Sekolah Swasta Dan Kelangsungan Hidupnya

Posted by Admin on Tuesday, 28 July 2009 | Opini

Sayidiman Suryohadiprojo  

 

Jakarta, 28 Juli 2009

Belakangan ini kita sering membaca dalam harian-harian terkemuka di Jakarta tentang masalah Sekolah Swasta dan kelangsungan hidupnya. Hari ini tanggal 28 Juli 2009 kembali ada tulisan-tulisan tentang masalah ini di harian Kompas, ditulis oleh tokoh-tokoh Perguruan Taman Siswa.

Yang sering dikemukakan adalah bahwa Pemerintah RI kurang memberikan perhatian kepada Sekolah Swasta dan penyelenggaranya, termasuk guru-gurunya. Sering disampaikan bahwa Pemerintah menganaktirikan Sekolah Swasta dibanding dengan sikapnya terhadap Sekolah Negeri.

Mereka menganggap bahwa sikap demikian tidak adil karena Sekolah Swasta sudah banyak jasanya terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Seperti peran Taman Siswa, Muhammadiyah, berbagai sekolah yang diselenggarakan kalangan Kristen-Protestan dan Katoloik serta lainnya.

Dalam tulisan hari ini antara lain dikemukakan keluhan bahwa kebijakan Pemerintah untuk menyelenggarakan Sekolah Gratis akan mematikan Sekolah Swasta karena murid akan semua lari dan masuk Sekokah Negeri. Dengan begitu Sekolah Swasta akan kehabisan murid sehingga penyelenggaranya tidak mungkin melanjutkan usahanya. Ada lagi yang mempersoalkan usaha Pemerintah c.q. Depdiknas membentuk sekolah-sekolah berlabel internasional. Dari pada melakukan itu dengan mengeluarkan biaya besar, lebih baik Pemerintah memberikan biaya itu kepada Sekolah Swasta yang banyak dalam kesulitan.

Selama 10 tahun lebih , yaitu dari tahun 1990 hingga 2003 saya menjadi anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional, disingkat BPPN.

BPPN dibentuk oleh Pemerintah RI untuk memberikan pertimbangan, saran, pendapat kepada Pemerintah, khususnya Presiden RI dan Menteri Pendidikan Nasional, tentang penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Anggotanya terdiri dari anggota masyarakat yang berasal dari berbagai sumber. Tentu ada yang berasal dari kalangan lembaga pendidikan Pemerintah. Di samping itu juga dari kalangan swasta seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, Katolik, Protestan. Juga dari kalangan organisasi yang memperhatikan pendidikan. Seperti dalam BPPN pertama Ibu Umar Wirahadikusuma adalah anggota, demikian pula Prof Dr Lily Rilantono, dua wanita yang aktif dalam pengurusan pendidikan anak. Dari kalangan TNI dan Polri ada juga yang ditetapkan sebagai anggota karena dianggap banyak berkecimpung dalam aspek pendidikan. Seperti Prof Dr Awaludin Djamin, Letjen Sutanto yang pernah menjadi Sekjen Depdiknas, dan lainnya. Umumnya jumlah anggota sekitar 20 orang. Dalam BPPN pertama dan kedua Ketuanya adalah Prof Dr Makagiansar dan Wakilnya Letjen Sutanto. Sedangkan BPPN ketiga sampai dibubarkan pada tahun 2000-an Ketuanya Prof Awaludin Djamin dengan dua orang Wakil, yaitu Prof DR Lily Rilantono dan Prof Dr Aminuddin.

Kalau kita perhatikan sejarah pendidikan dunia, maka kita temukan bahwa lembaga yang dinamakan sekolah mula-mula dikembangkan oleh organisasi yang bergerak dalam keagamaan dan bukan dilakukan oleh pemerintah satu negara. Di Eropa gereja Katolik dan Protestan, di Jepang organisasi Buddha dan Shinto. Jadi pada dasarnya sekolah dikembangkan pihak non-pemerintah atau swasta.

