singapura menunjukkan bahwa sifat Manusia Indonesia yang lemah-gumampang tetap kuat, tidak hilang oleh berbagai pendidikan yang modern, tinggi dan canggih. Kondisinya belum berbeda dari keadaan ketika Belanda dan bangsa Eropa lain dengan mudah dapat mengadu domba para penguasa Mataram dan kesultanan lain, sehingga Indonesia yang besar dengan penduduk jauh lebih banyak dari Belanda dengan efektif dijajah oleh bangsa itu selama 300 tahun untuk Jawa.
Sekalipun Singapura hanya negara kota dengan penduduk tidak lebih dari 4,5 juta orang, nampaknya mampu untuk mengulangi hal-hal yang dilakukan Belanda di masa lalu.
Di sini terbukti bahwa yang utama adalah kepemimpinan bangsa Indonesia yang dilandasi semangat kebangsaan, mulai di tingkat nasional sampai tingkat bawah serta kepemimpinan segala aspek kehidupan, khususnya ekonomi, politik, pertahanan dan budaya.

RSS feed | Trackback URI

Comments »

No comments yet.

Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post