The Jakarta Post , Jakarta | Tue, 12/09/2003 12:32 PM Sayidiman Suryohadiprojo, Former Governor, National Resilience Institute (Lemhanas), Jakarta General R. Hartono, former Army Chief of Staff and presently the chairman of the PKPB Party, last week announced Siti Hardijanti Rukmana, or Tutut, President Soeharto’s eldest daughter, as the PKPB’s presidential candidate. Although the close relationship between Hartono and Tutut is public knowledge, many were very surprised by the announcement. As with other parties, Hartono as the party’s chairman was expected to be his party’s presidential candidate. Perhaps not a few people have been surprised to learn that only five years after their father’s resignation and the start of the Reform Movement, a member of the Soeharto family has the courage to return to politics. Not just politics, but actually competing in the presidential election! What is happening now indicates some home truths that the Indonesian public should take into consideration. First, read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo Belakangan ini mulai berkembang pendapat bukan sistem politik tepat untuk Indonesia. Pendapat itu terutama dinyatakan karena ada kesangsian apakah demokrasi yang digelorakan sejak Reformasi dapat menghasilkan perbaikan keadaan negara bangsa. Atau Indonesia malahan menjadi makin mundur dan kacau.< kacau. p> Juga pengalaman bangsa Indonesia tahun 1950-an menerapkan demokrasi parlementer tidak memberi gambaran menggembirakan. Saat itu kabinet jatuh-bangun dalam ukuran bulan dan tidak ada pemerintahan yang membawa stabilitas dan kontinuitas, padahal dua faktor itu amat penting untuk kemajuan. Sebaliknya, para pembela paham demokrasi selalu mengatakan, kondisi Indonesia yang kurang baik kini karena demokrasi baru pada tahap permulaan dan menderita "sakit kanak-kanak". Suatu saat, semua akan berakhir, kata mereka, setelah masyarakat menjadi dewasa dalam menjalankan kebebasan. Kalau sekarang belum apa-apa sudah mau meninggalkan demokrasi, Indonesia akan kembali larut dalam otoriterianisme read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa serangan AS ke Afghanistan dan Irak bukan semata-mata bagian dari perang melawan terorisme. Buktinya Afghanistan sudah begitu lama dikuasai, tetapi Osama bin Laden yang dituduh menjadi penggerak pengeboman 11 September 2001 dan katanya dilindungi Taliban, hingga kini belum tertangkap. Dan di Irak tidak dapat dibuktikan bahwa ada hubungan antara Saddam Hussein dan Osama bin Laden; demikian pula tidak dapat ditemukan senjata destruksi massal yang katanya amat membahayakan keamanan AS sehingga membenarkan dilakukan pre-emptive strike. Sudah jelas bahwa baik serangan ke Afghanistan maupun ke Irak merupakan bagian dari upaya AS untuk menegakkan hegemoninya atas dunia, upaya yang sudah dimulai setelah Perang Dunia Kedua berakhir dan menjadi makin kuat setelah memenangkan Perang Dingin. Penegakan hegemoni itu memerlukan dominasi dalam kontrol atas suplai minyak sebagai bahan energi yang terpenting sebelum hidrogen menggantikan perannya. Dengan mengontrol suplai minyak read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo Sekarang dunia sedang diramaikan oleh perang melawan terorisme yang dikumandangkan AS setelah 11 September 2001. Menurut Chalmers Johnson dalam bukunya Blowback (Time Warner Paperbacks, Londonn, 2002) , sebenarnya serangan yang terjadi terhadap AS pada 11 September 2001 tidak lain dari satu blowback atau dampak berbagai tindakan AS yang dilakukan sebelumnya untuk menegakkan hegemoni atas dunia. Sudah lama para hegemoni merupakan acara penting dalam politik luar negeri Amerika. Perang Dingin tidak hanya pergulatan ideologi antara blok Barat dan blok Komunis, tetapi sekali gus persaingan menegakkan hegemoni atas dunia antara AS dan Uni Soviet. Setelah kemenangan blok Barat AS makin gencar lagi menegakkan hegemoninya. Dalam usaha merebut hegemoni itu AS telah melakukan berbagai tindakan secara terbuka dan tertutup yang sukar diterima oleh berbagai kalangan, termasuk banyak kalangan di Timur Tengah. Tindakan terbuka banyak dilakukan dalam bidang ekonomi ketika AS menggunakan Bank Dunia dan IMF untuk read more .....
The Jakarta Post , Jakarta | Mon, 11/17/2003 9:57 AM Sayidiman Suryohadiprojo, Former Governor, National Resilience Institute (Lemhanas), Jakarta More and more people are wondering whether democracy is the right political system for Indonesia. Democratic reforms, started in 1958, do not seem to bring improvements to the multidimensional crisis facing the nation. Problems have even increased in number as well as in seriousness. The economy is still vulnerable, the political situation is full of danger because of ethnic divisions and the misbehavior of the political elite, while domestic security has deteriorated. Some people, especially at the grassroots level, are nostalgic for the much more stable and orderly situation of the Soeharto regime. People are inclined to blame democracy as the cause of all these evils, because of the excessive freedoms that developed when democratic reforms began. People today do not pay much attention to the common interest and have become very egoistical in only looking after their own benefits. read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo Ada sifat bangsa Indonesia yang menghambat kemajuan dan perkembangan dirinya. Yang dimaksudkan dengan sifat bangsa adalah gejala yang terdapat secara umum pada satu bangsa atau merupakan sifat mainstream bangsa. Tidak mustahil ada warga bangsa yang sifatnya berbeda, tetapi karena jumlah mereka merupakan minoritas sekali, maka sifat mereka tidak berpengaruh kepada sifat bangsa secara keseluruhan. Salah satu sifat bangsa Indonesia yang amat merugikan kemajuannya adalah kebiasaan umum melakukan perbuatan dan tindakan yang amat berbeda atau bahkan bertentangan dengan ucapan dan pernyataan. Ada dunia yang berlainan antara dunia perbuatan dengan dunia ucapan. Sikap demikian dianggapnya sebagai barang biasa. Sifat itu amat merugikan kehidupan bangsa. Orang beranggapan bahwa dengan ucapan atau pernyataan persoalan terpecahkan. Atau orang percaya bahwa dengan menyatakan sesuatu dengan sendirinya akan terjadi hal yang diucapkan itu. Orang tidak sadar bahwa diperlukan perbuatan untuk menciptakan perubahan pada read more .....