Lembaga Sekolah berkembang karena dalam masyarakat timbul kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan dalam menjalankan kehidupan dan hal itu dirasakan dapat diperoleh dengan mengikuti kegiatan yang dilakukan di sekolah. Kemudian terutama dorongan untuk menguasai ilmu pengetahuan sangat berpengaruh pada masyarakat, sehingga orang berusaha untuk masuk sekolah. Dengan sendirinya gereja dan organisasi agama lain yang membuka sekolah juga memberikan pendidikan yang bersangkutan dengan ajaran agamanya.

Peran pemerintah dalam penyelenggaraan sekolah mulai meningkat ketika pemerintah itu memerlukan orang-orang yang menguasai kemampuan tertentu untuk menjalankan pekerjaan yang penting bagi pemerintah. Itu mulai nampak ketika Napoleon Bonaparte berkuasa di Perancis. Akan tetapi peran pemerintah sangat meningkat ketika hendak menjaga persatuan bangsa yang dianggap dapat mengalami keretakan karena dasar-dasar yang berbeda. Untuk itu pendidikan dianggap penting, khususnya pendidikan melalui sekolah.

Dalam hal ini yang sangat menonjol adalah keputusan pemerintah Jerman ketika Otto von Bismarck menjadi Kanselir atau perdana menteri negara itu dari 1871 hingga 1890. Untuk menjaga persatuan bangsa Jerman yang baru saja mempersatukan diri dalam satu negara, von Bismarck berpendapat bahwa dasar pendidikan untuk seluruh bangsa harus sama dan tak boleh beda. Padahal ia melihat bahwa sekolah yang diselenggarakan gereja Katolik menggunakan dasar-dasar yang amat berbeda dari sekolah gereja Protestan. Jerman telah mengalami perang saudara selama 30 tahun karena terbentuknya agama Protestan yang melepaskan diri dari gereja Katolik. Sekalipun masih sama-sama agama Kristen, tetapi terjadi perbedaan yang sangat tajam. Reformasi ini telah memecah belah masyarakat Jerman dan terjadi perang saudara yang amat merugikan bangsa Jerman. Sebagai akibat dari perpecahan itu maka masyarakat yang hidup di bagian utara Jerman didominasi kaum Protestan, sedangkan di bagian barat dan selatan oleh gereja Katolik. Untuk mencegah perpecahan bangsa Jerman Otto von Bismarck sebagai perdana menteri membuat peraturan yang melarang sekolah yang bukan diselenggarakan pemerintah. Baik sekolah gereja Katolik maupun Protestan; yang ada hanya sekolah pemerintah. Itu berlaku mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Kebijaksanaan Otto von Bismarck ini kemudian terus berlanjut dan hingga kini hampir tidak ada sekolah di Jerman yang bukan diselenggarakan pemerintah. Akibatnya adalah bahwa seluruh pendidikan sekolah dibiayai pemerintah dan peserta didik dapat menempuh sekolah mana saja tanpa bayar. Pendidikan sekolah yang diselenggarakan pemerintah Jerman itu bermutu tinggi, hal mana diakui oleh banyak bangsa. Seperti sekolah menengah umum bernama gymnasium yang ada di mana saja di Jerman dikenal bermutu tinggi dan memberikan landasan yang kuat bagi pendidikan universitas. Universitas pun bermutu tinggi, seperti Universitas Hamburg, Berlin, Aachen, Munchen dan lainnya. Menjadi pertanyaan apakah di Jerman masa kini atau masa depan masih mungkin perubahan dalam tradisi ini dan berkembang sekolah-sekolah swasta di Jerman.

Sebagai gambaran sebaliknya yang ekstrim adalah keadaan persekolahan di Amerika Serikat. Berdasarkan pandangan hidupnya, yaitu liberalisme dan individualisme, peran Negara dan Pemerintah di AS amat dibatasi atau sama sekali ditiadakan. Kegiatan hidup bangsa didominasi dunia swasta. Hal ini juga berlaku untuk pendidikan sekolah. Akibatnya adalah bahwa di AS kebanyakan sekolah adalah milik swasta, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Tidak ada sekolah milik negara federal dan paling-paling negara bagian yang mempunyai sekolah. Dan yang terkenal sebagai sekolah bermutu, khususnya di tingkat universitas, adalah milik swasta. Seperti Universitas Harvard, MIT, Universitas Cornell, Universitas Stanford yang semuanya mempunyai reputasi dunia tinggi.

