Oleh Sayidiman Suryohadiprojo SETELAH Perang Dingin usai dan Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara adikuasa, banyak pihak berpendapat bahwa umat manusia dikuasai AS. Bahkan Francis Fukuyama mengatakan, sekarang sejarah telah berakhir (dalam bukunya The End of History and the Last Man). Ia berpendapat bahwa umat manusia tidak ada pilihan lain dari pada mengikuti pola kehidupan dan sistem politik AS. Sikap AS menunjukkan tekad menguasai dunia dan umat manusia atas dasar unilateral. Menlu AS, Madeleine Albright mengatakan bahwa AS bersikap demikian karena ia Amerika, yaitu satu-satunya kekuatan yang menguasai dunia atas dasar kemampuan militern, ekonomi dan kemampuan politiknya. Sikap unilateral AS itu menghendaki bahwa umat manusia harus menerima segala kebijaksanaan AS karena itu adalah kebijaksanaan yang benar buat umat manusia dan buat setiap bangsa di dunia. Yang terutama menonjol dalam mengembangkan sikap unilateral adalah kelompok neo-konservatif yang tokoh-tokohnya menjadi pejabat penting dalam pemerintahan Presiden read more .....
The Jakarta Post , Jakarta | Thu, 02/05/2004 4:17 PM Sayidiman Suryohadiprojo, Former Governor, National Resilience Institute (Lemhanas), Jakarta Joyoboyo was a king in East Java in the 12th century. His importance in the history of this archipelago, now known as Indonesia, is not because of a spectacular performance as a ruler, but because of his prophecies, particularly regarding the future of Java. The Joyoboyo prophecies still have great influence on the minds of many Indonesians because much of what he predicted has come true. Like his prediction that Indonesia would be ruled by the white race for a long time. This prediction became reality with the 300 years of colonization by the Dutch. Another prediction which became a fact was his prophecy that a yellow race would defeat the white race and would occupy Indonesia as long as the lifetime of a corn stalk. That came true when the Japanese defeated the Dutch in 1942 and occupied Indonesia until 1945, or three-and-a-half years, which corresponds with the lifetime of a corn read more .....
The Jakarta Post , Jakarta | Tue, 01/06/2004 2:52 PM Sayidiman Suryohadiprojo, Former Governor, National Resilience Institute (Lemhanas), Jakarta The capture of Saddam Hussein made the American leaders very happy. It was not only that one of their objectives in fighting a war against Iraq was achieved, but they also thought that it would end the physical resistance and guerrilla warfare on the part of some Iraqi groups. It is, however, a mistake to assume that the capture of Saddam Hussein will automatically finish the guerrilla war against the Americans. That assumption is wrong because it has been far from clear all along that the guerrillas were really led by Saddam Hussein and that their effectiveness depended very much on Saddam’s leadership. Moreover, the continuation of a guerrilla war is in the first place not decided by its leadership, although the role of an effective leader can have a significant influence on a guerrilla war. The Dutch colonial government made a similar mistake when they came up against Indonesian read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo KETIKA Saddam Hussein tertangkap, pemerintah dan tentara Amerika bergembira sekali dan memperkirakan bahwa hal itu akan membawa berakhirnya perlawanan bersenjata rakyat Irak. Pikiran demikian timbul akibat pandangan salah tentang gerilya. Seakan-akan perlawanan gerilya akan selesai kalau pemimpinan ditangkap atau dibunuh. Padahal juga belum jelas dan pasti bahwa Saddam Hussein yang memimpin perlawanan rakyat. Dulu pemerintah dan tentara Belanda membuat kesalahan serupa ketika dalam serangannya ke Yogyakarta tanggal 18 Desember 1948 berhasil menawan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohamad Hatta, dan hampir seluruh kabinet RI. Mereka juga mengira bahwa keberhasilan mereka itu akan mengakhiri perlawanan TNI dan rakyat Indonesia. Akan tetapi yang membuat kesalahan itu tidak hanya pihak Belanda atau mereka yang berpihak kepadanya. Juga ada sementara orang di lingkungan RI sendiri, bahkan ada yang anggota TNI, berpendapat bahwa dengan tertangkapnya pemimpin negara, perlawanan terhadap Belanda telah dan read more .....
