Oleh Sayidiman Suryohadiprojo Jakarta, Juni 2004 Adalah jelas bahwa untuk peningkatan kesejahteraan bangsa Indonesia diperlukan penyediaan tenaga listrik yang memadai. Menurut data Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun 2003, kapasitas listrik yang terpasang sebesar 24.320 Megawatt (MW). Tenaga ini dihasilkan dari penggunaan batubara sekitar 7.280 MW, gas 5.440 MW, hydro 3.300 MW, panas bumi 800 MW dan minyak 7.470 MW. Kapasitas ini kurang memadai dalam pembangunan nasional yang harus terus dikembangkan. Oleh sebab itu para pakar listrik merencanakan daya listrik sebesar 100.000 MW untuk dicapai pada tahun 2025, sesuai dengan perkiraan kebutuhan masa depan. Menjadi penting bahwa tujuan itu tercapai dengan penggunaan sumber energi yang paling tepat. Mengingat kebutuhan masyarakat akan minyak yang terus meningkat, maka sebaiknya peran minyak dalam peningkatan tenaga listrik itu dibatasi dan cukup dengan yang sekarang sudah berjalan. Apalagi harga minyak terus meningkat dan belum jelas apakah akan turun. Juga peran hydro tidak mungkin read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo REKTOR Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Prof Dr Azyumardi Azra berkali- kali menyatakan, dalam ceramah maupun tulisan di surat kabar, betapa pentingnya Pancasila bagi masa depan Indonesia. Oleh karena itu, harus dilakukan rejuvenasi Pancasila sehingga benar-benar memberi manfaat bagi perkembangan bangsa Indonesia. Hal ini amat membesarkan hati dan memberi harapan masa depan karena beberapa alasan. Pertama, dinyatakan oleh tokoh Kampus UIN Syarief Hidayatullah, suatu universitas yang cukup berwibawa yang telah menghasilkan sejumlah cendekiawan yang berjasa kepada Indonesia. Kedua, yang menyatakan bukan anggota TNI atau mantan TNI; dengan demikian lepas dari kemungkinan purbasangka sementara orang. Ketiga, dinyatakan oleh seorang tokoh atau pemimpin Islam sehingga tidak dapat dikategorikan adanya kepentingan golongan minoritas belaka. Karena dinyatakan seorang tokoh kampus yang berwibawa secara intelektual, mudah-mudahan pandangan Azyumardi Azra bergema di kampus-kampus lain di Indonesia, read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo Orang sering bicara tentang perlunya pemeliharaan dan penguatan jati diri atau identitas bangsa Indonesia. Biasanya yang dimaksudkan dengan jati diri bangsa adalah sifat-sifat bangsa yang menonjol dan membedakannya dari bangsa lain. Atas dasar itu yang dianggap jati diri bangsa Indonesia adalah sifat menjunjung tinggi kebersamaan dan kekeluargaan, penuh toleransi dan empati atau tepo seliro, bersikap sopan santun dan berperikemanusiaan. Atau segala sifat yang bersangkutan dengan nilai-nilai Pancasila yang oleh Bung Karno digali dari kebudayaan asli Indonesia. Akan tetapi kalau kita melihat kondisi bangsa kita sejak lebih dari dua puluh tahun yang lalu, sifat-sifat itu amat sukar ditemukan dalam kehidupan bangsa. Yang kita lihat adalah satu bangsa yang sukar bersatu, jauh dari toleran dan tidak ada empati, cenderung bersikap mau menang sendiri dan sukar mengikuti peraturan serta perjanjian, bahkan kejam dan kurang peduli kepada perikemanusiaan. Karena itu sekumpulan tokoh bangsa menyerukan agar bangsa read more .....
Sayidiman Suryohadiprojo, Jakarta Public opinion in Indonesia supports a radical improvement in general education, which covers scholastic education, education at home and social education. This article focuses on scholastic education. It is becoming increasingly clear that scholastic education in Indonesia lags far behind its Southeast Asian neighbors. While Malaysia had once recruited high school and university teachers from Indonesia during the 1950s to the 1960s, today it is Indonesia that should learn from Malaysia how to develop quality education. However, improving education is not only a matter of quality. Quality education should also be available to the nation’s citizenry as a whole, and not only benefit the wealthy segment of society. For a nation of more than 200 million people, this is certainly no easy task; the more so because the majority of the people are poor. To improve scholastic education, at least the first nine years of compulsory education — spanning elementary to middle school — should be read more .....
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo, Mantan Gubernur Lemhannas Masyarakat masih ramai memperdebatkan apakah mantan perwira militer dapat bersikap demokratis dan memimpin negara dengan sistem demokrasi. Perdebatan itu muncul dengan ditetapkannya Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (disingkat SBY) oleh Partai Demokrat dicalonkan untuk menjadi Presiden RI. Menjadi lebih hangat lagi ketika Konvensi Nasional Golkar memilih Jenderal (Purn) Wiranto (disingkat Wiranto) sebagai calon Presiden Partai Golkar. Dan ditambah lagi dengan dicalonkannya Jenderal (Purn) Agum Gumelar menjadi Wapres, berpasangan dengan Hamzah Haz. Ketika itu langsung segolongan orang yang umumnya terpelajar hasil pendidikan tinggi luar negeri dan berumur muda, melancarkan perdebatan bahwa mantan Jenderal tidak mungkin dapat meninggalkan sikap militernya sekalipun sudah pensiun. Karena itu tidak mungkin bersikap demokratis, apalagi memimpin negara dengan sistem demokrasi. Maka kalau dalam pemilihan Presiden nanti, SBY atau Wiranto terpilih menjadi Presiden RI periode read more .....