Kalau di Jerman pendidikan sekolah dari dasar hingga pendidikan tinggi adalah gratis, karena diselenggarakan pemerintah, maka di AS yang didominasi swasta tidak ada pendidikan gratis dan semua harus membayar. Pembayaran itu berbeda-beda dan bisa mahal sekali untuk pendidikan universitas terkenal seperti Harvard.

Di negara lain keadaannya ditentukan oleh landasan negara itu. Umpamanya di Russia, yang tadinya negara komunis, pendidikan sekolah sepenuhnya milik Negara dan dibiayai pemerintah. Akan tetapi setelah berubah menjadi negara dengan sistem politik demokrasi tidak mustahil bahwa akan berkembang sekolah swasta, terutama pada tingkat pendidikan tinggi. Hal serupa terjadi di negara-negara bekas blok komunis lainnya, termasuk China. Sedangkan di negara-negara yang sudah lama berjalan menurut sistem politik demokrasi terdapat campuran antara sekolah milik negara dan swasta.

Kalau kita perhatikan perkembangan sekolah swasta di negeri Belanda umpamanya, kita lihat bahwa eksistensinya terutama ditentukan oleh daya tariknya bagi masyarakat. Sebab umumnya negara melakukan pendidikan sekolah gratis, sekurangnya hingga tingkat sekolah menengah. Kalau masyarakat menilai bahwa pendidikan gratis itu bermutu, buat apa masuk sekolah swasta yang harus membayar dan seringkali tidak murah. Jadi agar sekolah swasta itu dapat menarik murid dalam jumlah memadai perlu ada daya tarik khusus sehingga orang tua memilih sekolah swasta tersebut bagi anaknya. Umpama, orang tua yang ingin anaknya mendapat pendidikan agama bermutu di samping pendidikan umum. Hal ini umumnya yang digunakan sebagai daya tarik oleh sekolah swasta Katolik atau Protestan di Belanda. Namun demikian pendidikan umum yag dilakukan sekolah swasta pun tidak boleh kalah, bahkan sebaiknya lebih bermutu, dari yang dilakukan sekolah pemerintah. Pada tingkat pendidikan tinggi milik pemerintah di Belanda harus membayar sehingga hal ini tidak menjadi masalah bagi pendidikan tinggi swasta. Namun kalau pendidikan tinggi swasta kurang bermutu, jangan harap mempunyai daya tarik kepada calon mahasiswa.

Yang terjadi di Belanda umumnya juga terjadi di negara Eropa Barat lainnya, demikian pula di Jepang. Itu berarti bahwa penyelenggaraan sekolah swasta yang sukses mutlak tergantung pada daya tarik yang dapat dikembangkan. Dan daya tarik itu amat dipengaruhi oleh mutu tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah itu. Kalau mutu kurang memadai jangan berharap orang tua mau mengirimkan anaknya ke sekolah itu, sekalipun ada faktor agama atau sikap tertentu dari sekolah swasta tersebut.

Marilah sekarang kita lihat keadaan di Indonesia. Sejak zaman penjajahan Belanda pemerintah kolonial mengadakan pendidikan sekolah, termasuk untuk orang Indonesia. Sekolah-sekolah itu banyak variasinya karena penjajah perlu mengadakan pendidikan buat anak-anak orang Belanda yang sama seperti yang ada di negerinya, tetapi juga merasa perlu melakukan peningkatan kemampuan berpikir orang Indonesia untuk mendapatkan pegawai bawahan yang dapat bekerja efektif. Pada dasarnya dilakukan pemisahan antara sekolah untuk anak Belanda dan untuk bukan-Belanda. Dalam perkembangan zaman Belanda mengidzinkan anak Indonesia tertentu masuk sekolah Belanda, yaitu umumnya anak kaum bangsawan dan pegawai penting Indonesia. Perkembangan di Indonesia mendorong Belanda untuk membuka sekolah kejuruan dan sekolah tinggi yang dapat juga dikunjungi anak Indonesia yang mencapai nilai baik dalam pendidikan umum. Selain itu banyak diadakan sekolah atau kursus jawatan oleh dinas-dinas pemerintah, seperti jawatan bea cukai, jawatan PTT dan lainnya.