BPPT dalam sejarahnya adalah satu unsur yang membangun industri-industri strategis antara lain PT. IPTN (PT. DI), PT. PAL, PT. PINDAD dan sebagainya. Namun sekarang hubungan antara BPPT dengan industri-industri tersebut praktis putus karena banyaknya kepres-kepres baru yang diterbitkan pada tahun 1999. Industri-industri itupun sendiri sekarang mendapat tekanan untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi akibatnya di industri-industri tersebut pengembangan teknologinya menjadi sedikit macet karena masalah dana. Ini suatu yang harus kita pikirkan?, demikian antara lain sambutan Deputi TIRBR BPPT Prof. ir. Said. D. Jenie, Sc.D. saat mewakili Menristek/Kepala BPPT pada acara Diskusi Peran Industri Strategis Dalam Pertahanan dan Kemandirian Bangsa yang berlangsung pada tanggal 15 Oktober 2003 di BPPT. Acara diskusi yang diselenggarakan oleh P2 KTPW Deputi PKT BPPT menghadirkan pembicara antara lain Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo (mantan Gubernur Lemhanas), Prof. Dr. Ir. Rahardi Ramelan, MSc. (mantan Menristek dan Menperindag), Dr. read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo Jakarta, 10 Oktober 2003 PENDAHULUAN Adalah amat penting untuk membuka wacana tentang industri pertahanan dewasa ini. Perlu membicarakan dan kemudian mengambil keputusan tentang perkembangan industri pertahanan di Indonesia. Sebenarnya yang perlu dibicarakan adalah seluruh industri strategi. Akan tetapi karena belum ada definisi dan bahkan belum ada kesepakatan tentang makna dan pengertian industri strategi, maka tulisan ini membatasi diri pada industri pertahanan. Melihat namanya maka industri pertahanan meliputi seluruh industri yang bersangkutan dengan pertahanan negara. Itu meliputi produksi yang menyangkut amat banyak komoditi karena luasnya kebutuhan pertahanan negara. Namun karena banyak kebutuhan itu tidak beda dengan kebutuhan masyarakat, maka tidak lazim mengkategorikan produksi komoditi demikian sebagai bagian dari industri pertahanan . Seperti banyaknya kertas yang diperlukan yang sekalipun dengan makin meningkatnya peran komputer dapat sangat dibatasi, namun tetap kegiatan pertahanan read more .....
The Jakarta Post , Jakarta | Tue, 10/07/2003 7:00 AM Sayidiman Suryohadiprojo, Former Governor National Resilience Institute (Lemhanas), Jakarta Every year on Oct. 5 the Indonesian Military (TNI) celebrates its anniversary. It was 58 years ago that Indonesia developed its national armed forces from the existing People’s Security Agency (BKR). The first name of the armed forces was the Tentara Keamanan Rakyat (People’s Armed Security Forces), later changed to the Tentara Keselamatan Rakyat (People’s Armed Forces for Safety) and then later the Tentara Republik Indonesia (the Republic of Indonesia Military). The latest name change back to the TNI (after the name ABRI or the Indonesian Armed Forces was used from 1964 to 1999) was made to stress that the armed forces represented the people’s struggle against colonialism. This change included the integration of all the armed organizations formed by the people since the proclamation of independence in 1945, like the Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo Sudah lazim orang menganggap Amerika satu superpower, sekurang-kurangnya superpower militer. Akan tetapi Emmanuel Todd, seorang pakar ilmu pengetahuan Perancis berpendapat lain. Bukunya. yang berjudul Apres l’empire. Essai sur la decomposition du systeme Americain (Editions Gallimard, Paris 2002) telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Dalam versinya yang bahasa Jerman, yaitu Weltmacht USA, ein Nachruf yang telah diterbitkan Piper Verlag GmbH, Munchen pada tahun 2003, Emmanuel Todd menulis bahwa Amerika bukan superpower , baik dalam ekonomi maupun militer.. Tentang ekonomi cukup disampaikan di sini bahwa Todd menilai besarnya ketergantungan Amerika kepada bangsa-bangsa lain dalam berbagai aspek ekonomi sebagai indikasi bahwa Amerika bukan satu superpower ekonomi yang mengungguli ekonomi dunia. Untuk membahas pandangan Todd bahwa Amerika bukan superpower militer perlu kita telaah pokok-pokok argumentasi Todd. Ia mengatakan bahwa bangsa Amerika mempunyai kelemahan struktural dalam bidang militer. read more .....