The Jakarta Post , Jakarta | Tue, 12/09/2003 12:32 PM Sayidiman Suryohadiprojo, Former Governor, National Resilience Institute (Lemhanas), Jakarta General R. Hartono, former Army Chief of Staff and presently the chairman of the PKPB Party, last week announced Siti Hardijanti Rukmana, or Tutut, President Soeharto’s eldest daughter, as the PKPB’s presidential candidate. Although the close relationship between Hartono and Tutut is public knowledge, many were very surprised by the announcement. As with other parties, Hartono as the party’s chairman was expected to be his party’s presidential candidate. Perhaps not a few people have been surprised to learn that only five years after their father’s resignation and the start of the Reform Movement, a member of the Soeharto family has the courage to return to politics. Not just politics, but actually competing in the presidential election! What is happening now indicates some home truths that the Indonesian public should take into consideration. First, read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo Belakangan ini mulai berkembang pendapat bukan sistem politik tepat untuk Indonesia. Pendapat itu terutama dinyatakan karena ada kesangsian apakah demokrasi yang digelorakan sejak Reformasi dapat menghasilkan perbaikan keadaan negara bangsa. Atau Indonesia malahan menjadi makin mundur dan kacau.< kacau. p> Juga pengalaman bangsa Indonesia tahun 1950-an menerapkan demokrasi parlementer tidak memberi gambaran menggembirakan. Saat itu kabinet jatuh-bangun dalam ukuran bulan dan tidak ada pemerintahan yang membawa stabilitas dan kontinuitas, padahal dua faktor itu amat penting untuk kemajuan. Sebaliknya, para pembela paham demokrasi selalu mengatakan, kondisi Indonesia yang kurang baik kini karena demokrasi baru pada tahap permulaan dan menderita "sakit kanak-kanak". Suatu saat, semua akan berakhir, kata mereka, setelah masyarakat menjadi dewasa dalam menjalankan kebebasan. Kalau sekarang belum apa-apa sudah mau meninggalkan demokrasi, Indonesia akan kembali larut dalam otoriterianisme read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa serangan AS ke Afghanistan dan Irak bukan semata-mata bagian dari perang melawan terorisme. Buktinya Afghanistan sudah begitu lama dikuasai, tetapi Osama bin Laden yang dituduh menjadi penggerak pengeboman 11 September 2001 dan katanya dilindungi Taliban, hingga kini belum tertangkap. Dan di Irak tidak dapat dibuktikan bahwa ada hubungan antara Saddam Hussein dan Osama bin Laden; demikian pula tidak dapat ditemukan senjata destruksi massal yang katanya amat membahayakan keamanan AS sehingga membenarkan dilakukan pre-emptive strike. Sudah jelas bahwa baik serangan ke Afghanistan maupun ke Irak merupakan bagian dari upaya AS untuk menegakkan hegemoninya atas dunia, upaya yang sudah dimulai setelah Perang Dunia Kedua berakhir dan menjadi makin kuat setelah memenangkan Perang Dingin. Penegakan hegemoni itu memerlukan dominasi dalam kontrol atas suplai minyak sebagai bahan energi yang terpenting sebelum hidrogen menggantikan perannya. Dengan mengontrol suplai minyak read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo Sekarang dunia sedang diramaikan oleh perang melawan terorisme yang dikumandangkan AS setelah 11 September 2001. Menurut Chalmers Johnson dalam bukunya Blowback (Time Warner Paperbacks, Londonn, 2002) , sebenarnya serangan yang terjadi terhadap AS pada 11 September 2001 tidak lain dari satu blowback atau dampak berbagai tindakan AS yang dilakukan sebelumnya untuk menegakkan hegemoni atas dunia. Sudah lama para hegemoni merupakan acara penting dalam politik luar negeri Amerika. Perang Dingin tidak hanya pergulatan ideologi antara blok Barat dan blok Komunis, tetapi sekali gus persaingan menegakkan hegemoni atas dunia antara AS dan Uni Soviet. Setelah kemenangan blok Barat AS makin gencar lagi menegakkan hegemoninya. Dalam usaha merebut hegemoni itu AS telah melakukan berbagai tindakan secara terbuka dan tertutup yang sukar diterima oleh berbagai kalangan, termasuk banyak kalangan di Timur Tengah. Tindakan terbuka banyak dilakukan dalam bidang ekonomi ketika AS menggunakan Bank Dunia dan IMF untuk read more .....
The Jakarta Post , Jakarta | Mon, 11/17/2003 9:57 AM Sayidiman Suryohadiprojo, Former Governor, National Resilience Institute (Lemhanas), Jakarta More and more people are wondering whether democracy is the right political system for Indonesia. Democratic reforms, started in 1958, do not seem to bring improvements to the multidimensional crisis facing the nation. Problems have even increased in number as well as in seriousness. The economy is still vulnerable, the political situation is full of danger because of ethnic divisions and the misbehavior of the political elite, while domestic security has deteriorated. Some people, especially at the grassroots level, are nostalgic for the much more stable and orderly situation of the Soeharto regime. People are inclined to blame democracy as the cause of all these evils, because of the excessive freedoms that developed when democratic reforms began. People today do not pay much attention to the common interest and have become very egoistical in only looking after their own benefits. read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo Ada sifat bangsa Indonesia yang menghambat kemajuan dan perkembangan dirinya. Yang dimaksudkan dengan sifat bangsa adalah gejala yang terdapat secara umum pada satu bangsa atau merupakan sifat mainstream bangsa. Tidak mustahil ada warga bangsa yang sifatnya berbeda, tetapi karena jumlah mereka merupakan minoritas sekali, maka sifat mereka tidak berpengaruh kepada sifat bangsa secara keseluruhan. Salah satu sifat bangsa Indonesia yang amat merugikan kemajuannya adalah kebiasaan umum melakukan perbuatan dan tindakan yang amat berbeda atau bahkan bertentangan dengan ucapan dan pernyataan. Ada dunia yang berlainan antara dunia perbuatan dengan dunia ucapan. Sikap demikian dianggapnya sebagai barang biasa. Sifat itu amat merugikan kehidupan bangsa. Orang beranggapan bahwa dengan ucapan atau pernyataan persoalan terpecahkan. Atau orang percaya bahwa dengan menyatakan sesuatu dengan sendirinya akan terjadi hal yang diucapkan itu. Orang tidak sadar bahwa diperlukan perbuatan untuk menciptakan perubahan pada read more .....