Di samping itu juga ada banyak sekolah swasta, baik diadakan oleh kalangan Belanda maupun Indonesia. Di kalangan Belanda sekolah swasta terutama diadakan oleh gereja Katolik dan Protestan dengan menggunakan struktur yang sama dengan sekolah pemerintah.

Di kalangan Indonesia sekokah swasta diadakan oleh kalangan masyarakat Islam, khususnya Muhammadiyah. Selain itu oleh kalangan pejuang Gerakan Nasional. Yang menonjol adalah sekolah-sekolah yang diadakan oleh Perguruan Taman Siswa.

Yang perlu kita perhatikan adalah usaha Ki Hadjar Dewantara (KHD) membentuk Taman Siswa sebagai alat perjuangan untuk mencapai dan mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia. KHD melihat bahwa perjuangan kebangsaan pasti berjangka lama karena Belanda tidak akan mau memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Selain lama, perjuangan pasti menghadapi berbagai perkembangan pasang-surut, yang kesemuanya memerlukan orang-orang yang cukup mendalami tujuan perjuangan nasional serta mempunyai sikap mandiri dan ulet untuk tidak mudah dikalahkan pihak penjajah. Untuk itu diperlukan pendidikan yang tidak mungkin diperoleh di sekolah pemerintah atau sekokah swasta lain. Jadi KHD melihat peran Taman Siswa sebagai pendamping partai-partai politik yang memperjuangkan kemerdekaan nasional, seperti PNI, Serikat Islam dan lainnya.

Atas dasar pandangan di atas maka KHD menggunakan kebudayaan bangsa sebagai landasan pendidikan menuju kemerdekaan bangsa. Untuk mencapai sikap hidup mandiri maka KHD menetapkan bahwa Taman Siswa tidak mau bergantung pada bantuan pihak lain dan sikap dasarnya adalah self help atau membantu diri sendiri. Hubungan antar-anggota dan pimpinan di Taman Siswa adalah berdasar kekeluargaan, berbeda sekali dengan sekolah-sekolah lainnya baik pemerintah maupun swasta. Agar lulusan pendidikan Taman Siswa mempunyai relevansi dalam masyarakat kolonial yang hendak dirobohkan, maka dibentuk struktur sekolah yang sama dengan pemerintah.. Selain memberikan pendidikan kebangsaan dan kebudayaan Indonesia, Taaman Siswa berusaha memberikan pendidikan ilmu pengetahuan modern dengan dilandasi kebudayaan bangsa sendiri serta tujuan perjuangan nasional, yaitu Indonesia Merdeka.

Di zaman pendudukan Jepang sekolah swasta hampir semua dilarang, kecuali beberapa yang oleh Jepang dinilai tidak merugikan kepentingannya. Taman Siswa mula-mula masih dapat melanjutkan pendidikan Taman Dewasa dan Taman Madya, tapi pada tahun 1943 pun ditutup. Boleh dikatakan bahwa di masa itu hanya ada sekolah pemerintah.

Di Indonesia pun pada umumnya orang tertarik menyekolahkan anaknya di sekolah swasta, baik milik Belanda maupun Indonesia, karena melihat pendidikan sekolah itu sesuai dengan pandangannya. Masyarakat Islam yang tidak cocok dengan pandangan penjajah mengirimkan anaknya sekolah di pendidikan Muhammadiyah. Sedangkan kaum pergerakan nasional melihat pendidikan Taman Siswa yang paling cocok untuk masa depan.

