The Jakarta Post , Jakarta | Sat, 12/14/2002 12:00 AM Sayidiman Suryohadiprojo, Former Governor National Resilience Institute (Lemhanas), Jakarta There is no life that can be sustained without energy. The struggle for survival is in fact a competition to capture useful energy and secure its continued flow. In our universe the sun is an important source of energy for our planet. In a book titled Human Origins, George Grant MacCurdy wrote that the degree of civilization of any epoch, people or group of peoples, is measured by the ability to utilize energy for human advancement or needs. Walter Youngquist writes that the average American uses each year 8,000 pounds of oil, 4,700 pounds of natural gas, 5,150 pounds of coal, and one-tenth of a pound of uranium. We are also confronted by inevitable realities. There is the ""first law of thermodynamics"" which states that the total energy content of the universe is constant; it can neither be created nor destroyed. But then the ""second law on read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo DEMOKRASI DI INDONESIA Demokrasi adalah sistem kehidupan yang berkembang sejajar dengan pertumbuhan umat manusia. Pengertian demokrasi secara harfiah adalah pemerintahan yang dikuasai oleh rakyat atau kedaulatan rakyat. Makin maju perkembangan rakyat, makin dikehendaki agar rakyat menjadi penentu nasibnya sendiri. Maka dalam perkembangan umat manusia tumbuhnya demokrasi tidak dapat dicegah dan disangkal. Oleh sebab itu juga dalam kehidupan bangsa Indonesia demokrasi mempunyai peran yang penting sekali. Sejak pergerakan kebangsaan dimulai untuk mencapai kemerdekaan Indonesia telah ada pedoman pada kebanyakan pemimpin pergerakan bahwa dalam negara Indonesia merdeka nanti demokrasi harus berjalan sebagai sistem politiknya. Sebab itu tidak mengherankan bahwa Pancasila yang oleh Bung Karno diajukan sebagai Weltanschauung bangsa Indonesia juga memuat demokrasi sebagai salah satu Sila. Kemudian setelah Indonesia Merdeka demokrasi selalu menjadi subyek yang erat hubungannya dengan kehidupan bangsa dan read more .....
The Jakarta Post , Jakarta | Thu, 11/21/2002 12:00 AM Sayidiman Suryohadiprojo, Former Governor, National Resilience Institute (Lemhanas), Jakarta It is clear that Indonesia badly needs an effective government: A government with a vision of a better Indonesia and with the capability to make it a reality. A government that can bring improvements to the disorder that has accumulated since the economic crisis. The country and the people want more security and are tired of the worsening conditions of crime in the cities, ethnic conflicts, even the dangers on the roads and in trains. As for the Bali tragedy, while it is most devastating, is not the first among the many incidents involving bombs that has disrupted people’s sense of security. Other nations in the region have solved the problems encountered since the economic crisis, but Indonesia is still lagging behind. The flow of outgoing investors is not only an immediate effect of the Oct. 12 tragedy, and of course it is increasing now. Meanwhile, since the activities of read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo UMAT manusia sudah biasa menghadapi persoalan. Akan tetapi rasanya belum pernah kita terlibat dalam begitu banyak persoalan seperti sekarang. Perasaan demikian tidak timbul hanya karena kita sebagai bangsa sedang benar-benar dalam keadaan yang serba terpuruk. Kalau kita mengamati kondisi internasional tidak kurang pula persoalan yang dihadapi dunia. Di antara semua persoalan itu yang paling menonjol dan mempengaruhi perasaan kita adalah banyaknya penggunaan kekerasan untuk memaksakan kehendak atau untuk memperoleh sesuatu untuk memenuhi kepentingan sendiri. Setelah Perang Dunia II selesai kaum idealis Barat memprediksi bahwa tidak akan terjadi perang lagi. Mereka mengira bahwa umat manusia cukup kapok untuk berperang melihat besarnya jumlah korban di semua pihak, baik yang kalah maupun yang menang. Akan tetapi prediksi itu meleset sekali, karena belum ada lima tahun perang berakhir sudah mulai timbul konfrontasi antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet yang tadinya bersekutu dalam mengalahkan Jerman read more .....
By Sayidiman Suryohadiprojo Jakarta 16 November 2002 It is clear for every body that Indonesia badly needs an effective government. A government that has a vision of a better Indonesia and has the capability to make it a reality. A government that can bring improvements in the disorder that has accumulated since Indonesia was hit by the economic crisis of 1997. The country and the people want to have more security and are tired of the worsening conditions of criminality in the cities, the ethnic fightings, even the dangers on the roads and trains. And the Bali Tragedy is not the first time, although the most devastating, that bombs have disturbed the security of the people. An effective government is certainly needed to restore the collapsed economy. Other nations in the region have solved the problems encountered since the economic crisis, but Indonesia is still left behind. The flow of outgoing investors is not only a picture after the Bali Tragedy, but of course it is increasing now. That would not be too negative if there is a read more .....