Menjadi tenaga pengajar atau murid Taman Siswa di zaman penjajahan terutama didorong idealisme perjuangan nasional. Guru-guru banyak berasal dari bekas mahasiswa Geneeskundige Hogeschool atau Nederlands Indische Artsen School (NIAS) milik penjajah. Juga dari berbagai sekolah pemerintah penjajah lainnya. Mereka bergabung dengan Taman Siswa karena tertarik menjadi pejuang nasional melalui pendidikan dan kebudayaan. Orang tua yang ingin anaknya mendapat pendidikan kebangsaan dan kebudayaan bangsanya sendiri menyekolahkan anak mereka ke Taman Siswa. Jadi Taman Siswa mempunyai daya tarik tersendiri yang tak dimiliki sekolah lain, baik milik pemerintah atau swasta. Sebab itu Taman Siswa dianggap satu bahaya atau sekurangnya ancamjan bagi pemerintah penjajah, baik Belanda dan Jepang. Karena Taman Siswa mempunyai sikap independent yang mengutamakan perjuangan kebangsaan maka pemerintah penjajah tidak dapat melunakkan sikap Taman Siswa itu, baik melalui bantuan atau hukuman . Dengan sikap demikian Taman Siswa mengalami berbagai kesulitan dalam penyelenggaraan pendidikan, namun mereka tak pernah menyerah. Itulah yang membuat Taman Siswa satu lembaga pendidikan yang unik. Dalam sikap itu Taman Siswa tetap mengusahakan mutu pendidikan yang setinggi mungkin. Para Pamong yang pejuang dan intelektual selalu berusaha agar pendidikan mereka juga berisi pengajaran yang sejauh mungkin memenuhi syarat intelektual umum. Itu sebabnya lulusan Taman Dewasa dan Taman Madya tidak kalah dalam penguasaan ilmu pengetahuan dari lulusan sekolah lain, pemerintah atau swasta.

Setelah Indonesia Merdeka timbul persoalan bagi kepemimpinan Taman Siswa. Perjuangan kebangsaan yang tadinya terutama tertuju pada kemerdekaan bangsa kehilangan satu sasaran yang penting sebagai stimulans. Perjuangan kebangsaan sekarang harus beralih kepada pengisian kemerdekaan bangsa yang sesuai dengan Tujuan Nasional, yaitu mencapai masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dalam Negara Kesatuan RI. Itu berarti bahwa penyelenggaraan pendidikan umum yang bermutu sangat penting di samping terus melakukan pendidikan kebangsaan yang memperkuat karakter dan budi pekerti anak didik sebagai pejuang kebangsaan. Persoalan timbul karena pendidikan sekolah yang dilakukan Pemerintah RI juga melakukan pendidikan yang bersifat kebangsaan, satu hal yang dalam masa penjajahan tak pernah terjadi. Ditambah pula bahwa Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Bangsa Indonesia, sehingga penyelenggaraan pendidikan sekolah oleh pemerintah harus mengacu sebaik mungkin kepada Ajaran KHD. Dengan begitu sekolah pemerintah menyaingi Taman Siswa secara lebih berat dalam menarik minat anak didik.

Perubahan yang terjadi dalam masyarakat juga tidak kurang dalam mempengaruhi perkembangan Taman Siswa di lingkungan Indonesia Merdeka. Adalah kenyataan bahwa idealisme makin luntur di lingkungan bangsa Indonesia, sebaliknya materialisme makin menguat, demikian pula individualisme makin menyebar karena para pemimpin bangsa tidak kunjung berhasil menjadikan Pancasila kenyataan di Indonesia.

Dalam kondisi demikian nampak sekali bahwa pimpinan Taman Siswa amat sukar memelihara sikap Taman Siswa untuk tetap mandiri dengan pedoman self help. Makin bangsa Indonesia bertambah umurnya, makin banyak pemimpin Taman Siswa yang sukar memelihara sikap itu dan berubah menjadi amat tergantung dari bantuan pihak luar, termasuk dari pemerintah. Maka timbullah sikap sementara tokohnya yang mengecam pemerintah dalam perlakuannya yang kurang adil dan kurang sesuai dengan sekolah negeri. Dengan alasan besarnya peran Taman Siswa dalam penyelenggaraan pendidikan bagi bangsa Indonesia, tokoh-tokoh itu menilai pemerintah kurang memberikan perhatian kepada Taman Siswa dan mengabaikan jasa-jasanya. Dan kemudian mereka menyatakan bahwa sikap Pemerintah itu akan mengorbankan sekolah swasta di Indonesia sehingga eksistensinya akan amat berat atau bahkan mustahil.

Sebetulnya sikap tokoh-tokoh Taman Siswa itu sudah keluar dari sikap murni Taman Siswa yang berpendirian independen. Selain itu juga tidak realistis kalau kita melihat kalangan swasta lainnya. Sekalipun senang mendapat bantuan Pemerintah, kalangan swasta lain tidak khawatir eksistensinya akan hilang kalau bantuan Pemerintah kurang. Hal itu dapat dilihat pada berbagai sekolah Katolik dan Protestan yang umumnya tetap hidup subur, demikian pula kalangan Muhammadiyah tidak terdengar suaranya yang khawatir akan kehilangan eksistensinya. Mereka cukup yakin akan tetap eksis, karena murid tetap akan datang mengisi sekolah mereka sekalipun sekolah pemerintah dilakukan secara gratis. Sebab mereka dapat menawarkan daya tarik yang cukup menarik bagi para orang tua dan calon murid. Kita melihat bahwa universitas yang diselenggarakan Muhammadiyah di berbagai kota di Indonesia terus saja dipenuhi mahasiswa, bahkan mencapai tingkat mutu yang makin meningkat sebagaimana dibuktikan Univ Muh.Solo dan Malang.

Maka sebetulnya Taman Siswa juga dapat mengembangkan daya tarik bagi masyarakat Indonesia dan bahkan luar negeri kalau mau bersikap realistic dalam penyelenggaraan sekolah-sekolahnya. Taman Siswa dapat memelihara daya tarik uniknya berdasarkan tradisi masa lalu kalau hal itu dibungkus dalam bentuk dan metoda yang sesuai dengan keadaan sekarang. Itu terbukti dengan daya tarik SMA Taruna Nusantara yang diadakan TNI dengan menggunakan sikap pendidikan Taman Siswa, yaitu pengembangan karakter dan budi pekerti kebangsaan. Tetapi di samping itu SMA Taruna Nusantara juga menyajikan pendidikan umum yang bermutu tinggi disertai penanaman disiplin yang kuat.

Sebab itu adalah tidak benar bahwa tidak ada masa depan bagi Taman Siswa atau sekolah swasta lainnya dalam lingkungan Republik Indonesia. Apalagi masih amat jauh kondisinya sebelum Pemerintah RI sanggup dan mampu melakukan pendidikan sekolah yang sepenuhnya dibiayai Pemerintah seperti dilakukan Jerman. Sekarang yang ditantang adalah sikap realistik dan pengembangan kreativitas para pemimpin Taman Siswa untuk membangun sekolah-sekolah Taman Siswa yang tinggi daya tariknya bagi masyarakat, mulai Taman Indriya (TK), Taman Muda (SD 6 th), Taman Dewasa (SMP), Taman Madya (SMA) sampai ke Universitas Taman Siswa.

Justru dengan melontarkan pendapat bahwa Pemerintah kurang mendukung eksistensi sekolah swasta hanya akan ditertawakan banyak orang, sebab nyatanya sekolah-sekolah swasta di Indonesia terus ada dan malahan maju. Apalagi kalau yang melontarkan pendapat itu tokoh-tokoh Taman Siswa yang dikenal sebagai Perguruan Perjuangan yang tak kenal menyerah!

RSS feed | Trackback URI

1 Comment »

Comment by wise
2011-07-21 10:36:10


salam kenal,
mungkin yg anda lihat hanya sekolah2 swasta yg besar dan dikota. sedangkan sekolah swasta di desa semakin kecil dengan adanya program gratis. pdhl gratis menurut masyarakat adalah tidak membayar apapun.. jika itu terjadi maka sekolah swasta akan terpuruk dan tutup. atau malah sebagai lahan untuk mengeruk dana BOS dan bantuan lainnya tanpa melihat hasil dari pendidikan. sebagai contoh : adalah kecurangan dalam UN, hampir semua sekolah di wilayah saya menggunakan metode CURANG, untuk mendongkrak kelulusan. jika kita semua jujur maka persentase kelulusan tidak mencapai 90%.
dimasyarakat jg adanya dilema hasil pendidikan, orang tua yg mampu membayar akan menyekolahkan anaknya di sekolah negeri, tp bg org tua yg tidak mampu akan menyekolahkan anaknya di swasta atau tidak meneruskan. itu adalah realita diwilayah desa dan pedalaman..
terimakasih..
salam

 
Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post