Tantangan budaya yang kita hadapi. Dalam derasnya penetrasi budaya Barat adalah amat menggembirakan bahwa ada cendekiawan Indonesia yang dalam masa Reformasi ini mempunyai keberanian moral untuk tampil dengan pikiran bahwa individu, keluarga dan negara adalah setara. Kiranya individu, keluarga dan negara tidak hanya setara, tetapi juga selaras atau harmonis dalam geraknya. Bagaikan gamelan, yang menghasilkan seni suara yang indah dan laras tanpa ada dirigent atau conductor. Berbeda dengan orkes simfoni Barat yang memerlukan conductor unggul untuk menghasilkan seni musik yang bermutu. Namun pandangan atau sikap budaya itu sedang menghadapi tantangan hebat dalam globalisasi yang sedang melanda umat manusia. Setelah berakhirnya Perang Dingin pihak Barat, khususnya Amerika Serikat, dengan tegas dan jelas memperjuangkan agar the American way menjadi pandangan hidup seluruh umat manusia. Melalui politik luar negeri yang mengedepankan demokrasi liberal, pasar bebas dan hak azasi manusia, AS meyakinkan semua pihak di dunia bahwa read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo Kondisi bangsa Indonesia dewasa ini jauh dari sila Persatuan Indonesia sebagaimana tercantum dalam Dasar Negara Panca Sila. Di Maluku dan Sulawesi Tengah bangsa kita berkelahi saling membunuh dengan menggunakan faktor agama sebagai alasan. Di Aceh ada sekumpulan orang yang menamakan diri Gerakan Aceh Merdeka dan menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Belum lama berselang terjadi serangan suku Dayak disertai kekerasan terhadap pendatang Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Belum pernah dalam sejarah Indonesia kita mengalami retaknya persatuan bangsa seperti sekarang. Nampaknya sekarang orang Indonesia mementingkan dirinya pribadi dari pada mengusahakan hidup bersatu dengan orang lain, dan juga kurang bersedia memperhatikan kepentingan umum apalagi kepentingan orang lain. Itu juga nampak dalam kehidupan masyarakat yang kondisinya relatif aman, seperti Jawa. Di Jakarta kita melihat perilaku kaum politik yang duduk dalam DPR yang dipilih untuk mewakili rakyat, tetapi lebih banyak read more .....
By Sayidiman Suryohadiprojo Jakarta, October 2002 Drs. Kwik Kian Gie, minister for National Development Planning and chairman of Bappenas, has surprised many people when he strongly suggested that Indonesia should terminate its relationship with IMF at the end of 2002. In fact, this is not the first time that Kwik has expressed his dissatisfaction of IMF. But that he would do it as a member of President Megawati’s cabinet, is something that causes surprise. Because it is public knowledge that Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, the coordinating minister for economic, financial and industrial affairs, is a staunch defender of Indonesia’s relations with IMF. In Indonesia Kwik is not alone in his negative opinion of IMF. Dr. Rizal Ramli, economic coordinating minister and minister of finance in the former Abdurrahman Wahid’s cabinet, shares this view. And so are other economists, many of them having important positions in Indonesian public life. But on the other side Dorodjatun has also friends who share his views. Some read more .....
The Jakarta Post , Jakarta | Fri, 10/25/2002 12:00 AM Sayidiman Suryohadiprojo, Former Governor, National Resilience Institute (Lemhanas), Jakarta It is clear that Indonesia as a nation state is the biggest loser in the Bali tragedy. It all happened because of the ineffectiveness of the security services who were not able to detect or prevent the tragedy. Thereafter, the security services have been slow to come up with credible proof and evidence of the initiators and the actors in the bombing, leading to a lot of speculation over the whole affair. Many in the West, in particular in the U.S. and Australia, have expressed their astonishment about these speculations and wonder why Indonesia does not just accuse ""Arab terrorism"" or al Qaeda operatives. For Indonesians, it has not been easy to accept such accusations. In recent years, trouble has not only come from Muslim radicals. There has also been the bad experience of western intervention for a long time, as documented by the late Indonesianist George M. read more .....
Bahan Dengar Pendapat dengan Komisi I DPR-RI Sayidiman Suryohadiprojo, Let.Jen.TNI (Purn) PENDAHULUAN Dalam evolusi umat manusia ilmu pengetahuan dan teknologi telah memperoleh tempat yang penting. Khususnya perkembangan teknologi di bidang komunikasi dan angkutan telah memberikan dampak yang besar sekali kepada kehidupan umat manusia. Dampak itu telah menjadikan dunia semakin kecil dan mendatangkan apa yang dinamakan Era Globalisasi. Globalisasi memaksa semua bangsa di dunia untuk bekerja sama lebih banyak dan lebih erat satu sama lain. Bangsa yang mengabaikan itu harus membayar mahal untuk kecerobohannya. Akan tetapi pada saat sama globalisasi mengharuskan setiap bangsa sanggup bersaing lebih kuat terhadap bangsa lain untuk menciptakan kemitraan yang seimbang. Kalau daya saing satu bangsa kurang, maka akibatnya adalah bahwa hubungannya dengan bangsa lain menjadi kurang seimbang. Dipengaruhi oleh kemajuan umat manusia itu, maka semua bangsa menginginkan kesejahteraan yang lebih tinggi. Karena itu semuanya mengusahakan read more .....